Supersemar: Surat yang Mengubah Sejarah Dunia

Supersemar: Surat yang Mengubah Sejarah Dunia

901
0
SHARE
Soeharto ketika menerima mandat presiden dari Soekarno. (Soeharto ketika menerima mandat presiden dari Soekarno. (Arsip Nasional).

Senin , 13 March 2017, 17:23 WIB

Surat Perintah Sebelas Maret

Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Abdullah Sammy

Soeharto ketika menerima mandat presiden dari Soekarno. (Soeharto ketika menerima mandat presiden dari Soekarno. (Arsip Nasional).
Soeharto ketika menerima mandat presiden dari Soekarno.  (Arsip Nasional).

Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) tidak hanya menjadi peristiwa yang mengubah peta politik di Indonesia. Supersemar juga bukan peristiwa yang hanya melibatkan dua sosok penting yakni Sukarno dan Soeharto.

Lebih dari itu, Supersemar telah mengubah peta dan arah sejarah dunia. Supersemar juga berefek tak hanya bagi Sukarno dan Soeharto melainkan pada Cina, Rusia, Malaysia, dan Amerika Serikat.

Dalam tulisan ini akan dikupas dampak Supersemar yang mengubah konstelasi politik dunia. Surat yang diberikan Sukarno kepada Letjen Soeharto itu menjadi kunci yang kelak menentukan hasil dalam Perang Dingin. Berikut bahasan lengkapnya.

Sebuah memoar dari Kepala Layanan Luar Negeri Kedutaan Besar Amerika di Indonesia, Richard Cabot Howland, dirilis ke publik pada 1994. Memoar rahasia Central Inteligence Agency (CIA) itu terkait peristiwa yang terjadi di Jakarta pada 29 tahun sebelumnya, atau tepatnya tahun 1965.

Memoar itu berisi gambaran umum salah satu periode sejarah paling kelam Indonesia, yakni peristiwa 30 September 1965. Dalam laporan Howland pula tergambar bahwa peristiwa pada 1965 itu mendapat sorotan serius dari Amerika yang sedang memasuki Perang Dingin dengan blok komunis.

Sorotan Amerika itu mengarah pada presiden pertama Indonesia, Sukarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Laporan Howland dimulai pada peristiwa yang terjadi 23 Mei 1965 di Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta.

Ini terkait pidato Sukarno dalam peringatan HUT PKI ke-45. Pidato Sukarno nyatanya membawa kekhawatiran Amerika dan blok sekutu.

Amerika menganggap pidato itu adalah awal dari misi Sukarno dan PKI untuk mengubah Indonesia menjadi sebuah negara komunis dengan konsep nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom).

“Semua drama (yang terjadi) pada 1965 itu bermuara pada rencana untuk menciptakan negara yang secara total dikontrol kekuatan komunis,” begitu laporan Howland yang bertajuk The Lessons of 30 September Affair.

Karena itu, Howland memandang, segala kekuatan yang membatasi rencana Sukarno dan PKI dalam membentuk negara Nasakom Indonesia akan dihabisi. Ini termasuk musuh politik Sukarno yang beberapa dipenjara, kekuatan Islam yang saat itu kerap mendapat teror, serta tentara yang dianggap menghalangi PKI.

Kekhawatiran Amerika tercermin dalam pidato Sukarno 23 Mei 1965. Dalam pidato di HUT PKI itu, Bung Karno menyinggung hasratnya bersama PKI untuk membentuk sebuah konsep Nasakom yang solid. Bung Karno pun menyinggung kalangan yang tak setuju dengan konsep itu sebagai kontra-revolusioner, pencoleng, dan cecunguk antek imperialis.

Dalam pidato berjudul “Subur, Subur, Suburlah PKI” itu, Sukarno memang sudah memprediksi bahwa aksinya akan membuat barat meradang. “Pihak imperialis di luar geger, di dalam geger. Bahkan mengirimkan beberapa cecunguk-cecunguk. Mengerti saudara-saudara? Untuk mengintai apa gerangan yang akan diperbuat Sukarno dalam rapat raksasa PKI,” kata Sukarno dalam pidatonya kala itu.

Dalam pidatonya itu pula Sukarno menyebut beberapa kalangan yang menjadi penghalang dalam menggulirkan nasakom di Indonesia. Kalangan yang disebut Bung Karno mengalami phobi (ketakutan) terhadap komunis.

