JUM’AT, 21 JULI 2017 | 00:46 WIB
Fotografer : John Doddy Hidayat
Pemerintah semestinya tak ngotot menetapkan presidential threshold dalam pemilihan presiden 2019. Tindakan memaksakan ide ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden tersebut mencederai kedaulatan rakyat dan konstitusi.
Dalam Pasal 6a Undang-Undang Dasar disebutkan, pasangan calon presiden-wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Sedangkan pemerintah dan para pendukung berkeras agar dalam pemilihan presiden 2019, pasangan calon setidaknya mendapat dukungan 20 persen kursi di DPR dan 25 persen suara sah nasional. Alasannya, untuk menyederhanakan proses pemilu dan menyehatkan demokrasi.
Isu ambang batas pencalonan presiden tersebut merupakan salah satu topik panas dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu. Perdebatan pun berjalan alot. Bahkan pemerintah pernah mengancam akan menarik diri dari pembahasan bila ambang batas ditolak.
Hal yang semestinya tak diabaikan pendukung sistem ambang batas tinggi adalah, tingkat kepercayaan rakyat kepada parlemen dan partai politik cukup rendah. Jajak pendapat Indikator Politik Indonesia tahun lalu menunjukkan kepercayaan publik kepada partai politik hanya 46 persen dan kepada DPR 53 persen. Padahal, menurut amanat konstitusi, kedaulatan berada di tangan rakyat.
Sistem ambang batas usulan pemerintah juga tidak adil bagi partai politik baru. Angka mana yang akan digunakan sebagai dasar penghitungan dukungan? Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi 2013, pemilu eksekutif dan legislatif diselenggarakan serentak pada 2019. Bila ada ambang batas, apakah yang akan digunakan sebagai dasar penghitungan dukungan adalah hasil Pemilu 2014? Akibatnya, partai baru tak akan bisa mengusung calon. Pemilih baru pun merasakan keterbatasannya.
Pemerintah semestinya menyadari dampak negatif sistem ini. Di antaranya, sistem tersebut akan melanggengkan dominasi partai besar, juga menyokong kelanjutan dinasti ataupun oligarki politik. Hanya partai besar yang bisa mengajukan calon. Juga, kemungkinan besar, orang-orang yang akan muncul hanyalah mereka yang telah dikenal baik atau bisa diajak bekerja sama oleh partai besar. Ini berarti akan semakin susah memangkas budaya politik transaksional, juga budaya “mahar”, dalam pencalonan. Orang yang tak mau bernegosiasi dengan partai besar, meski bagus, akan sulit maju.
Dampak lebih lanjut, jalan rakyat untuk mendapatkan pemimpin yang bagus dan berani lantang bersuara untuk mereka semakin sulit. Semestinya makin banyak calon, semakin bagus buat rakyat. Kompetisi pun akan ketat. Para calon akan dipaksa membuat program bagus untuk rakyat agar bisa mendulang suara. Siapa pun yang terpilih, bila pemilihan berjalan jujur, akan menyodorkan program terbagus. Tinggal rakyat menagih janji. Jadi, tak perlu membatasi di titik awal.
********
Opini Tempo.co