Rabu , 26 April 2017, 13:38 WIB
Red: Maman Sudiaman
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nana Sudiana*
“Tidak semua hal yang kita hadapi bisa diubah; tapi tidak ada yang bisa diubah sampai kita menghadapinya”. (James Baldwin)
Tadi malam saya menerima kehormatan dari Republika untuk hadir dalam acara milad mereka yang ke-24 sekaligus acara tahunan yang ke-12 yaitu penyelenggaraan malam anugerah Tokoh Perubahan Republika yang ke-12. Malam pemberian anugerah tokoh perubahan kali ini mengusung tema “Menggiatkan Ekonomi Berkeadilan untuk Mengatasi Kesenjangan”.
Bicara kesenjangan, seakan melihat cermin di depan mata. Terlihat nyata dan tak perlu jauh menjangkaunya. Republik yang kita cintai ini lahir dari tangan para pahlawan yang ikhlas berjuang, mereka berkorban dengan air mata, harta dan juga nyawa dengan tak memikirkan akan dapat apa kelak dari negeri ini. Para pahlawan bangsa layak disebut kusuma atau bunga bangsa, mereka gugur tanpa pamrih dan berharap balasan apapun.
Namun dalam perjalanan republik ini, ada begitu banyak pengkhianat nilai-nilai perjuangan para pahlawan bangsa. Sebagian mereka lahir dari rahim negeri ini, namun mental dan kualitas kesetiaan mereka untuk berjuang memakmurkan dan mensejahterakan para penduduk negeri kalah dengan cita-cita pendek mereka sendiri, yakni hidup sejahtera dengan mengutamakan diri dan keturunan sendiri.
Negeri yang kaya raya bak untaian permata di khatulistiwa kemudian menjadi negeri yang bergelimang masalah. Kekayaannya yang melimpah tak malah mensejahterakan dan membuat bangga para penduduknya. Juga tak menjamin kehidupan anak-anak bangsanya dalam keadilan dan naungan jaminan keselamatan dan masa depan yang cerah. Kini bak mendung di siang hari, banyak anak-anak negeri tak tahu akan masa depan mereka. Asset mereka tak punya, apalagi modal meraih masa depan di kehidupan mereka.
Bangsa ini bangsa besar, bukti sejarah telah menorehkan tinta emas bahwa kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Demak dan Aceh pernah melampaui luasnya nusantara dan berhasil memajukan peradaban dunia. Negeri-negeri dekat dan jauh mengakui betapa hebat sistem kemaritiman negeri ini dan bahkan mereka salut dan banyak belajar menimba ilmu di ahli-ahli maritim nusantara, terutama teknologi kapal pinishi yang amat terkenal tangguh untuk menjelajah lautan hingga ke ujung dunia.
Namun, betapa hancurnya hati kita hari ini. Dengan mata telanjang kita bisa menyaksikan kesenjangan kehidupan di negeri yang kita cintai ini. Sampi hari ini kita lihat masih banyak anak-anak Indonesia yang belum mendapatkan pendidikan memadai. Anak-anak terlantar, pengemis, gelandangan, pengamen serta pemulung masih berkeliaran mengisi sudut-sudut kota. Mereka tak bisa ditutupi keberadaannya. Mereka hadir dan terlihat nyata.
Di desa, terutama di daerah-daerah pinggir negeri ini yang populer dengan istilah daerah terluar malah identik dengan terpinggir bahkan (maaf) agak terbelakang fasilitas pendidikannya. Kadang, mereka harus berjuang mempertaruhkan nyawa terlebih dahulu sebelum mencapai sekolah-sekolah tempat mereka belajar. Mereka menyebrangi sungai, melintas selat dan bahkan menembus tebing dan jurang di hutan hanya untuk bisa disebut bersekolah dan menjadi terpelajar.
Negeri ini negeri besar, kebudayaan dan peradabannya pernah menyentuh langit dunia, kenapa orang-orang di pinggir-pinggir yang berbatasan dengan negeri asing kadang miris hidup di negeri ini. Bila sedang muncul kemarahan akibat keputusasaan yang terus menumbuh, sebagian bukan hanya memaki, malah kadang mengancam untuk hengkang dan meninggalkan kewarganegaraan mereka dan berpaling ke negeri sebelah yang bahkan bersedia menampung dan memberikan harapan bagi masa depan mereka.
Berikutnya adalah soal pekerjaan. Betapa tak mudah anak-anak muda sekarang mendapat kesempatan untuk bisa meraih mimpinya. Atas dasar tak dimilikinya keterampilan yang memadai, banyak anak-anak muda berbadan sehat dan kuat hanya mampu menjual tenaga dan menjadi pengisi kekosongan kerja secara apa adanya. Bila kita jeli sedikit, lihat saja di bandara Sukarno-Hatta.