“Terus terang saja, di kalangan nas (nasionalis) ada yang komunisto phobis. Di kalangan agama ada yang komunisto phobi. Di kalangan angkatan bersenjata dulu ada yang ber-komunisto phobi. Nah ini penyakit phobi yang ingin saya berantas saudara, ingin saya berantas,” kata Sukarno dalam pidatonya.

Apa yang diutarakan Sukarno soal kekhawatiran barat dan langkah memberantas kekuatan antikomunis diamini Howland dalam laporannya. Kepala Luar Negeri Amerika yang memantau Jakarta itu menggarisbawahi bahwa rentetan peristiwa yang terjadi pada 1965 adalah bentuk nyata dari isi pidato Sukarno dalam rapat besar PKI.

Pidato Sukarno itu juga dinilai menjadi bukti akan teori domino yang saat itu menghantam Asia Tenggara. Teori domino adalah teori yang pernah disampaikan presiden ke-34, Dwight D Eisenhower. Teori itu adalah apabila sebuah negara terpengaruh dengan paham komunisme maka wilayah negara di sekitarnya juga akan terpengaruh. Ini ibarat satu domino yang jatuh dan menimpa domino yang lain di sebelahnya.

Rencana Sukarno dan PKI dianggap Amerika akan membuat balok domino komunis menghantam Indonesia. Dalam laporannya Howland menyebut tahun 1965 adalah saat di mana komunisme tinggal selangkah lagi menguasai Indonesia. “Teori domino di uji di depan mata kepala kami sendiri. Hingga akhirnya domino yang terakhir itu gagal terjatuh,” ujar Howland.

Domino yang gagal terjatuh itu meliputi peristiwa pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat. Tujuh jenderal yang terbunuh pada 30 September 1965 dikenal sebagai sosok-sosok yang antikomunis.

Yang menarik adalah hipotesis Howland tentang latar belakang peristiwa yang terjadi pada 30 September 1965 itu. Howland membaginya pada tiga kemungkinan.

1. Komunis Cina menghasut PKI untuk melakukan kudeta guna mengimbangi gerakan Amerika di Vietnam Selatan.
2. Keputusan Amerika memperkuat pasukannya di selatan Vietnam guna menghalangi pengaruh komunis di wilayah Asia Tenggara ternyata mendapat dukungan pejabat teras angkatan darat Indonesia.
3. Menghancurkan ancaman para komunis dengan waktu singkat meski dengan bayaran 350 ribu jiwa anggota partai.

Inti dari ketiga hipotesis itu adalah 30 September 1965 bukan peristiwa nasional, melainkan internasional. Ini jadi bagian dari perang dingin yang melibatkan Amerika dan sekutunya melawan kubu komunis, Cina, dan Soviet. Tolok ukurnya adalah peristiwa ini yang nyaris bersamaan dengan menghangatnya perang di Vietnam dan Korea.

PKI dianggap ingin membentuk kekuatan militer sendiri guna mensupport kekuatan militer komunis yang sedang berperang di Asia Timur dan Tenggara. Sementara di sisi lain, militer Indonesia (utamanya angkatan darat) dianggap anti terhadap komunis.

Walhasil hipotesis pun mengarah Indonesia yang menjadi arena perang kepentingan antara Amerika dan Sekutu melawan Cina, Soviet, dan blok sekutunya. Awalnya peta politik di Indonesia menguntuntkan kubu komunis. Ini dengan merujuk pidato 23 Mei 1965. Namun, peristiwa 30 September 1965 mengubah segala konstelasi. Komunis yang tersudut sebagai dalang peristiwa mendapat serangan balik.

Gerakan perlawanan balik diarahkan pada kekuatan PKI dan Sukarno. Perlawanan balik dari kekuatan antikomunis pun datang begitu cepat dan membesar usai 30 September 1965. Hingga puncaknya Sukarno meneken Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang intinya memberi wewenang kepala Letjen Soeharto untuk memulihkan keadaan.

Di sisi lain, kubu pro Sukarno justru menuding peran Amerika di balik peristiwa 30 September 1965 yang berujung terbitnya Supersemar. Mengutip buku Malam Bencana 1965 karya Taufik Abdullah, disebut sejumlah analisis mengenai keterlibatan Amerika, utamanya CIA untuk menumbangkan Sukarno via gerakan 30 September.

“Menteri Panglima Udara Republik Indonesia Laksamada Madya Oemar Dhani mendukung analisis bahwa CIA di balik gerakan 30 September 1965,” halaman 365 buku Malam Bencana 1965.

