Red: Agung Sasongko
Oleh: Suwendi*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ada sebuah kisah tentang seorang pemuda yang saleh. Suatu hari dalam perjalanannya ia melintasi sebuah aliran sungai. Dalam keadaan sangat lapar, dilihatnya dari kejauhan terdapat buah apel yang mengapung terbawa arus dari hulu sungai.
Saking laparnya, lelaki itu terpaksa –dan dengan sangat terpaksa sekali– mengambil buah apel yang hanyut itu dan memakannya. Setelah habis, spontan ia tersentak kaget karena buah yang dia makan itu tidak jelas pemiliknya.
Dia menyesal karena telah melakukan kesalahan mengambil sesuatu yang mungkin milik orang lain. Maka ia pun mencari pemiliknya untuk meminta supaya apel yang telah dia makan itu dihalalkan.
Setelah beberapa lama dia menyusuri sungai ke arah hulu, dia pun bertemu dengan seorang lelaki tua yang tinggal di tepi sungai. Idris, nama lelaki saleh itu, menduga bahwa orang tua itulah pemilik buah apel yang telah dia makan, sebab di pinggir sungai dekat rumahnya terdapat sebatang pohon apel yang tengah berbuah.
Maka ia pun mengajukan beberapa pertanyaan untuk memastikan dugaannya. Setelah itu, ia mengajukan permohonan agar buah apel yang telah masuk ke dalam perutnya itu bisa dihalalkan.
Orang tua itu berkata, “Permohonanmu kuterima. Tapi dengan syarat, engkau harus mau menikah dengan anak gadisku yang buta, tuli, dan pincang.” Demi halalnya apel yang telah dia makan, Idris menerima syarat yang diajukan si orang tua.
Lalu orang tua itu memanggil anak gadisnya. Tak lama kemudian, gadis yang dikatakan buta, tuli, dan pincang itu pun datang memenuhi panggilan ayahnya. Dan betapa terkejutnya Idris, ternyata sosok gadis yang dilihatnya sangat jauh dari apa yang diceritakan oleh orang tua itu. Gadis itu tidak buta, tidak tuli, tidak pula pincang. Dia normal, bahkan cantik luar biasa.
Orang tua itu tersenyum melihat keterkejutan Idris. Dia berkata, “Anakku ini buta, artinya dia tidak pernah melihat sesuatu yang dilarang oleh agama. Dia tuli, maksudnya dia tidak pernah mendengar suara kecuali yang hak. Dan dia pincang, karena dia tidak pernah berjalan menuju tempat-tempat maksiat.”
Inilah kisah seorang pemuda yang saleh dengan wanita salehah yang kelak akan melahirkan anak-anak yang saleh dan salehah.
Hikmah Kisah
Hikmah dari kisah Idris si pemuda saleh itu antara lain bahwa sesuatu yang meragukan itu harus ditinggalkan untuk bersegera menuju keyakinan. Apa yang kita peroleh melalui jalan yang tidak jelas atau syubhat harus kita tinggalkan agar hasil akhir dari segalanya menjadi baik dan sempurna.
Dalam sebuah hadis dikatakan:
Artinya: Dari Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Abi Thalib (keduanya adalah cucu kesayangan Rasulullah Saw.) r.a., ia berkata, aku teringat perkataan Rasulullah Saw., “Tinggalkan apa yang meragukanmu menuju sesuatu yang engkau yakini.” (Riwayat Imam Tirmidzi dan Nasai. Menurut Tirmidzi, hadis ini hasan sahih)
Hadis di atas sangat relevan dengan permasalahan psikologis manusia. Keragu-raguan bukan saja berhubungan dengan masalah agama, tetapi juga dengan masalah psikologi. Para psikolog memberikan dua kriteria jiwa atau mental yang sehat.
1. Jiwa yang sehat adalah jiwa yang lepas dari gangguan kejiwaan, seperti rasa ragu, murung, putus asa, dan takut.
2. Jiwa yang sehat adalah jiwa atau mental yang bebas dari penyakit jiwa (gila).
Keragu-raguan disebabkan oleh keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh seseorang yang mencakup akal, nafsu, dan fisik. Akal manusia sangat terbatas, hanya mampu menangkap sesuatu yang bersifat materi, sehingga apa yang tidak bisa diserap oleh akal menjadikan kita dalam keragu-raguan.
Nafsu yang dikarunia oleh Allah Swt. kepada manusia mempunyai kecenderungan-kecenderungan pada sesuatu yang bersifat hedonis (kesenangan). Sedangkan fisik manusia yang dijadikan oleh Allah Swt. dalam bentuk yang paling sempurna ini ternyata mempunyai keterbatasan, bahkan fisik hewan-hewan tertentu lebih kuat dibandingkan dengan fisik manusia.
Simaklah hadis berikut. Artinya: Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir r.a., dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak.
Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya.
Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati “. (HR Bukhari dan Muslim)
Untuk menghilangkan keraguan dalam diri kita, setidaknya kita melakukan tiga hal, yakni sebagai berikut. Pertama, mempunyai visi hidup. Quraish Shihab menyatakan bahwa untuk memperoleh visi hidup, seseorang harus berpegang pada dua identitasnya sebagai manusia., yakni identitas sebagai hamba Allah dan identitas sebagai khalifah di bumi.
Sebagai hamba Allah, manusia memiliki tugas mengabdi hanya kepada Allah. Sebagai khalifah di muka bumi, manusia mengemban tugas untuk memakmurkan alam semesta ini.
Kedua, berusaha dengan semua kemampuan untuk menjauhi yang syubhat. Ketiga, berdoa memohon kepada Allah, misalnya dengan doa “Ya Allah, tetapkanlah hati kami pada keyakinan atas agama-Mu’.
Keempat, melakukan salat istikharah. Kelima, pasrah serta bertawakal kepada Allah SWT.
* Alumni Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon
********
Republika.co.id