Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Jum’at, 24/02 – 2017 ).
Presiden Joko Widodo tak perlu cemas terhadap apa yang disebutnya sebagai demokrasi kebablasan. Presiden semestinya menyikapi secara lebih bijak hiruk-pikuk demonstrasi di jalanan yang belakangan terjadi ataupun hujatan pedas yang kian marak di media sosial.
Mengumbar keresahan di depan publik pada acara pengukuhan pengurus DPP Partai Hanuraâkemarin, justru menunjukkan kepanikan. Sesuatu yang tidak perlu karena Presiden memiliki kekuasaan besar untuk “memberantas” hal itu jika memang dikehendaki. Antara lain dengan mengeluarkan aturan.
Pernyataan Jokowi cukup menghebohkan. Ia menyatakan demokrasi yang kebablasan membuka peluang artikulasi politik yang ekstrem, seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, terorisme, serta ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.
Jokowi memberikan contoh penyimpangan praktek yang dia maksudkan, seperti politisasi SARA serta saling memaki dan menghujat, yang bisa memecah-belah bangsa.
Mudah ditebak, Jokowi merujuk pada kasus yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama, calon inkumben Gubernur DKI Jakarta. Mantan pasangan Jokowi ketika menjabat Jakarta-1 itu dituduh menistakan agama dan saat ini diadili oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Di media sosial, para pendukung dan lawan Ahok saling serang dengan berbagai kalimat kasar.
Kebebasan berbicara merupakan bagian dari demokrasi. Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya, ditetapkan dengan undang-undang. Artinya, konstitusi tidak melarang masyarakat Indonesia berbicara. Karena itu, Presiden tak perlu cemas ihwal demokrasi.
Jika yang membuat Jokowi risau adalah kebablasan dalam hal kemerdekaan mengeluarkan pendapat, seperti berita bohong alias hoax, solusinya sederhana. Gunakan parameter konstitusi: apakah ada penyimpangan? Adakah aturan yang ditabrak?
Presiden sebenarnya tahu bahwa kunci menghadapi demokrasi yang kebablasan adalah penegakan hukum. Karena itu, ia meminta aparat hukum menindak tegas setiap pelanggaran yang terjadi. Menegakkan hukum merupakan pilihan tepat ketimbang mengumbar kerisauan di depan publik.
Kebebasan dan penegakan hukum seperti dua sisi mata uang dalam kehidupan berdemokrasi. Kebebasan tanpa batas bakal menimbulkan kekacauan. Sebaliknya, penegakan hukum yang berlebihan dan pemerintah yang berkuasa dengan represif akan membungkam suara publik. Karena itu, kedua roda tersebut harus berputar bersama.
*******
Tempo.co