Pandangan ini diperkuat analisis David T Jhonson. Seperti dimuat dalam Malam Bencana 1965, Jhonson menilai, keterlibatan CIA dalam peristiwa 1965 dan peralihan kekuasaan dari Sukarno dan Soeharto adalah bagian dari perang dingin yang sedang melanda dunia.

“Keterlibatan CIA adalah sebuah kebijakan logis Amerika yang tak ingin Indonesia jatuh ke tangan komunis,” begitu isi buku Malam Bencana 1965 halaman 366.

Jhonson menilai, sosok Soeharto dan AH Nasution sebagai kunci. Keduanya secara personal dinilai Jhonson dekat dengan Amerika Serikat.

Namun, tesis Jhonson ini tak diperkuat fakta kuat. Analisisinya hanya berdasarkan asumsi personal dan dugaan-dugaan mengenai lolosnya Nasution dari pembantaian. Di sisi lain, Jhonson menutup fakta soal AH Nasution yang turut menjadi korban dengan tewasnya putri bungsunya, Ade Irma Nasution.

Di sisi lain, Jhonson juga menyinggung keterangan kepala dinas intelijen Angkatan Darat, Brigjen Sukendro usai peristiwa 30 September, yang dinilainya janggal. Sukendro tak lain merupakan orang dekat AH Nasution dan Soeharto.

Sukendro ini yang kemudian membuat hubungan diplomatik Indonesia dan Cina menjadi tegang. Ini tak terlepas kunjungan Sukendro ke Cina guna menghadiri ulang tahun Partai Komunis Cina, 1 Oktober 1965.

Sukendro yang disebut Jhonson dekat dengan Amerika kemudian pulang dari Cina dengan mengantongi sebuah informasi. “Peran penting Sukendro adalah menyebut Cina terlibat dalam gerakan 30 September 1965. Dia memiliki informasi bahwa Cina telah mengantongi tujuh nama jenderal Indonesia yang hendak dieksekusi,” buku Malam Bencana 1965 halaman 368.

Apa pun itu, perkataan Sukandro menjadi awal perubahan peta hubungan diplomatik Indonesia dan Cina. Hubungan diplomatik itu pun akhirnya bubar hingga 1990.

Pada akhirnya peristiwa 30 September 1965 membuat posisi PKI dan Sukarno yang awalnya superior jadi tersudut. Gerakan perlawanan terhadap komunis merebak seantero Nusantara.

Efeknya, Sukarno kehilangam kontrol atas kondisi negara yang semakin tak stabil. Kondisi ini yang menjadi dasar terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966.

Terlepas dari kontroversi Supersemar yang disebut sebagai kudeta merangkak pada Sukarno, nyatanya posisi politik blok Amerika diuntungkan dengan tampilnya Soeharto. Sebaliknya, Supersemar membawa efek langsung bagi posisi blok komunis, yakni Cina dan Soviet.

Sebab, langkah pertama Soeharto usai mengantongi Supersemar adalah menghabisi komunis di Indonesia. PKI dibubarkan. Kekuatan dan pejabat negara yang mengarah ke komunis dijebloskan ke dalam penjara.

Soeharto yang kemudian ditetapkan pada 12 Maret 1967 oleh MPRS, atau setahun setelah Supersemar pun sontak mendapat bantuan Amerika ketika pertama kali baru menjabat. Kebijakan pertama Soeharto setelah menjabat sebagai presiden adalah menerbitkan Undang-Undang Modal Asing (UU Nomor 1 Tahun 1967).

Ini dengan membuka keran investasi guna menyelamatkan keuangan negara yang saat itu sekarat. Sebab, di akhir era Orde Lama, inflasi di Indonesia telah mencapai angka 650 persen.

Dan negara pertama yang menyambut kebijakan ekonomi Soeharto itu adalah Amerika. Ini ditandai dengan masuknya modal Amerika ke Indonesia. Masuknya modal Amerika ini juga ditandai masuknya perusahaan Freeport pada 7 April 1967. Ini ditandai dengan penandatanganan kontrak karya pertama dengan jangka waktu operasi 30 tahun.

Walhasil, Amerika mendapat manfaat langsung secara politik dan ekonomi paska-tampilnya Soeharto. Di sisi lain, kekuatan pro Amerika dan sekutu di Asia Tenggara yang selama ini dimusuhi rezim Sukarno, seperti Malaysia, juga dirangkul Soeharto.

Walhasil kekuatan politik Amerika pun mendapat suntikan penting secara politik dan ekonomi di Asia Tenggara. Sekalipun Amerika urung menaklukkan Vietnam, namun Indonesia wilayah paling besar malah berhasil menaklukkam komunis.

