Ahad , 10 September 2017, 07:38 WIB
Red: Agus Yulianto
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Harri Ash Shiddiqie *)
Cobek batu telah digunakan ribuan tahun, abad ini kalah dengan blender. Rice cooker mengalahkan periuk nasi. Teknologi selalu menjanjikan efisiensi energi dan waktu. Anehnya, banyak orang kekurangan waktu, “Aku tidak punya waktu”.
Penelitian Gardner Merchant terhadap 10 ribu orang Inggris guna mengembangkan kebutuhan bisnis, menyimpulkan adanya pola perilaku konsumen yang selalu terburu-buru (hurry sickness). Mereka berharap produk makanan yang mudah diperoleh, tersedia di mana-mana, mudah membukanya, mudah memakan dan menelannya, cepat mengenyangkan perut, mudah membuang sampahnya (kelak, perlu didesain : bungkusnya juga bisa dimakan).
Hidup modern bercirikan peradaban teknologi informasi tak bisa mengelak dari sikap konsumtif. HP, televisi, internet yang menyodorkan iklan memicu baju, sepatu sampai salon kuku.
Hidup biaya tinggi menuntun ibu juga bekerja. Rumah dan anak-anak bukan lagi keluarga, tapi perkumpulan. Di pagi hari perkumpulan itu ribut luar biasa. Saat sang ayah mengancingkan baju, matanya menyusuri fluktuasi dolar di layar smartphone, telinganya tetap memasang berita TV, sesekali melihat jam dinding.
Bila lewat 10 menit jalanan sudah padat. Pada saat yang sama, sang ibu yang sedang memoles bedak mendengar putranya masih berkecipak bermain air. Saat itu ia teringat ada WA yang belum dijawab. Tanpa berpikir dua kali, ia berteriak sambil masih tetap di depan cermin “Hayo… mandi segera selesai … Segera berpakaian …Cepat”
***
Jajak pendapat Gallup tahun 2011 menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin cenderung miskin waktu. Artinya ada teka-teki kekayaan : Jika ia banyak uang, ia miskin waktu. Ungkapan ini sangat terang menyatakan : Boleh saja seseorang kaya uang, tapi ia tidak bisa membeli waktu.
Teka teki itu tidak aneh, didorong konsep kapitalis bahwa “waktu adalah uang”, maka semakin sibuk membuat seseorang semakin kaya. Tetapi kekayaan membuat orang menjadi lebih sibuk. Memang si kaya bisa membeli apa saja, sepatu mewah, mobil mewah, bahkan rumah mewah. Mungkinkah ia menikmatinya? Tidak mungkin…..
Ia tidak punya waktu.
Sederhana saja. Lihat seorang eksekutif saat makan siang. Ada ayam goreng, udang goreng, seiring mengunyah makanan, matanya membaca email. Saat itu pula telepon berdering. Eksekutif demikian bukan hanya lapar makan, ia lapar waktu, karena miskin waktu. Memang bisa menyantap makanan, tapi tak bisa menikmatinya. Tak merasakan lezatnya.
Miskin waktu membuat terburu-buru. Hurry sickness memicu berbagai masalah, bukan hanya cemas, tapi juga runtuhnya kehidupan keluarga. Kurangnya tatap muka membuyarkan ikatan emosional. Setiap orang menjadi egois, kehilangan empati, tidak reflektif. Akhirnya tak memiliki kepedulian dan keterampilan sosial.
Orang merasa sepi, sendiri, di tengah hiruk pikuk gerak isi dunia yang terburu-buru. Memang bisa berinteraksi lewat HP, internet, WA. Interaksi itu memicu curhat dan memberi kesempatan menangis. Tapi menangis di depan HP, itu maya, sangat berbeda bila menangis di dada orang yang di cintai.
***
Islam tak menghendaki sikap egois, keluarga yang runtuh, terputusnya tali persaudaraan, sehingga lenyap nilai saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.
Di rentang waktu yang sempit dan terburu-buru, dikejar waktu yang identik uang, agama hanya beban. Tepat seperti diriwayatkan hadis, terburu-buru adalah perilaku setan, yang pasti tidak menyukai agama.
Penentangan Islam terhadap sikap terburu-buru nampak pada hadis yang lain. Bila makan malam telah tersedia, tidak usah terburu-buru sholat, silakan makan. Saat makan disunahkan memuji makanan, mengucap syukur atas tersedianya
Makan yang terburu-buru pasti tidak bisa merasakan nikmatnya makanan. Merajut mesra dengan sang kekasih, tetapi bersamaan hati tersiksa karena terburu-buru, pasti tak merasakan indahnya cinta. Terburu-buru menenggelamkan indahnya kenangan, hari ini dan harapan kehidupan. Tatkala tidak pernah merasakan indahnya hidup, indahnya nikmat Allah, mana mungkin bisa bersyukur?
Bila ditilik lebih dalam, teknologi bukan penyebab utama manusia terburu-buru. Teknologi sekedar sarana agar manusia terjebak, seperti juga kekuasaan yang membuat sombong, atau uang yang membuat orang tamak. Setan penyebab utamanya.
Di jaman Rasulullah ada seseorang masuk masjid lalu shalat. Selesai shalat, orang tersebut diminta mengulang shalatnya, diminta mengulang lagi, dan lagi. Kenapa? Shalatnya terburu-buru. Sampai kini, shalat terburu-buru masih banyak dilakukan. Mereka berpijak syarat dan rukun terpenuhi, sholatnya sah.
Barangkali mereka belum pernah mendengar hadis tentang shalat yang hanya diterima setengah, bahkan sepersepuluhnya. Shalat yang terburu-buru mengantarkan shalat seperti burung yang mematuk-matuk. Hati-hati, itu bisa mengerucut ke celaka, karena sedikit mengingat Allah, berdiri shalat dengan malas, dan Allah memvonisnya sebagai munafik.
Tulisan ini tidak ke sana. Tulisan ini meneguhkan bahwa terburu-buru shalat membuat kita tidak bisa menikmati shalat. Tidak pernah bisa merasakan lezat dan indahnya shalat. Akibatnya shalat hanya dirasa sebagai beban. Bila terjadi demikian, pasti beban berupa shalat ini harus segera diletakkan. Agar beban segera hilang, agar kewajiban itu segera gugur, lakukan shalat. Bila bisa digugurkan dengan cepat-cepat, buru-buru, kenapa harus lambat-lambat.. Terburu-buru itu membuat shalat tidak terasa nikmat dan indah, semakin tertanam : Shalat itu beban.
Siklusnya berulang dalam lingkaran setan. Beban, harus segera dihilangkan dengan cepat, terburu-buru, tidak indah, setelah shalat tetap tertanam : Shalat itu beban. Terus, sepanjang hidup shalat dipahami sebagai beban.
Siklus itu harusnya diputus, bila tidak, puasa dan zakat juga terasa memberatkan. Berikutnya : Islam adalah siksaan. Ya Allah, jangan timpakan itu kepada kami. Limpahkan cahaya agar kami mencintai-Mu, mencintai Rasul-Mu, mencintai agama-Mu, mencintai perintah-Mu, mencintai pengabdian kepada-Mu, mencintai pengorbanan untukMu. Amin, Ya Robbal Alamin.
*) Penyuka sastra dan teknologi, di Jember.
********
Republika.co.id