Red: Muhammad Subarkah
Oleh: Selamat Ginting*
Presiden Amerika Serikat (AS), Barack Husein Obama (55 tahun) menyampaikan pidato perpisahan di McCormick Place, Kota Chicago. Tak hanya Obama, Wakil Presiden Joe Biden (75 tahun) turut hadir dalam acara tersebut. Termasuk istri Obama dan istri Biden.
Dalam pidatonya itu pada Selasa (10/1/2017) malam waktu setempat atau Rabu (11/1/2017) pagi WIB, Obama tampak emosional. Bahkan, dalam suatu momen, dia tak kuasa meneteskan air mata di hadapan ribuan pendukungnya.
Ia menyatakan bahwa AS sudah mengalami pencapaian yang luar biasa selama delapan tahun kepemimpinannya. Namun, dia berpesan kepada rakyat Amerika – terutama kepada para pendukung Partai Demokrat – agar mendukung penuh kepemimpinan presiden baru, Donald Trump dari Partai Republik. Trump akan dilantik pada 20 Januari atau 21 Januari 2017, WIB, mendatang.
Kita tidak tahu sesungguhnya apa yang membuat Obama meneteskan airmata. Terakhir, Obama tak kuasa menahan kekecewaannya tatkala Presiden terpilih, Donald Trump, mengangkat pensiunan Letnan Jenderal Michael Flynn sebagai penasihat keamanan nasional.
Padahal pada 2014, Presiden Obama memecat Letjen Flynn dari jabatannya sebagai direktur Badan Intelijen Pertahanan AS. Gaya kepemimpinan Flynn yang anti-Islam menjadi penyebab pemecatannya.
“Trump berencana menyebarkan ketakutan akan Islam atau Islamophobia untuk kepentingan agenda politiknya,” kata Kevin Barrett, seorang komentator politik Amerika, penuh khawatir.
Sebelumnya Obama juga mengecam pernyataan Trump yang menyuarakan larangan bagi Muslim untuk memasuki AS, dan peningkatan pengawasan terhadap masjid-masjid di AS.
“Trump sudah kelewatan dalam menyampaikan pendapatnya. Retorika anti-Muslim yang kerap disampaikan Trump bisa membahayakan persatuan AS dan dunia.”
“Apakah kita akan mulai menundukkan mereka (Muslim) dalam pengawasan khusus? Kita akan mulai membedakan mereka karena iman mereka?,” tanya Obama lagi, penuh heran dengan sikap Trump.
Ancaman Perang Asia Pasifik
Di luar perbedaan sikap yang tajam antara Obama dan Trump di dalam negerinya, yang paling nyata, AS segera menggeser 60 persen kekuatan militernya ke Asia Pasifik hingga tiga tahun mendatang. Pada 2020, otomatis akan membawa implikasi besar bagi kawasan ini, termasuk Indonesia.
“Pergeseran kekuatan militer AS menjadi awal perang perebutan sumber daya alam dan jalur perdagangan. Indonesia tidak bisa berdiam diri,” kata pengamat pertahanan, Connie Rahakundini Bakrie, dalam wawancara dengan penulis, beberapa waktu lalu.
Ya, tiga tahun bukan waktu yang panjang. Praktis tidak banyak waktu yang tersedia mereposisi arah kebijakan strategis pertahanan Indonesia. Perkembangan ‘kekaisaran militer’ AS, bisa disimak dari pernyataan bekas Menteri Pertahanan, Panetta. Ia menyatakan bahwa 60 persen kekuatan militer AS akan pindah ke kawasan Asia Pasifik mulai 2012 hingga 2020.
Mantan Presiden Goerge Bush menyebutnya sebagai strategi perang pencegahan terhadap ‘persatuan negara-negara merah dan orang-orang jahat’. Siapa negara-negara itu?
AS telah mengidentifikasi sebagai ‘busur ketidakstabilan’ yang tersebar dari mulai daerah Andes di Colombia terus ke arah Afrika Utara dan kemudian menyapu negeri negeri seberang Timur Tengah, hingga termasuk Filipina dan Indonesia.
Pencanangan sudah dilakukan sejak Presiden Goerge Walker Bush menetapkannya pada 14 Januari 2004 lalu. Persis 13 tahun lalu.
Jadi perang terhadap terorisme, kata Connie, adalah sebagian kecil dari alasan untuk semua strategisasi militer AS di belahan dunia. Yang sebenarnya untuk membangun cincin baru dari pangkalan militer sepanjang khatulistiwa guna memperluas ‘kekaisaran militer’ AS dalam mendominasi dunia.
Karena itulah arah kebijakan pertahanan Indonesia telah berubah dari ‘threat based planing’ ke ‘capabilities based planning’. “Kita harus sepakat dulu sebagai bangsa untuk memahami persepsi ancaman yang sebenarnya sedang dihadapi dalam waktu dekat. Dampak tersebarnya 60 persen kekuatan militer AS ke kawasan ini. Itulah kenyataan di depan mata.”
Indonesia Terancam
Posisi Indonesia, persis sama seperti saat Irak akan digempur melalui persiapan Operation of Enduring Freedom. Saat ini Indonesia ‘sudah terkurung’ seperti Irak, oleh pangkalan-pangkalan AS sejak titik di Diego Garcia, Christmas Island, Cocos Island, Darwin, Guam, Philippina, terus berputar hingga ke Malaysia, Singapura, Vietnam hingga kepulauan Andaman dan Nicobar beserta sejumlah tempat lainnya.
Dengan kondisi ini, jelas sekali, tidak tersedia waktu banyak bagi elite Indonesia untuk segera mereposisi arah kebijakan luar negeri dan pertahanan Indonesia yang lebih tegas, strategis dalam menyikapi perubahan konstalasi politik di kawasan.
Indonesia juga harus memperkuat TNI sebagai aktor pertahanan yang tugas utamanya adalah untuk melindungi segenap wilayah kedaulatan termasuk kekayaan dan kesejahteraan penduduknya.
Bukan lagi berkutat semata persoalan alat utama sistem senjata (alutsista) yang perlu diganti dan mana yang masih layak pakai. Lebih dari itu! Indonesia harus membangun TNI yang profesional dan berwibawa di mata internasional. Perlu sebuah grand strategy and design atas postur TNI yang ideal.
Utamanya untuk tiga tahun ke depan. Tidak sampai 1.000 hari lagi. Ancaman atas kedaulatan sebagai bangsa yang kaya dan besar, sudah di depan mata. Pasukan-pasukan AS sesungguhnya hampir mengepung planet bumi ini. Hanya sedikit sekali ruang yang ditinggalkan di planet bumi ini yang tidak terisi oleh kekuatan militer AS.
Ruang kosong itu, adalah kawasan kita, wilayah Indonesia, terus menuju arah bawah melalui Samudera Hindia ke arah Antartika. Sudah siapkah kita sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia? Apalagi hingga 2021 mendatang, AS dipimpin seorang yang anti Islam dan cenderung rasis.
*Selamat Ginting, Jurnalis Republika, peminat isu pertahanan keamanan.
*********
Republika.co.id