W. Riawan Tjandra
Pengajar Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Kamis, 06/07 – 2017 ).
Terungkapnya berbagai modus korupsi dari perencanaan anggaran sampai proses pelaksanaan APBN atau APBD sejatinya karena penggunaan sistem “anggaran berbasis kinerja” (ABK) atau performance based budgeting. Pada intinya, ABK merupakan prinsip penganggaran yang berorientasi pada hasil (output) dan kemanfaatan (outcome) dari setiap rupiah uang negara/daerah yang digunakan untuk membiayai berbagai program/kegiatan pemerintah pusat/daerah.
Sistem penganggaran yang berbasis kinerja merupakan sistem yang saat ini berkembang pesat dan banyak dipakai oleh negara-negara maju di dunia sebagai pengganti sistem penganggaran model lama yang dikenal dengan sistem “line item budgeting” (LIB). Penganggaran dengan sistem LIB merupakan model anggaran tradisional yang hanya berorientasi pada input atau jumlah anggaran yang dipergunakan untuk membiayai program/kegiatan.
Carter (1994) menyatakan bahwa ABK menggunakan pernyataan misi, tujuan, dan sasaran untuk menjelaskan mengapa uang dikeluarkan. Penetapan misi, tujuan, dan sasaran ini merupakan cara untuk mengalokasikan sumber daya guna mencapai sasaran-sasaran tertentu berdasarkan tujuan-tujuan program/kegiatan dan hasil-hasil yang terukur.
Konsep itu diatur pada Pasal 7 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang pada intinya mengatur bahwa penyusunan APBN harus mengacu pada kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan (money follows function) dan berorientasi pada pencapaian tujuan bernegara (goals oriented).
Berdasarkan pada pola pemikiran tersebut, Undang-Undang Keuangan Negara mengatur bahwa dari perumusan kebijakan anggaran sampai laporan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran dapat dimasukkan dalam ruang lingkup makna keuangan negara.
Hal ini berimplikasi bahwa dari perumusan APBN/APBD di meja legislatif, sebagaimana yang diusulkan pemerintah, sudah memiliki konsekuensi yuridis. Artinya, proses pembahasan anggaran di ranah legislatif oleh Badan Anggaran sudah termasuk dalam fase kegiatan pengelolaan keuangan negara yang dapat dipertanggungjawabkan.
Beredarnya sejumlah nama anggota legislatif yang dituding terkait dengan pengalokasian dana APBN untuk membiayai program KTP elektronik tak lepas dari peran Undang-Undang Keuangan Negara, yang memang menempatkan sistem pertanggungjawaban anggaran secara komprehensif dari perencanaan anggaran di ranah legislatif sampai saat laporan pertanggungjawaban anggaran diserahkan oleh eksekutif kepada legislatif.
Dengan demikian, penggunaan ABK merupakan faktor kunci dalam melakukan penelusuran atas terjadinya berbagai modus korupsi atau mis-alokasi anggaran.
Para elite politik dan birokrat serta para penyelenggara negara lainnya seharusnya menyadari bahwa dengan konsep ABK ini tidak ada lagi wilayah dalam sistem pengelolaan keuangan negara yang luput dari jangkauan pengawasan internal maupun eksternal. Kasus korupsi penggunaan dana untuk pengadaan UPS (uninterruptible power supply) di DKI Jakarta juga sudah dimulai dari pembahasan alokasi penganggaran APBD DKI, yang dengan mudah dapat ditelusuri oleh penyidik.
Apalagi definisi keuangan negara yang digunakan oleh Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Keuangan Negara yang menggunakan pendekatan luas dan komprehensif telah meletakkan ruang lingkup keuangan negara sejak dari sumbernya yang terdapat di (Rancangan) APBN/D (teori sumber) dan aliran keuangan negara tersebut ke berbagai subyek, obyek, maupun program/kegiatan yang menggunakan pembiayaan dari keuangan negara (teori aliran keuangan negara).
Dengan kata lain, dari pelaksanaan fungsi otorisasi yang menjadi dasar afirmasi politik pelaksanaan pendapatan dan belanja di ranah otoritas politik sampai pelaksanaan fungsi alokasi dan distribusi di ranah penanggung jawab program/kegiatan secara teknokratis tak mungkin lagi terlepas dari jangkauan pengawasan internal maupun eksternal.
Berbagai indikator kuantitatif maupun kualitatif yang digunakan untuk mengukur serapan anggaran kini dapat digunakan sebagai benang merah untuk menelusuri kembali jejak penggunaan anggaran, atau dalam bahasa hukum keuangan negara sering disebut sebagai catatan atas laporan keuangan dan arus kas.
ABK dapat menutup celah terhadap terjadinya praktik-praktik maladministrasi dalam pengelolaan keuangan negara/daerah. Ini seharusnya menjadi sistem peringatan dini bagi siapa pun yang bertanggung jawab dalam pengelolaan keuangan negara, dari perumus kebijakan sampai pada pelaksana kebijakan anggaran, bahwa korupsi anggaran cepat atau lambat pasti akan dapat dibongkar. Tak ada lagi wilayah abu-abu untuk korupsi anggaran.
*********
Tempo.co