Dulu hanya orang-orang tua dan yang agak (maaf) kurang kuat fisiknya yang menawarkan jasa mendorong trolly dan membantu memasukan koper atau barang penumpang ke bagasi mobil atau angkutan lainnya. Namun saat ini, tampak anak-anak muda yang terlihat seusia tamatan SMU atau yang sederajat berebut jasa mendorong trolly di sana. Anak-anak muda yang sebenarnya berkesempatan menuntut ilmu sekaligus belajar merangkai masa depan mereka, kenapa harus terdampar di profesi ini.
Ini bukan soal bahwa pekerjaan itu juga mulia dan akan halal hasilnya, namun rasanya amat sayang dengan potensi yang ada harus masuk dunia yang tanpa jenjang karir yang jelas dan tak seberapa efeknya bila ditekuni dengan sungguh-sungguh.
Anak-anak muda ini kadung masuk pada jebakan pekerjaan yang berkategori produktivitasnya rendah, gaji kecil, dan pekerjaan informal. Mereka padahal punya banyak kesempatan untuk bisa terus belajar dan menjadi para profesional. Seiring waktu, dengan meningkatnya kebutuhan mereka (dan juga keluarganya nanti) maka secara perlahan pastilah akan langsung ada kesenjangan pendapatan mereka dengan kebutuhan minimal yang harus mereka peroleh dan bawa pulang ke keluarga mereka.
Bila mereka akan terus di sana, mereka akan menjadi pemberat kesenjangan yang terjadi. Secara sederhana nantinya akan tampak semakin kontras antara para pekerja di trolly bandara dengan anak-anak muda lainnya yang jadi penumpang pesawat yang secara kesempatan dapat pendidikan, keterampilan serta fasilitas untuk bisa maju dan lebih baik.
Berikutnya mengenai kepemilikan aset. Tak perlu berdebat panjang untuk mencari daftar 10 orang terkaya di negeri ini. Dengan melihat daftar orang-orangnya, kita bisa dengan mudah menebak orang macam apa dan bisnis seperti apa yang menyebabkan ia menjadi orang-orang terkaya di negeri ini. Kita juga tahu, kepemilikan aset keuangan dan properti di Indonesia semakin terkonsentrasi di tangan mereka yang paling kaya. \
Sejumlah data memberikan gambaran bahwa 50% seluruh aset dimiliki oleh 1% penduduk Indonesia. Kosentrasi ini masih menurut data tadi, masuk dalam daftar tertinggi di dunia. Individu-individu tersebut mendapat pemasukan besar dengan memiliki berbagai aset, dan mengakibatkan ketimpangan yang semakin tinggi. Anak-anak mereka akan mewarisi kekayaan tersebut, tumbuh lebih beruntung dan mendapat manfaat dari pekerjaan yang lebih baik.
Kemiskinan terus ada dan tumbuh, diakui atau tidak ia sejatinya lahir dan semakin banyak jumlahnya manakala kesenjangan semakin tinggi. Kemiskinan bukan hanya membuat jurang yang semakin dalam antara yang kaya dan miskin, namun ia juga bisa berdampak pada munculnya prustasi sosial yang berbahaya bagi masa depan sebuah bangsa. Keluarga-keluarga yang miskin akhirnya hanya akan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah seadanya.
Dengan guru dan fasilitas yang ala kadarnya dan tanpa banyak inovasi karya untuk menjadi yang unggul dan maju. Dalam hal menjaga kesehatan pun, mereka hanya mengandalkan yang gratis dan tanpa pencegahan dan perlindungan kesehatan yang unggul dan lebih baik. Pada ujungnya, produktivitas mereka tak begitu optimal saat dewasa. Mereka mungkin juga tidak bisa membuka bisnis ataupun usaha. Kesenjangan yang lebar dalam standar kehidupan sehari-hari juga bisa memicu konflik sosial. Apalagi munculnya ketidakpastian hukum, politik dan ketidakadilan lainnya.
Cahaya di Lorong Gelap
Di tengah tekanan kesenjangan yang terjadi. Tak semua orang berdiri hanya menyesali keadaan, apalagi malah mencaci maki entah siapa yang salah. Ternyata semangat perlawanan dan perjuangan melawan kesenjangan masih ada di sejumlah orang di negeri ini. Mereka memang mengalami kesenjangan, tapi tangan, kaki dan hati mereka tak berdiam diri.
