Bandung Mawardi, Pengelola Jagat abjad solo
Jakarta, Garut News ( Kamis, 14/11 ).
Bermula dari tempat, peristiwa sejarah bisa dikisahkan, dari masa ke masa.
Sejarah selalu bertempat.
Kita tentu memiliki memori sejarah di Indonesia merujuk ke lapangan, stasiun, gedung, rumah, hotel, jembatan, dan jalan.
Sejarah ada di pelbagai tempat, bernama dan bermakna.
Tempat-tempat itu bersejarah, meski penguasa dan publik juga berkepentingan menaruh sejarah di tempat baru bernama museum dan monumen.
Sejarah di tempat baru tentu berbeda dengan sejarah di tempat saat berlangsung peristiwa-peristiwa sejarah.
Kita memiliki ribuan tempat bersejarah.
Tempat-tempat itu kadang-kadang masih menggunakan nama lama atau berganti nama baru.
Perubahan nama mengesankan ada misi historis dan politis.
Pergantian nama jalan, jembatan, rumah, atau hotel bersejarah sering mengandung konsekuensi pembentukan narasi sejarah bernuansa kebaruan.
Kita mencatat ada pelbagai perubahan nama untuk pelbagai tempat bersejarah, tapi toh hal itu tetap sulit memunculkan sugesti agar publik mengerti sejarah.
Perubahan nama jarang dilengkapi dengan penjelasan gamblang.
Urusan nama justru bisa “mendiamkan” atau “meminggirkan” sejarah.
Pada 10 November 2013, Wakil Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama meresmikan nama baru untuk terminal, halte, dan taman di kawasan Grogol, Jakarta Barat.
Nama barunya: 12 Mei Reformasi.
Pergantian nama dikaitkan dengan peristiwa demonstrasi mahasiswa pada 12 Mei 1998.
Demonstrasi itu berkehendak menumbangkan rezim Orde Baru.
Usul nama diajukan oleh Persatuan Persaudaraan Trisakti 12 Mei 1998 dan disetujui oleh pemerintah DKI Jakarta (Koran Tempo, 11 November 2013).
Terminal Grogol 12 Mei 1998?
Apakah nama ini sanggup mengajak publik mengingat peristiwa 15 tahun silam?
Terminal adalah tempat berkaitan peristiwa mobilitas orang dan barang menggunakan bus.
Resepsi atas terminal telah terbentuk sejak puluhan tahun, menimbulkan ingatan tentang tiket, pencopetan, keramaian, panas, asap, pedagang asongan, calo, dan preman.
Di terminal, orang-orang melakukan pelbagai peristiwa, dari ekonomi sampai hiburan.
Terminal perlahan memiliki pengertian historis dan politis.
Publik diajak mengimbuhi ingatan dan imajinasi atas peristiwa politik bersejarah di Indonesia.
Sejarah terminal belum gamblang, tapi imbuhan sejarah politik malahan telah menjadi keputusan.
Kita belum tahu kesejarahan terminal di kota-kota besar di Indonesia.
Sekarang, istilah terminal telah akrab di publik.
Ingat, istilah terminal belum muncul di kamus-kamus terbitan 1950-an, misalnya Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta.
Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950-an: Kenangan Masa Remaja (2008) mengisahkan situasi lalu lintas dan sarana transportasi di Jakarta.
Firman melihat bus-bus kota sudah beroperasi di jalan-jalan.
Bus-bus itu sisa peninggalan zaman Belanda.
Kita tak mendapat pengisahan terminal-terminal di Jakarta.
Kita memerlukan pengetahuan tentang terminal dan suasana kota agar bisa menjelaskan tentang proses modernisasi, pertumbuhan ekonomi, situasi politik, perkembangan sarana transportasi.
Ikhtiar melawan lupa dengan penamaan Terminal Grogol 12 Mei 2013 pantas disokong pengisahan dan penjelasan sejarah, dari urusan terminal sampai politik.
Kita tak ingin menganut kebiasaan menamai tempat bersejarah atau memberi nama baru untuk tempat bersejarah tanpa mengikutkan narasi-narasi sejarah.
Nama memang penting, tapi…
***** Sumber : Kolom/artikel Tempo.co