Senin , 12 June 2017, 06:32 WIB
Red: Muhammad Subarkah
Oleh: Erie Sudewo
My President. Saya bukan Pancasila. Namun sebagai rakyat, saya dukung anda. Harapan saya sederhana saja. Jangan sampai kelak terbukti, saya tersudut bahwa saya salah pilih. Sebelum kasep, maka lumrah saya himbau: “Ayo berbenahlah, Boss”.
Jangan Kecewakan Pendukung
Sebagai pendukung, jangan tanya loyalitas saya. Sampai saya tulis sekarang, akrobatik saya tak kunjung usai. Tangkis sana sini serangan padamu, Boss. Tak mengapa saya terus jadi bahan tertawaan. Dilecehkan dan dibully, itu konsekuensi lumrah loyalis.
Apa sih beda antara patuh dan loyalis? Beti. Ada yang bilang, patuh itu karena takut. Takut disemprot, takut tak naik pangkat, atau khawatir dimutasi. Ada pamrih. Sedang loyalis, barangkali maknanya lebih dari sekadar patuh.
Meski tak dapat apa-apa, loyalis tetap loyal. Meski cuma bisa lihat di layar kaca, tetap saja loyalis bela. Padahal belum pernah kita sruput kopi bersama kan. Apalagi makan urak arik tempe ala Warteg kesukaan anda Boss.
Sebagai loyalis sejati, nyaris tiap hari saya berpikir dan bela anda. Loyalitas begini kerap mengganggu sebelah. Seorang shohib sempat bertanya: “Apa Jokowi pernah berpikir tentang anda, bertanya hidup anda, dan hendak memberi sesuatu untuk anda?” Jleeeb…. kena saya. Seolah saya ditampar kiri kanan atas bawah.
Boss saya memang musti pandai bersyukur. Sebab berapa banyak jumlah loyalis seperti saya ini. Khusus berkait saya, anda malah musti sujud syukur berkali-kali. Sebab boleh dibilang, saya loyalis tahan banting. Sudah tiga tahun sejak Kabinet Kerja berjalan, saya tak terjengkang gubrak karena ditertawai dan dilecehkan.
Di samping saya tak minta uang sepeserpun. Tak minta diundang bukber di Ramadhan ini. Juga tak minta didoakan, apalagi diumrohkan. Sementara loyalitas saya, seperti yel orang Jawa. Yang bunyinya: “Pring reketek gunung gamping jebol. Sopo sing manteb dadi loyalis Jokowi jempol”.
Keren kan Boss. Andai tak sujud syukur, Rhoma Irama bilang: “Terlaluuu…”.
Sengkrang-Sekring Setengah Hidup
My President, saya tegaskan lagi. Meski bela anda “separoh hidup”, saya tak dapat apa-apa kan. Mengapa saya bilang “setengah hidup”? Karena pendukung yang lain pasti “setengah mati”. Jika saya dan pendukung lain sama-sama “setengah mati”, berarti setengah tambah setengah sama dengan “mati beneran”. Jika mati beneran, anda kehilangan banyak loyalis, Boss.
Sebagai loyalis, saran saya yang lain: “Jangan lagi ulang kata “Saya Pancasila”. Akibat ucapan itu, wajah saya sering pucat pasi dihabisi. Sebagai Ketua RT, saya pun disapa tim keamanan RT dengan ucapan: “Selamat datang Pak Pancasila!” Saya cuma senyum kecut. Mau saya hardik, lha di mata keamanan saya orang bijak. Jadi, ya telan saja gurauan itu. Padahal jelas ini pelecehan.
Pleaseee… Kasihanilah para loyalis. Jangan biarkan beban loyalis bertambah. Dalih bahwa ucapan “Saya Pancasila” itu terselip lidah, mereka malah lebih kasihan lihat saya. “Sampai begitunya membela tuan, yaaak”, canda mereka. Boss, sakitnya tuh di sini. Mereka yang mem-bully, kadang geleng-geleng melihat kopehnya saya. Terkadang juga menganggukan kepala salut atas kegigihan saya.
Duuuh! Memang ucapan “Saya Pancasila” blunder banget. Belum lagi reda yang kontra, tiba-tiba viral video Permadi beredar. Tahukah anda Boss. Anda yang dikritisi, tapi saya yang merasa disayat. Saya ingin jumpai Permadi untuk berkata: “Jangan gitulah”. Cuma meski saya kenal Permadi, sumpah dia tak tahu saya. Jika kebetulan jumpa saya akan kenalkan diri untuk dialog. Namun ketika ditanya “anda ini siapa?”, saya musti jawab apa Boss?
Hati-Hati Pembisik
My President. Pepatah Romawi bilang: “Jika ingin baik, tinggalkan istana”. Tapi saya tahu, niat anda masuk istana karena ingin benahi. Cuma antara niat dan kenyataan sering beda. Namanya istana, terminal kepentingan banyak pihak. Yang saya dengar, dinding istana pun bertelinga. Jangankan kita bicara perlahan. Wong melihat mimik wajah kita saja, dinding istana bisa laporkan sesuatu.
Saran saya lagi: “Hati-hati dengan pembisik”. Saya pura-pura tak tahu saja. Mengapa pembisik banyak di istana. Padahal siapa sih yang tahu. Sebenarnya apa prestasi pembisik. Ketika dibisiki sebagian pihak adalah lawan, segera mawas diri, Boss. Jelas tak semua hal bisa didengar. Apalagi yang dikatakan lawan, ternyata mereka yang rakyat kebanyakan.
Rakyat Indonesia mudah diarahkan. Bahkan orang Belanda bilang: “Bangsa Indonesia adalah bangsa jongos. Yang siap jadi jongos bagi negeri manapun”. Menyakitkan memang. Suka tak suka, perginya TKW cari sesuap nasi jadi bukti. Jutaan TKW, sengsara tidaknya di tangan majikan. Padahal mereka cuma pemilik rumah.
Maka tugas kita, terutama anda Boss, untuk ubah stigma buruk ini. Sebagai Presiden dan Kepala Negara, Boss punya legitimasi sah dan kuat. Pimpinlah rakyat. Jadikan sebagai pendukung. Jangan jadikan musuh. Dengan jadilan musuh matilah potensi. Kontra produktif. Di sisi lain, musuhi rakyat lahirkan perseturuan permanen. Ingat Boss. Siapapun rakyat, mereka punya hak sama. Ada dalam tanggung jawab kepala negara.
Sedang dengan pembisik, kini berhati-hatilah. Namanya juga pembisik. Yang namanya bisikan pasti rahasia. Tak boleh didengar sembarang orang. Jika tak diwaspadai, hari-hari Boss penuh kemelut. Membangun bangsa tak mudah. Lebih-lebih bekerja dikelilingi para pembisik. Opo enak, Reeek!
My President. Jabatan cuma lima tahun. Lepas itu hidup balik normal. Jangan salah urus negeri. Saya tak siap, jika anda kelak dilecehkan. Maka ayo Boss, jangan musuhi rakyat sendiri. Rakyat butuh “pembinaan” bukan “penghinaan”.
Buktikan Boss punya prestasi. Bukan kalkulasi dari satu citra ke citra berikut. Semoga ya Boss!
*Erie Sudewo, Pendiri Dompet Duafa
*********
Republika.co.id