Indonesia di era Soeharto malah menjadi kekuatan antikomunis yang bersinergi dengan Amerika dan sekutunya. Hal yang tak hanya menghentikan jatuhnya domino komunis, melainkan memperkukuh kuku Amerika di Asia.

Kekuatan antikomunis makin besar pada 8 Agustus 1967. Ini setelah sejumlah negara Asia Tenggara (yang antikomunis), termasuk Indonesia, sepakat membentuk aliansi, yakni Association of Souteast Asian Nations (ASEAN).

Sebaliknya, Cina makin teralienasi paska-Soeharto mengantongi Supersemar. Sebab, seketika itu pula hubungan diplomatik dibekukan. Puncaknya, setelah menjabat Soeharto memutus secara kesuluruhan hubungan dengan Cina pada 1967.

Pada saat yang sama pula Soeharto malah menjalin hubungan dengan Taiwan, musuh politik Cina. Pada 1967, pemerintahan Soeharto menempatkan petugas Badan Koordinasi Intelijen (Bakin) sebagai awal mula hubungan kedua negara. Walhasil, kekuatan komunis makin teralienasi di Asia Tenggara.

Perubahan peta politik di kawasan Asia Tenggara ini bermula dari surat yang diteken Sukarno pada 11 Maret 1966. Sebab surat Supersemar itu tak sekadar membuat komunis habis di Indonesia. Lebih dari itu, Supersemar memberi wewenang kepada Soeharto untuk mengubah arah politik di Asia Tenggara.

Dengan Supersemar yang kemudian berujung dengan tampilnya Soeharto sebagai presiden setahun berselang, Indonesia malah menggalang kekuatan regional ASEAN yang antikomunis.

Kemenangan komunis di Vietnam jadi tak berarti jika melihat aliansi ASEAN. Tak hanya itu, hadirnya ASEAN bersama Jepang, dan Korea Selatan sukses mengalienasi Cina di kawasan Asia. Sehingga pengaruh Cina secara ekonomi, sosial, dan politik pun meredup.

Keterpurukan Cina pun berimbas kepada sekutu utamanya Soviet. Hingga akhirnya, Soviet babak belur di sejumlah kawasan Asia pada era Perang Dingin. Ini seperti di Afganistan pada 1979-1989.

Hanya beberapa tahun setelah kekalahan di Afganistan, atau tepatnya pada 25 Desember 1991, Soviet kalah total dalam Perang Dingin. Soviet hancur setelah negara anggotanya memisahkan diri. Hancurnya Soviet juga menandakan kehancuran komunis dalam perang panjang melawan blok sekutu.

Di balik pemisahan diri sejumlah negara dari Soviet, Indonesia di bawah Soeharto menjadi salah satu pendukungnya. Ini terbukti dengan tampilnya Indonesia sebagai salah satu negara yang paling awal mengakui kehadiran pecahan Soviet, Ukraina. Indonesia di bawah pemerintahan Soeharto mengakui Ukraina sebagai negara merdeka pada 28 Desember 1991 atau tiga hari setelah Soviet runtuh.

Namun, benarkah komunis telah benar-benar kalah seiring dengan runtuhnya Soviet? Benarkah, ide negara komunis di Indonesia telah menjadi nisan seperti PKI yang dibubarkan usai terbitnya Supersemar?

Terkait hal ini, laporan analisis Kepala Layanan Luar Negeri Kedutaan Besar Amerika di Indonesia, Richard Cabot Howland, pada 1970 justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Menurut dia, sekalipun sudah bubar, kebangkitan komunis masih menjadi hal yang niscaya di Indonesia. Sekalipun pidato “Subur, Subur, Suburlah PKI” telah berlalu pada 23 Mei 1965, semangatnya masih dirasakan di sejumlah kepala antek-anteknya.

“Dia (komunis) mungkin telah mati saat ini. Tapi retorika (23 Mei 1965) masih tetap ada, terutama di tengah mereka (ratusan ribu) orang yang hadir di sana (Stadion Gelora Bung Karno),” tulis Howland lewat laporan yang dia susun pada 1970.

Ya, kebangkitan itu bisa jadi benar atau pun sebaliknya. Namun, sebuah fakta bahwa negara yang dahulu ‘kalah’ dalam perebutan pengaruh pada 1965, Cina, kini telah bangkit dari tidur panjangnya. Cina kini tak lagi teralienasi melainkan bangkit sebagai raksasa ekonomi.

*********

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY