Ahad , 30 April 2017, 04:45 WIB
Red: Muhammad Subarkah
Oleh Lukman Hakiem*
Pada suatu hari di tahun 1928, di depan massa Partai Nasional Indonesia (PNI), Ir Sukarno menyerukan agar massa partai yang baru dibentuknya itu mencintai tanah air.
“Ibumu Indonesia terasa amat cantik. Cantik langitnya dan buminya. Cantik gunungnya dan rimbanya, cantik lautnya dan sungainya, cantik sawah dan ladangnya, cantik gurun dan padangnya. Hawanya yang terlebih baik, terlebih sehat, dan terlebih sejuk bagi kamu. Ibumu Indonesia teramat baik. Airnya yang kamu minum. Nasinya yang kamu makan.”
Maka, lanjut Sukarno, tidak lebih dari wajibmu, apabila kamu memperhambakan, membudakkan dirimu kepada Ibumu Indonesia, menjadi putera yang mengikhlaskan setiamu kepadanya.
Pidato itu kemudian mendapat tanggapan dari H Agus Salim. Dalam tulisannya di harian Fadjar Asia yang didirikan HOS Tjokroaminoto bersama H Agus Salim, pidato Sukarno itu ditanggapi Salim dengan tulisan berjudul ‘Tjinta Bangsa dan Tanah Air (Nasionalisme dan Patriotisme)’.
Menurut Salim, seruan Sukarno itu alasannya benar, tujuannya tidak! Salim kemudian menunjuk sejumlah contoh betapa atas nama tanah air, banyak bangsa merendahkan derajat bangsa lain.
“Inilah bahayanya kita ‘menghamba’ dan ‘membudak’ kepada ‘Ibu Dewi’ yang menjadi tanah air kita itu dengan sendirinya saja: karena eloknya dan cantiknya, karena kayanya dan baiknya, karena airnya yang kita minum, karena nasinya yang kita makan,” tulis Salim.
Selanjutnya Salim menulis: “Atas dasar perhubungan yang karena benda dunia dan rupa dunia belaka, tidaklah akan dapat ditumbuhkan sifat-sifat keutamaan yang perlu untuk mencapai kesempurnaan. Atas dasar perhubungan yang karena benda dan ikhlas, dan tawakkal, yang sampai menyabilkan nyawa. Sebab benda dan rupa dunia habis gunanya, apabila nyawa sudah tiada.”
“Maka sebagai dalam tiap-tiap hal yang mengenai dunia kita, demikian juga dengan cinta tanah air kita mengajukan cita-cita kepada yang lebih tinggi daripada segala benda dan rupa dunia, yaitu kepada hak, keadilan, dan keutamaannya yang batas dan ukurannya telah ditentukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.”
Bagi Salim, hanya dengan lillahi ta’ala kita tidak akan menyimpang dari jalan hak, keadilan, dan keutamaan.
“Alangkah untung Ibu Indonesia jika putera-puterinya hendak mencontoh sedikit cinta yang karena Allah belaka itu kepadanya,” kata Salim menutup tulisannya seraya merujuk cinta tanah air model Nabi Ibrahim yang tidak peduli apakah tanah airnya cantik atau tidak, kaya atau tidak, dan pengasih penyayang tanahnya atau tidak.
Tanggapan A Hassan dan M Natsir
Tak hanya Agus Salim, Ustaz A Hassan dan Mohammad Natsir ikut menanggapai pernyataan Sukarno itu. A Hasan yang juga tokoh Persatuan Islam menyatakan, landasan atau dasar mencintai tanah air adalah berdasarakan niat lillahi ta’ala.
Dalam tulisannya yang bertajuk “Islam dan Kebangsaan” (1940), Hassan menegaskan tidak ada undang-undang buatan manusia atau hukum agama yang melarang seseorang mencintai bangsa dan tanah airnya, malah tidak dilarang dia mencintai kerbau dan sapinya, kambing dan anjingnya, ayam dan bebeknya, bahkan boleh ia cinta kepada musuhnya.
Bukan hanya itu, malah pada kurun delapan tahun sebelumnya, dalam “Risalah Debat Kebangsaan Antara Ketoea-ketoea Kaoem Islam di Bandoeng dengan Boeng Hadji Moechtar Loethfi Wakil HB PMI Padang”, Hassan menegaskan bahwa bukan saja Islam menyuruh cinta kaum Mukmin, bahkan tidak melarang kita mencintai kafir dari lain bangsa. Tetapi lantaran cinta kepada bangsa sendiri itu, janganlah kita benci kepada yang lain.
