Anton Kurnia, pengarang
Jakarta, Garut News ( Rabu, 11/06 – 2014 ).
Dalam khazanah sastra dunia, ada novel klasik berjudul Black Beauty (1877).
Novel karya Anna Sewell yang terjual 50 juta eksemplar di seluruh dunia itu adalah “memoar” seekor kuda hitam bernama Black Beauty yang “mengajarkan” pentingnya kebaikan, empati, dan saling menghargai.
Adapun dalam bahasa kita, kuda hitam adalah ungkapan yang digunakan untuk menyebut pihak tak diunggulkan yang berhasil keluar sebagai pemenang. Konteksnya biasanya dalam pertandingan olahraga. Dalam bahasa Inggris, ada idiom serupa, yakni “dark horse” (bukan “black horse”).
Pada putaran final Piala Dunia 2014 yang digelar di Brasil, Juni-Juli ini, tim favorit adalah tuan rumah yang sudah lima kali juara dunia serta juara bertahan Spanyol yang juga kampiun Piala Eropa 2008 dan 2012.
Namun tim lain seperti Rode Duivels (Setan Merah)-julukan Belgia-yang diperkuat pemain-pemain muda penuh semangat bagai kuda teji yang trengginas macam Romelu Lukaku dan Eden Hazard berpeluang menjadi kuda hitam yang bisa membuyarkan perhitungan di atas kertas.
Bukan hanya di arena olahraga, istilah kuda hitam bisa dipakai juga di bidang lain, terutama politik.
Di Amerika Serikat, Jimmy Carter menjadi kuda hitam dalam pemilihan presiden pada 1976.
Dia, yang semula kurang dikenal dan hanya populer di daerah asalnya, Georgia, ternyata berhasil unggul.
Kita juga bisa menyebut sosok Jokowi alias Joko Widodo, yang semula hanya anak bawang dalam peta perpolitikan nasional dengan jabatan kecilnya sebagai Wali Kota Solo dan merangkak naik menjadi Gubernur Ibu Kota, sebagai kuda hitam yang melesat menjadi kandidat favorit menurut lembaga survei dalam pemilihan presiden kali ini yang digelar tepat pada “Tahun Kuda” dalam kalender lunar.
Berdasarkan perhitungan astronomi dalam budaya Cina, tahun 2014-bertepatan dengan tahun Imlek 2565-adalah Tahun Kuda Kayu, yang konon berkarakter keras dan dingin.
Kuda adalah simbol kecepatan dan kerja keras.
Maka tahun ini momen yang bagus bagi para pekerja keras yang tahan banting.
Lalu bagaimana kaitan Tahun Kuda dengan dua kandidat presiden Republik Indonesia yang sibuk pasang kuda-kuda untuk bertarung memperebutkan suara rakyat yang konon adalah suara Tuhan?
Jika ditilik dari shio-nya, Jokowi yang dilahirkan pada 1961 ber-shio kerbau yang seperti kuda merupakan simbol pekerja keras yang ulet.
Sedangkan Prabowo Subianto, mantan jenderal kelahiran 1951 yang dikenal penggemar kuda dan memiliki koleksi kuda berharga miliaran rupiah per ekor, dinaungi shio kelinci yang melambangkan kelincahan.
Manakah yang lebih beruntung antara “kerbau” dan “kelinci” di Tahun Kuda ini?
Bagi rakyat, yang paling penting tentulah siapa pun yang terpilih sebagai presiden nantinya akan membawa perubahan lebih baik bagi negeri dan bangsa ini, berhasil mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, sejahtera berdasarkan kesetaraan, dan tanpa penindasan.
Rakyat tak ingin terus diperkuda oleh penguasa yang lalim.
Rakyat juga tak mau jadi kuda lumping yang terpaksa makan beling hanya untuk bisa bertahan hidup.
Rakyat ingin pemimpin yang mau bekerja keras bagai kuda untuk rakyatnya.
Selain itu, jangan sampai sang pemimpin terpilih nantinya ingkar janji dan nekat memakai kacamata kuda, tak mau mendengar kritik dan saran dari kiri-kanan. *
*******
Kolom/Artikel : Tempo.co