Red: Agung Sasongko
Oleh: Fariq Gasim Anuz
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Allah berfirman yang artinya, “Apakah dia (manusia) itu mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang berkuasa atasnya?” (QS al-Balad: 5).
Seorang yang beriman dia akan sadar bahwa dirinya makhluk yang lemah, membutuhkan rahmat Allah, dan selalu takut kepada siksaan-Nya jika ia menzalimi orang lain. Seorang yang beriman tidak akan menyombongkan diri dengan kekuatan fisik, kecerdasan, harta, dan atau jabatannya.
Allah Maha Berkuasa untuk mencabut nikmat kesehatan dari hamba-Nya. Ada seorang yang sedang berolahraga tenis lapangan, tiba-tiba terjatuh dan sakit stroke. Ada orang yang sakit sehingga dokter tidak memperbolehkannya untuk memakan makanan apa saja kecuali lewat infus.
Seorang yang bergelar Profesor Doktor, bisa sewaktu-waktu Allah cabut kecerdasannya dengan hilang ingatan atau menjadi gila, semoga Allah melindungi kita dari hilangnya kenikmatan. Begitu pula dengan harta yang dimiliki manusia, dengan mudah Allah berkuasa untuk mencabut nikmat kekayaan harta dari hamba-Nya dan seketika menjadi orang bangkrut, terlilit utang yang banyak, dan menjadi miskin.
Imam Hasan Bashri berkata tentang ayat di atas, “Apakah manusia mengira bahwa tidak ada yang mampu untuk mengambil harta bendanya?” Imam Qatadah berkata, “Apakah manusia mengira ia tidak akan ditanya (di akhirat) tentang harta bendanya, dari mana ia peroleh dan untuk apa ia belanjakan?” Terkadang harta itu menjadi musuh dan menyiksa pemiliknya.
Imam Qurthubi berkata tentang ayat di atas, “Apakah manusia mengira bahwa Allah tidak akan menghukumnya?” Bagi semua para pemimpin, hendaknya takut kepada pembalasan Allah jika ia berbuat zalim kepada orang yang dipimpinnya.
Abu Mas’ud Al Badri berkata, “Aku pernah memukul pelayanku dengan cambuk, tiba-tiba aku mendengar suara dari belakangku, ‘Ketahuilah wahai Abu Mas’ud!’ Aku tidak memperhatikan suara tersebut karena sedang larut dalam kemarahan.”
“Ketika sumber suara itu telah mendekat, ternyata beliau adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Beliau bersabda, ‘Ketahuilah wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah wahai Abu Mas’ud!” Abu Mas’ud berkata, “Kemudian, aku melemparkan cambuk dari tanganku.”
Lantas Beliau SAW bersabda, “Ketahuilah wahai Abu Mas’ud!, Sesungguhnya Allah lebih berkuasa atas dirimu daripada kekuasaanmu atas budakmu ini.” Abu Mas’ud berkata lagi, Kemudian aku berkata, “Aku tidak akan memukul seorang budak pun setelah itu” (HR Muslim)
Maksud dari ayat dan hadis di atas, jika ia seorang atasan atau majikan, dia tidak akan menzalimi bawahan atau karyawannya. Jika ia seorang suami, ia tidak akan menyakiti istrinya. Jika ia seorang penguasa, ia tidak akan bersikap arogan dan menzalimi rakyatnya.
Penguasa ibarat orang tua yang sayang kepada rakyat. Penguasa yang membaca dan merenungi ayat dan hadis di atas dia akan menyadari bahwa kekuasaannya merupakan amanat. Kekuasaan dan jabatan suatu saat akan lenyap, adapun dampak kezaliman yang dilakukannya akan langgeng ia rasakan, kecuali jika ia bertobat.
Jika Allah sekarang membiarkannya berbuat zalim, itu tanda sedang diulur. Termasuk hukuman Allah kepada hamba-Nya ketika ia menganggap bahwa kebatilan yang dilakukannya sebagai kebenaran dan kebenaran yang diingkarinya dianggap sebagai kebatilan.
Ya Allah, perlihatkanlah kepada kami kebenaran sebagai kebenaran dan berilah karunia kepada kami kemampuan untuk mengikutinya. Ya Allah, perlihatkanlah kepada kami kebatilan sebagai kebatilan dan berilah karunia kepada kami kemampuan untuk menjauhinya, amin.
*********
Republika.co.id