Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Jum’at, 09/12 – 2016 ).
Gempa besar yang mengguncang bumi Pidie Jaya, Aceh, Rabu lalu, lagi-lagi memberi pelajaran pahit kepada kita. Aceh adalah wilayah rawan gempa. Kita masih ingat gempa besar pada Desember 2004, disusul tsunami yang menewaskan lebih dari 165 ribu orang, hanya di Aceh.
Namun ingatan traumatis akan bencana itu tak cukup membuat kita waspada. Gempa pada Rabu lalu kembali menelan banyak korban karena aspek pencegahan lagi-lagi terabaikan. Kita begitu mudah melupakan tragedi dan tak mau belajar darinya.
Gempa berkekuatan 6,4 skala Richter itu telah menewaskan lebih dari seratus orang. Semestinya, pemerintah bisa mencegah hilangnya nyawa dan cedera sebanyak itu jika dari awal membuat aturan yang ketat soal persyaratan pendirian bangunan di daerah rawan gempa. Syarat inilah yang sering diabaikan.
Korban jatuh karena terperangkap bangunan yang tidak kokoh. Bangunan beton merupakan titik rawan penyebab jatuhnya banyak korban setiap kali terjadi gempa. Berbeda dengan bangunan tradisional berbahan kayu, yang lebih elastis dan tahan guncangan, gedung beton lebih rentan gempa jika tidak dibangun sesuai dengan standar.
Terbukti, saat gempa Yogyakarta 2006, bangunan tua tradisional lebih mampu bertahan dibanding bangunan beton modern. Kejadian serupa berulang di Pidie Jaya. Puluhan orang terjebak dalam bangunan rumah toko bertingkat yang ambruk.
Bangunan yang memakan banyak korban ini dipastikan dibangun tidak sesuai dengan ketentuan untuk gedung daerah rawan gempa. Akibatnya, begitu terjadi guncangan, bangunan justru menjadi pembunuh, bukan sebagai tempat berlindung. Ini terjadi karena lemahnya pengawasan pemerintah daerah terhadap pembangunan gedung.
Di sejumlah wilayah, terbitnya surat izin mendirikan bangunan (IMB) tidak menjadi syarat pembangunan gedung. Kalaupun ada keharusan mengurus IMB, acap kali dinas pengawas bangunan mendiamkan saja gedung yang tidak berizin.
Sering pula izin terbit karena aparat disogok, sehingga pengawasan terhadap kelayakan dan keamanan bangunan diabaikan.
Seharusnya bencana besar tsunami di Aceh pada 2004, yang merenggut ratusan ribu jiwa, menjadi momentum bagi pemerintah untuk membenahi perizinan bangunan ini. Pendirian gedung anti-gempa jangan hanya saat ada proyek restorasi pasca-bencana.
Aparat juga harus tegas dalam mengatur dan mengawasi pendirian gedung untuk mencegah jatuhnya lagi korban jiwa saat bencana datang.
Pengeluaran IMB perlu ekstraketat karena, selain potensi gempa berasal dari sesar Indo-Australia di selatan Pulau Sumatera, Aceh terancam patahan Samalanga-Sipopok, yang tak kalah berbahaya meski tak menimbulkan tsunami. Patahan yang berpusat di darat ini pernah mengguncang kawasan Pidie Jaya pada 1967.
Kita memang tidak bisa memprediksi, apalagi mencegah, terjadinya gempa. Namun aturan pendirian bangunan dan pengawasan yang ketat setidaknya akan meminimalkan jatuhnya lebih banyak korban.
*******
Tempo.co