Putu Setia
Garut News ( Ahad, 09/11 – 2014 ).
Inilah kisah sebuah negeri yang berputar-putar di lingkaran tanpa ujung. Perdebatan berulang-ulang tanpa ada keputusan yang pasti atau keputusannya diulur-ulur.
Salah satunya adalah pro dan kontra pengurangan subsidi bahan bakar minyak.
Pemerintahan boleh berganti presiden dan menteri. Namun subsidi untuk minyak tetap tinggi. Tak sebanding dengan dana yang dikucurkan untuk menyejahterakan rakyat.
Subsidi untuk minyak selama lima tahun terakhir mencapai Rp 1.300 triliun, sementara uang yang disalurkan untuk kesejahteraan rakyat tak sampai Rp 1.000 triliun.
Bagi pemerintah dan yang pro pada pengurangan subsidi, analisisnya sederhana. Kalau uang sebanyak itu terus-menerus untuk subsidi minyak, kapan pemerintah membangun jalan lebih banyak, memperbaiki irigasi, membantu petani dengan pupuk murah, memberikan pelayanan kesehatan, membangun sekolah, dan seterusnya.
Rakyat di desa paling menghabiskan Premium 2 liter sehari untuk ke pasar atau ke kebun dengan sepeda motor.
Sedangkan orang mampu di kota menghabiskan 20-an liter sehari dengan mobilnya. Subsidi lebih dinikmati oleh mereka yang kaya, bukan oleh rakyat desa.
Mereka yang menolak pengurangan subsidi alasannya juga sederhana. Kalau harga minyak naik, ongkos angkutan juga naik.
Akibatnya, kebutuhan pokok pun naik. Rakyat semakin menjerit karena menanggung beban lebih banyak, sementara penghasilannya tak ikut naik.
Wong cilik akan tambah sengsara, buruh-buruh tambah menderita. Lihat demonstrasi sudah meledak di mana-mana. Semuanya demi rakyat.
Para pengamat yang menolak pengurangan subsidi-sambil menyebut demi wong cilik-meminta pemerintah mencari alternatif.
Dari yang masuk akal tapi sulit sampai yang abstrak. Misalnya, dibuat aturan dengan memanfaatkan teknologi agar minyak untuk rakyat tetap murah tetapi minyak untuk yang kaya boleh tinggi.
Yang abstrak, ambil uang negara yang ditilep para koruptor, baik koruptor yang sudah dihukum maupun yang masih dikejar.
Lalu, cari energi alternatif. Apa misalnya? Ya, pemerintah harus berpikir, dong.
Perdebatan ini terus berulang setiap ada rencana pemerintah menaikkan harga minyak, siapa pun presidennya.
Wartawan tinggal copy-paste berita-berita tahun lalu dengan hanya mengubah tanggal dan sedikit merevisi nama tokoh.
Karena pasti ada tokoh baru yang muncul, misalnya, mereka yang ngebet jadi menteri tetapi nasib membuatnya di luar pemerintahan.
Lucunya, setiap perdebatan itu pasti panjang dan membuat pemerintah bimbang untuk mengambil keputusan yang cepat.
Lagi pula wacana kenaikan harga minyak itu jauh-jauh hari dikumandangkan, mungkin maksudnya sosialisasi, tapi yang terjadi malah keriuhan pro-kontra.
Yang diuntungkan adalah penimbun minyak, baik penimbun kelas jeriken di pedesaan maupun kelas drum di kota dan kelas tanker di laut.
Yang dibuat sibuk adalah polisi, karena menjaga SPBU dari antrean panjang. Minyak langka. Rakyat yang jauh dari SPBU menderita, membeli seliter Premium Rp 20 ribu hanya untuk motor yang mengangkut hasil panen dari kebun.
Dan mereka mengomel: “Kalo memang naik, ya, naikkan, dong, langka begini jatuhnya lebih mahal.”
Tahun lalu, ketika Presiden SBY mau menaikkan harga minyak, yang menolak keras adalah PDI Perjuangan.
Materi pro-kontra sama. Sekarang, di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, pro-kontra pun sama. Bedanya, yang menolak adalah Partai Gerindra dan sekutunya.
Andai kenaikan harga sekarang batal dan dicoba lagi tahun depan, semuanya akan berulang. Termasuk tulisan ini, tinggal ganti beberapa kalimat saja.
Duh, sebuah negeri yang tak pernah selesai.
******
Tempo.co