Mereka bergerak dan hadir di negeri yang entah akan jadi apa bila tiada cahaya. Mereka ibarat cahaya di lorong gelap masa depan bangsa. Mereka bergerak, terus bergerak dengan segenap kemampuan dan kapasitas mereka. Mereka bukan hanya meretas mimpi, namun juga menukarkan mimpi ke ratusan bahkan mungkin jutaan orang agar bangkit dan berdiri menyongsong perubahan lebih baik.
Setidaknya, mereka inilah yang “berhasil dihadirkan” Republika dan diganjar dengan sebutan “Tokoh Perubahan 2016”. Mereka memang manusia biasa, mereka punya kesedihan, juga kegembiraan. Mereka juga bukan tak takut melangkah pada awalnya, namun atas dasar dan dorongan untuk memperbaiki kondisi yang ada akhirnya mereka mengayun langkah menembus keterbatasan, rintangan serta tantangan yang ada di depan mereka. Mereka juga sadar, mereka bukan yang terbaik di hadapan manusia, makanya mereka mendeklarasikan diri untuk terus belajar lebih baik sekaligus ingin berbenah menjadi lebih baik.
Keenam Tokoh Perubahan yang diusung Republika tahun ini saya kira sangat sesuai dengan tema kali ini yang mengusung tema “Menggiatkan Ekonomi Berkeadilan untuk Mengatasi Kesenjangan”. Keenam tokoh yang berhasil mendapatkan anugerah Tokoh Perubahan 2016 adalah Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati, pendiri BMT Beringharjo Yogyakarta Mursida Rambe, pendiri Koperasi Tani Maju Bersama Lombok Barat H Artim Yahya, pendiri Universitas Amikom Yogyakarta M Suyanto, bidan inspiratif sekaligus pendiri Yayasan Bumi Sehat Bali Robin Lim, dan pendiri perusahaan kosmetik PT Paragon Technology and Innovation/PTI (Wardah Cosmetics) Nurhayati Subakat.
Mereka semua sekali lagi bukanlah malaikat yang tak punya cacat. Mereka manusia biasa yang tak diam melihat kesenjangan yang ada. Dari tangan sederhana mereka lahir karya dan kebijakan yang mendorong bangsa ini lebih baik ditengah keterbatasan yang ada.
Kata James Baldwin, seorang penyair, novelis, dramawan, eseis dan kritikus ternama dari Amerika, “Tidak semua hal yang kita hadapi bisa diubah; tapi tidak ada yang bisa diubah sampai kita menghadapinya”. Begitulah kehidupan, kita tak bisa mengubah semuanya, termasuk soal kesenjangan ini. Namun setidaknya sebuah langkah kecil dan sederhana yang mereka kerjakan mudah-mudahan menjadi butterfly effect yang bisa menyebabkan perbaikan besar di masa yang akan datang.
Para perubah bukan penentang takdir, mereka justru menjadikan ikhtiar mereka menjemput takdir terbaiknya masing-masing. Para perubah bukan pula para pekerja tanpa karya, mereka justru menjadikan setiap waktunya adalah pengalaman berharga. Jatuh bangun mereka mencapai cita-cita dan harapan agar lebih baik tentu tak semua enak untuk mereka ceritakan. Mereka bukannya tak pernah jatuh, sebagian mereka bahkan hampir memasuki tahap kegagalan dan keputusasaan, namun akhirnya mereka kembali tegak dan bangkit melangkah lagi. Menapaki takdirnya setahap demi setahap.
Apa yang kita lihat hari ini. Pada keberhasilan dan pada puncak-puncak kehebatan dan kekuatan mereka sejatinya adalah salah satu tahapan yang panjang. Mereka yang berdiri tadi malam di panggung dan mendapat kehormatan adalah sosok yang sesungguhnya mewakili cita-cita dan harapan banyak orang.
Menjadi sukses dengan terus peduli dan rendah hati. Menjadi sukses dengan terus berbagi dan menularkan kebaikan ke lebih banyak orang di lingkungan mereka. Sebagian mereka memang orang-orang cerdas, sehingga mencapai gelar doktor dan profesor. Namun sebagian dari mereka justru ditempa alam untuk tumbuh natural dan menjadi bagian dari konsistensi dan perjuangan yang panjang.
Dengan segala kelebihan dan keterbatasannya, mari kita do’akan agar tokoh-tokoh ini terus bertumbuh dan menghias langit Indonesia dengan kebaikan yang melimpah. Semoga pula mereka istiqomah dan terus bertahan dari semua godaan dan kemewahan kehidupan yang mungkin akan melenakan mereka dari garis perjuangan. Semoga.
Ditulis di Condet menjelang fajar, 26 April 2017.
*Nana Sudiana, S.Ip, M.Si (Direktur Pendayagunaan ZIS)
******
Republika.co.id