SELASA, 08 AGUSTUS 2017 | 23:07 WIB
Fotografer : John Doddy Hidayat
Kasus yang menyeret artis komika Muhadkly M.T. alias Acho menunjukkan posisi lemah konsumen di hadapan pengembang permukiman. Acho, yang mengungkapkan aspirasinya seputar apartemen tempat ia tinggal, malah dilaporkan ke penegak hukum dengan tuduhan pencemaran nama.
Kasus Acho berawal saat ia mempertanyakan komitmen pengembang perihal fasilitas ruang hijau seluas 10 hektare yang pernah dijanjikan dan belakangan sebagian disulap menjadi bangunan. Pertanyaan itu ia tulis di blog pribadinya pada 8 Maret 2015.
Acho dan warga juga mempertanyakan mahalnya iuran pemeliharaan lingkungan, transparansi pengelolaannya, sampai soal pengenaan pajak bumi dan bangunan oleh pengelola.
Rupanya PT Duta Paramindo Sejahtera, pengelola apartemen Green Pramuka City, tak ingin menanggapi keluhan Acho dengan kepala dingin. Mereka memilih melaporkan Acho ke polisi dengan tudingan mencemarkan nama sesuai dengan Pasal 27 ayat 3 UU ITE dan Pasal 310-311 KUHP. Seperti biasa, polisi begitu cekatan memproses laporan pengembang.
Respons pengelola dan pengembang semacam ini menunjukkan sikap arogan. Mereka terkesan tak ingin menyelesaikan keluhan Acho (dan warga), yang sesungguhnya bisa dilakukan lewat sebuah mediasi.
Harus diingat, langkah Acho menyampaikan keluhan itu dilindungi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 4 tentang Perlindungan Konsumen. Di sana disebutkan bahwa konsumen berhak didengarkan pendapat dan keluhannya.
Undang-Undang tentang Rumah Susun pun memungkinkan langkah seperti yang dilakukan Acho ini. Juga tidak keliru Acho menuliskan keluhannya lewat media sosial, sepanjang yang ia utarakan adalah fakta dan bukan hoax.
Kriminalisasi semacam itu mau tak mau menimbulkan dugaan bahwa pengembang memang ingin membungkam suara konsumen yang kritis. Bukan tak mungkin langkah ini diambil mengikuti preseden beberapa kasus serupa sebelumnya.
Salah satu yang terkenal adalah saat PT Duta Pertiwi-pengembang ruko di ITC Mangga Dua-menyeret Koe Seng Seng, salah satu pemilik ruko, ke pengadilan. Seng Seng waktu itu menulis surat pembaca ke media cetak mengeluhkan status tanah yang dibelinya. Kasus ini bergulir sampai ke Mahkamah Agung dan Seng Seng didenda Rp 1 miliar.
Berulangnya upaya kriminalisasi konsumen ini dikhawatirkan kian menebarkan rasa takut di kalangan warga untuk bereaksi jika mendapat pelayanan buruk. Padahal pengaduan penghuni perumahan dan apartemen saat ini cukup besar. Jumlah aduannya di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, misalnya, menduduki urutan kedua, sebesar 18 persen.
Tim jaksa penuntut yang sedang memeriksa kasus ini seharusnya menghentikan perkara dengan wewenang yang dimiliki. Pengembang serta penyedia produk dan jasa lainnya semestinya sadar bahwa pengaduan konsumen ini dilindungi undang-undang.
Kejaksaan seharusnya memiliki akal sehat dan nurani. Konsumen yang menyuarakan haknya tak boleh dikriminalkan. Preseden kasus Koe Seng Seng tak boleh terulang.
*********
Opini Tempo.co