Sulit Percaya

Sulit Percaya

1076
0
SHARE

Putu Setia
@mpujayaprema

Garut News, ( Ahad, 27/10 ).

Ilustrasi. (Ist).
Ilustrasi. (Ist).

Kepercayaan kita kepada sesama, antarmanusia, nyaris hilang di negeri ini.

Jika dipersentasekan, angkanya begitu rendah.

Pemimpin negeri ini sudah tak memberi teladan dalam memelihara tingkat kepercayaan itu.

Semua janji dan perkataannya tak bisa dipegang.

Yang korupsi justru yang meneriakkan ucapan antikorupsi.

Yang melanggar hukum justru penegak hukum itu sendiri.

Di tengah kepercayaan yang hilang, para tokoh pun harus berbuih-buih meyakinkan masyarakat dengan kata yang muluk.

Dulu, tatkala kita masih percaya omongan orang, tingkat kepercayaan itu tak harus dibulatkan seratus persen.

Ada angka tersisa untuk ketidakmampuan manusia karena faktor yang sangat luar biasa.

Angka untuk Tuhan, begitu kita menyebutnya.

Misalnya, saya berjanji kepada anak saya, “Kalau kamu lulus SMA, akan Bapak belikan sepeda motor.”

Anak minta jaminan: “Bisa dipegang janjinya?” Saya jawab: “90 persen.”

Dan sang anak puas, karena yang 10 persen untuk segala kemungkinan yang tak kuasa dilakukan.

Karena ada pepatah “Manusia merencanakan, Tuhan menentukan”.

Ketika kepercayaan itu makin luntur karena sering dilanggar, “angka untuk Tuhan” mengecil.

“Janji 99 persen”.

Semakin luntur, semakin naik lagi angka itu: “Pokoknya, 100 persen janji.”

Angka ini sudah mutlak-mutlakan–mengesampingkan kekuasaan Tuhan.

Dalam ilmu matematika, tak ada nilai yang lebih sempurna dari angka 100 persen.

Karena persen (lengkapnya persentase) artinya sebuah angka atau perbandingan untuk menyatakan pecahan dari seratus.

Pecahan seratus dari bilangan seratus tentulah sempurna, anak-anak sekolah dasar pun tahu soal itu.

Kini para elite negeri mengumbar angka persentase di luar kenormalan.

Tujuannya untuk lebih dipercaya.

Misalnya, Presiden Yudhoyono, dengan menahan marah, membantah mengenal Bunda Putri dengan kata-kata, “Seribu persen saya tak mengenal.”

Ketika menyebut ada isu bahwa Bunda Putri ikut mempengaruhi kebijakan reshuffle kabinet, SBY bilang, “Dua ribu persen itu bohong.”

Kenapa angka itu disulap 10 dan 20 kali dari sebuah persentase yang normal?

Tentu bukan karena SBY tak belajar matematika.

Ini lebih untuk menyihir masyarakat agar percaya apa yang diucapkan.

Sayangnya, ucapan itu jadi bahan olok-olok dan orang makin tidak percaya.

Apalagi Bunda Putri kemudian memberi pernyataan: “SBY tiga ribu persen kenal saya.”

Astaga, itu artinya SBY masih “berutang” dua ribu persen kepada Bunda Putri.

Maaf kalau tulisan ini jadi serius, tidak seperti biasanya.

Saya memang sedang serius “menasihati” para pemimpin negeri ini, agar jangan terlalu mengobral kata untuk meyakinkan orang.

Ibarat pohon, semakin tinggi, semakin mudah diombang-ambingkan.

Normal-normal saja, tapi lakukan tindakan nyata.

Misalnya, SBY cukup menyebut, “Seratus persen saya tak kenal Bunda Putri,” lalu memerintahkan polisi segera memeriksa Bunda Putri.

Urusan selesai dalam hitungan jam, tidak berhari-hari yang membuat rakyat bertanya: kita percaya yang mana?

Begitu pula pesan pendek yang beredar dari “terduga SBY” untuk pengurus Partai Demokrat.

Berhari-hari kasus itu digunjingkan, padahal urusan cuma lima menit.

Tinggal menjelaskan apakah itu palsu atau tidak.

Bagaimana kepercayaan bisa pulih kalau pemimpin tidak kembali ke “jalan normal”?

Jangan menentang arus, rakyat lagi susah.

Baru saja kiai pesantren dipukuli anggota FPI, kok tiba-tiba menteri meminta pemda bekerja sama dengan FPI dan menyebutkan ormas itu aset bangsa.

Memangnya kiai bukan aset bangsa?

Empat ribu persen rakyat jadi sulit percaya.

***** Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY