Red: Agung Sasongko
Oleh: Karman
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA/Garut News ( Jum’at, 13/01 – 2017 ).
— Banyak orang yang menginginkan hidup eksis atau keberadaannya diakui di tengah-tengah masyarakat. Motifnya cukup beragam. Ada yang karena kebutuhan mendapatkan pengakuan setelah kebutuhan dasarnya, seperti pangan, sandang, dan papan sudah terpenuhi. Ada juga yang karena ingin meraih kekuasaan dan harta lebih luas dan banyak dari yang sudah dimilikinya.
Beragam cara dilakukan orang untuk mencapai keinginan tersebut. Ada yang melalui kerja-kerja nyata dengan terlibat pada kegiatan-kegiatan sosial. Ada juga yang melalui upaya pencitraan melalui media massa, baik cetak, elektronik, maupun digital.
Bahkan, untuk membangun citra baik, tidak sedikit orang melakukan tebar pesona melalui spanduk-spanduk yang bertebaran di pinggir-pingir jalan protokol dengan biaya yang tidak kecil.
Usaha menjadi eksis atau mendapat pengakuan seperti di atas ada yang berhasil ada juga yang gagal total. Usaha melalui kerja nyata pada umumnya berhasil, sedangkan melalui pencitraan ada yang berhasil, tetapi lebih banyak yang gagal, bahkan gagal total.
Artinya, alih-alih mendapat pengakuan dari masyarakat, malah yang terjadi melahirkan kritik dari masyarakat karena merasa terganggu. Belum lagi, upaya pencitraan terkadang menyisakan efek samping, yaitu dikejar-kejar penagih utang bekas membiayai pencitraan diri.
Sebenarnya sejak 14 abad yang lalu, Alquran sudah memberi petunjuk cara eksis atau mendapat pengakuan masyarakat. Salah satunya dengan cara memberi manfaat kepada orang lain. Alquran menggambarkan kebenaran dan kebatilan dengan perumpamaan yang indah.
Kebenaran digambarkan seperti air dan logam, sedangkan kebatilan seperti buih, baik sisa aliran air maupun sisa pengolahan logam. Air dan logam walaupun sedikit akan tetap eksis di muka bumi karena bermanfaat bagi manusia, sedangkan buih sekalipun banyak karena tidak memberi manfaat akhirnya akan bercerai-berai dan hilang tanpa jejak.
Perumpamaan selengkapnya dapat kita telaah pada ayat, “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang batil. Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan” (QS ar- Rad [13]: 17).
Fakta sejarah telah membuktikan bahwa siapa pun, baik secara personal maupun kelembagaan, yang telah memberi manfaat bagi kehidupan manusia keberadaannya akan senantiasa diakui. Seorang ilmuan yang berhasil menemukan temuan yang bermanfaat bagi manusia keberadaannya akan tetap diakui. Bahkan, tidak hanya namanya yang tetap diakui, tetapi juga kekayaannya akan terus bertambah dari hasil pembayaran hak paten penemuannya.
Demikian juga, lembaga, baik organisasi sosial maupun politik, yang tetap eksis, bahkan terus berkembang pada umumnya yang memiliki usaha yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat, seperti bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial.
Menurut Nabi SAW, harta dan ilmu bermanfaat tidak hanya akan menyebabkan eksis di dunia, tetapi juga di akhirat. Harta yang disedekahkan dan ilmu yang diamalkan tidak hanya akan mendatangkan kebaikan di dunia, tetapi juga pahala di akhirat.
Sebagaimana sabda Nabi SAW, “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara, (yaitu) sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh” (HR Muslim). Wallahu a’lam.
**********
Republika.co.id