“Kalau seorang cinta bangsanya, dan bekerja untuk bangsanya dengan cara-cara Islam, dan tidak melupakan persaudaraan secara Islam, dan persaudaraan sebagai anak manusia, maka orang yang begini tidak ada siapapun berani katakan dia dalam kesalahan,” tulis Hassan.
Meskipun Islam tidak menghalangi seseorang untuk mencintai bangsa dan tanah airnya, Hassan mengingatkan, janganlah dibawa-bawa kalimat “cinta tanah air sebagian dari iman” yang dikatakan sebagai hadits Nabi, padahal bukan.
Kalau orang membawakan hadits palsu tentang cinta tanah air, kata Hassan, nanti orang bawakan pula hadits palsu “cinta kucing itu sebagian dari iman”, atau hadits-hadits lemah tentang mencintai Arab dan Quraisy sebagai bagian daripada iman.
Pandangan Mohammad Natsir pun kemudian muncul senada dengan sikap Salim dan Hassan. Natsir juga menolak tuduhan bahwa Islam memungkiri eksistensi kebangsaan. “Kita dapat menjadi Muslim yang taat yang dengan riang gembira pula menyanyikan Indonesia Tanah Airku,” tegas Natsir.
Menurut Natsir, bagaimana kita akan menghilangkan keindonesiaan kita, padahal Tuhan yang menjadikan kita berbangsa-bangsa. Malah menurutnya kita harus berbahagia dan bergembira memperlihatkan kepada dunia luar,
“Inilah kami bangsa Indonesia. Bahasa kami demikian. Kebudayaan kami demikian. Tulisan-tulisan batik kami demikian. Musik kami demikian,” kata Natsir seraya menegaskan tidak ada perlunya seorang Muslim harus menanggalkan kebangsaan dan kebudayaannya.
Dalam sebuah tulisan pada Februari 1950, Natsir mengakui sering orang bertanya mengapa agama dibawa-bawa ke dalam politik, atau politik dibawa-bawa ke dalam agama?
Bagi Natsir, pertanyaan itu muncul dari orang-orang yang menganggap Islam semata-mata satu sistem peribadatan antara makhluk dengan Khalik semata. Padahal Islam bukan saja suatu kebudayaan yang sempurna, tetapi juga falsafah hidup, levens filosofie, ideologi, sistem perikehidupan, untuk kemenangan manusia sekarang dan di akhirat nanti.
Karena itu, simpul Natsir, “Bagi kita menegakkan Islam tidak dapat dilepaskan dari menegakkan masyarakat, menegakkan negara, menegakkan kemerdekaan. Lantaran itu, bagi kaum Muslimin memperjuangkan kemerdekaan bukan semata-mata karena didorong oleh aspirasi nasionalisme atau kebangsaan, akan tetapi pada hakikatnya adalah karena kewajiban yang tidak dapat dielakkan oleh tiap-tiap Muslim. Itulah ruh Islam!,” tegas Natsir.
Demikianlah, H Agus Salim, A Hassan, dan M Natsir dalam identitas dan kapasitasnya sebagai Muslim, tidak pernah ragu-ragu dan tidak pernah segan menegaskan jatidirnya sebagai nasionalis sejati. Ketiga tokoh itu tidak pernah canggung terlibat di dalam urusan-urusan memperjuangkan, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan Indonesia.
Meskipun tidak hendak bermegah-megah dengan jasa generasi terdahulu, tetapi sejarah perjuangan bangsa Indonesia selanjutnya membuktikan betapa ruh Islam tidak pernah mati.
Sejarah menjadi saksi bahwa di dalam mempertegak eksistensi bangsa dan negara ini, umat Islam Indonesia tidaklah terbelakang dari saudara-saudaranya dari golongan lain.
Umat Islam bahu membahu dengan golongan lain, berkurban dan berjihad di pelbagai lapangan dengan tujuan yang satu: melepaskan tanah air dari penjajahan lahir dan batin, menegakkan dan mengisi kedaulatan di seluruh kepulauan Indonesia.
Kemusliman dan keindonesiaan memang bukan dua hal yang harus dipertentangkan. Akan tetapi, menjadi keyakinan kaum Muslim yang tidak pernah putus bahwa hanya dengan meluruskan niat semata-mata karena Allah, lillahi ta’ala, keindonesiaan kita akan memiliki nilai kesejatian dan keabadian yang terus melimpah.
*Lukman Hakiem, Peminat Sejarah mantan angota DPR, staf ahli Wapres Hamzah Haz, dan staf M Natsir.
*********
Republika.co.id