Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Senin, 16/01 – 2017 ).
Maraknya praktek jual-beli jabatan di pemerintahan daerah dan institusi pemerintah lainnya sungguh mencemaskan. Jika dibiarkan, perilaku kotor itu jelas akan membuat birokrasi kita rapuh dan bobrok. Karena itu, harus dilakukan langkah cepat dan serempak untuk menghentikan praktek tak terpuji tersebut.
Penangkapan Bupati Klaten Sri Hartini pada 30 Desember lalu hanyalah puncak gunung es “kegiatan” jual-beli jabatan yang selama ini terjadi. Hal serupa diduga kuat juga banyak terjadi di daerah lain.
Komisi Aparatur Sipil Negara, misalnya, sepanjang 2016 menerima 278 aduan soal ini. Dalam setahun, menurut Komisi, diperkirakan uang suap jual-beli jabatan mencapai Rp 35 triliun.
Dalam kasus ini masalahnya memang bukan uang negara yang hilang, melainkan dampaknya yang mengerikan. Birokrasi tak berjalan optimal karena yang menjalankannya bukan orang yang ahli. Dia menduduki jabatan tersebut karena menyuap.
Pejabat semacam itu pada akhirnya akan memanfaatkan kedudukannya semata-mata untuk mencari duit guna “menutup” uang suap yang telah ia keluarkan. Tugas melayani rakyat menjadi terbengkalai. Jika hal ini terus terjadi, Indonesia pada akhirnya akan menjadi negara gagal.
Praktek ini sesungguhnya bisa dicegah jika pemerintah daerah menerapkan aturan seperti ditentukan dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara serta Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi ihwal pengisi suatu jabatan.
Aturan itu mewajibkan pengisian jabatan dilakukan melalui lelang terbuka. Hal itu dibuat guna mendapatkan pejabat yang kompeten.
Celakanya, aturan tersebut banyak diterabas. Dalam kasus di Klaten, misalnya, pengisian jabatan dilakukan tidak transparan dan Bupati Sri Hartini mematok Rp 400 juta untuk mereka yang ingin menduduki jabatan eselon II atau setingkat kepala dinas.
Pakta integritas antikorupsi yang ditandatangani Sri-bersama 17 kepala daerah lain sebelas bulan lalu-ternyata tak cukup kuat untuk membendung hasrat Bupati Klaten itu menyalahgunakan jabatannya.
Komisi Aparatur Sipil Negara, lembaga pengawas seleksi pejabat daerah, harus lebih aktif mengawasi proses pergantian pejabat di daerah. Untuk mencegah terjadinya suap atau kongkalikong demi memperoleh jabatan itu, Komisi perlu meningkatkan kerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Selain itu, masyarakat harus diedukasi agar tidak segan-segan segera melapor ke KPK jika melihat terjadinya indikasi jual-beli jabatan.
Kementerian Dalam Negeri juga harus segera menyelesaikan peraturan pemerintah untuk membina dan mengawasi kepala daerah yang kini tengah mereka godok. Peraturan itu memang diharapkan akan menjadi amunisi kuat pemerintah untuk membasmi praktek jual-beli jabatan.
Dengan peraturan yang kuat serta kerja sama antara Komisi Aparatur Sipil Negara dan KPK, kita berharap tak ada lagi alasan praktek jual-beli jabatan itu tak bisa dilenyapkan.
********
Opini Tempo.co