Garut News ( Kamis, 21/11 ).
“Semua perempuan berada di hunian dalam keraton tetap dihormati, dan kepemilikan harta mereka turut dilindungi. Dalam kesempatan seperti ini diperlukan disiplin sangat tegas, tak satu pun orang dianiaya ataupun kebiadaban berlangsung.”
Pernyataan tadi ditulis Kapten William Thorn, perwira Kerajaan Inggris, dalam Memoirs of The Conquest of Java, terbit tiga tahun setelah penaklukan Yogyakarta.
Thorn terlibat pertempuran 19-20 Juni 1812.
Tampaknya, ada luput perhatian Thorn, tentang peristiwa menyerahnya Sultan.
Sabtu pagi penuh kekalutan.
Pertempuran antara serdadu Kerajaan Inggris dan laskar Keraton Yogyakarta masih berlanjut, tetapi berskala mengecil.
Semua kubu pertahanan Sultan Hamengkubuwono II dikuasai serdadu-serdadu sipahi India.
Keraton sangat terdesak, serdadu-serdadu berseragam merah khas Kerajaan Inggris menyeruak ke dalam keraton.
Peter Brian Ramsay Carey dalam Kuasa Ramalan, terbit pada 2011 mengungkapkan suasana jatuhnya Keraton Yogyakarta lewat pemerian Babad Bedhah ing Ngayogyakarta.
Dia merupakan Profesor Emeritus di Trinity College, Oxford, Inggris, dan kini juga menjabat Adjunct Professor di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.
Babad itu ditulis Pangeran Panular, salah satu putra Sultan.
Saat pagi menjelang, Sultan dan keluarganya berbusana serba putih, bahkan kursi-kursi pun dibalut kain putih.
Sultan memerintahkan semua kepala laskar prajurit keraton meletakkan senjata, dan mengibarkan bendera putih.
Sebelum pukul sembilan, Sultan menjadi tawanan.
Dalam tawanan itu termasuk sekitar 300 laskar perempuan pengawal Sultan.
Mereka para perempuan dididik berperilaku lembah lembut, dan bertindak tegas secara militer.
Mereka mahir menggunakan senapan, dan menunggang kuda.
Babad tersebut, juga mengisahkan betapa terhinanya Sultan saat itu.
Mereka merelakan segala senjata dilucuti serdadu Inggris dan sipahi, kemudian diarak dengan pengawalan menuju Wisma Residen berlokasi di barat Benteng Vredeburg.
Menurut Carey, Sultan menyerahkan keris, pedang, dan belatinya.
Semua senjata pusaka keraton disita, terdiri Kiai Paningset, Kiai Sangkelat, Kiai Urub, Kiai Jinggo, Kiai Gupito, Kiai Joko Piturun, dan Kiai Mesem.
Namun, tatkala penobatan Hamengkubuwono III, senjata pusaka itu dikembalikan lagi ke keraton, kecuali pedang dan belati lantaran Raffles kelak mengirimkannya pada Lord Minto di India sebagai tanda penaklukan Keraton Yogyakarta pada Kerajaan Inggris.
Bahkan, kancing-kancing emas melekat di busana kebesaran Sultan dijarah para serdadu sipahi India.
Berbagai senjata, gamelan, wayang, ratusan kitab sejarah Jawa, dan naskah-naskah daftar tanah kerajaan turut dijarah.
Bahkan, dikisahkan juga dalam Babad Bedhah ing Ngayogyakarta, selama empat hari lebih, harta rampasan perang diangkut dengan pedati ke Wisma Residen.
Kuli pengangkutnya berasal dari pengawal, dan kerabat dekat Sultan sendiri.
Sementara itu, sebagai seorang letnan gubernur dan panglima perang, Thomas Stamford Raffles pun tak ketinggalan.
Dia turut menjarah, dan mengangkut harta keraton nilainya sekitar 200.000 hingga 1.200.000 dollar Spanyol.
Kolonel Rollo Gillespie, seorang panglima tentara Inggris di Jawa, menjarah 800.000 dollar Spanyol.
Sebesar 74.000 dollar Spanyol (sekitar Rp27 miliar untuk kurs kini) untuk dirinya sendiri, sisanya dibagi-bagikan ke perwira lain di bawahnya.
Sebagian lagi, sebesar 7.000 dollar Spanyol (sekitar Rp2,5 miliar untuk kurs kini) dibagikan pada legiun Pangeran Prangwedana dari Mangkunagaran.
Pustaka naskah itu tak kembali ke Jawa, setidaknya hingga hari ini.
Menurut pemerian Carey, sekitar 55 naskah Jawa milik Raffles, sebagian besar diserahkan pada Royal Asiatic Society pada 1830.
Koleksi naskah jarahan Raffles bukanlah terbanyak.
Kolonel Colin Mackenzie memiliki 66 naskah Jawa milik Keraton Yogyakarta.
Sementara itu, sekitar 45 naskah Jawa koleksi John Crawfurd, seorang residen Yogyakarta, sebagian besar dijual pada British Museum pada 1842.
Babad tersebut, juga berkisah tentang penjarahan tampaknya membabi buta terhadap barang-barang perhiasan milik perempuan keraton.
Serdadu-serdadu itu memasuki wilayah keputren.
Seorang istri resmi Putra Mahkota dilucuti perhiasan, dan pakaian kebesarannya.
Salah seorang perwira Inggris tewas ditikam seorang perempuan keraton lantaran sang perwira akan membawanya sebagai rampasan perang, demikian paparan Carey dalam bukunya.
Peristiwa ini, hanya terjadi sekali dalam sejarah Jawa, ketika istana sebagai lambang kedaulatan penguasa lokal diserang, dijarah, dan ditundukkan pasukan Eropa. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)
Editor : Yunanto Wiji Utomo/ Kompas.com