Garut News ( Jum’at, 04/04 – 2014 ).
Akurasi peringatan dini tsunami, dikeluarkan Pemerintah Indonesia merespons gempa Cile dipertanyakan.
Peringatan Waspada 115 daerah di Indonesia dinilai berlebihan, dan menimbulkan kepanikan.
Hal itu dikhawatirkan, bisa mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat.
Menyusul gempa Mw 8,2 terjadi di Cile, Rabu (02/04-2014) malam, “Indonesia Tsunami Early Warning Center” (InaTEWS) “Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika” (BMKG) segera mengeluarkan peringatan dini terhadap 115 lokasi di kabupaten/kota, dari 19 provinsi di Indonesia berpotensi dilanda tsunami berketinggian maksimum setengah meter.
Disebutkan, waktu kedatangan tsunami di wilayah Indonesia diperkirakan, Kamis (03/04-2014) pukul 19.44.
Selain kawasan Indonesia timur, beberapa daerah disebut berkondisi Waspada termasuk Jawa Timur, Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Bali, dan Kalimantan Timur.
”Status 115 daerah itu Waspada, agar segera mengarahkan warga menjauhi pantai dan tepian sungai,” kata Kepala Pusat Data Informasi “Badan Nasional Penanggulangan Bencana” (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho.
Informasi ini, menurut Sutopo, diteruskan BNPB pada masyarakat dan seluruh BPBD di seluruh Indonesia.
Peringatan dini tsunami baru dicabut, Kamis pukul 08.30.
”Berdasar informasi beberapa BPBD tak terlihat adanya tsunami,” kata Sutopo.
Berdasar pemodelan
Menurut Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG Mochammad Riyadi, peringatan dini tsunami sebagai dampak gempa di Cile ditetapkan berdasar pemodelan BMKG.
Ia katakan, peringatan dini tsunami digunakan bukan berasal dari analisis data buoy di laut.
”Dari pemodelan itu ditetapkan daerah-daerah tertentu, seperti Papua, akan terdampak tsunami. Pemodelan itu juga menjadi acuan BMKG menetapkan peringatan dini tsunami selama ini,” katanya.
Suhardjono, mantan Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG, dihubungi terpisah mengakui, sistem InaTEWS masih banyak kudu dibenahi.
”Kepanikan warga mengungsi seperti di Banyuwangi semestinya tak terjadi,” kata Suhardjono, baru pensiun Februari 2014.
Menurut dia, kesalahan kali ini kemungkinan berasal adanya analisis 115 kabupaten/kota sebagai lokasi rawan potensi tsunami.
Akibatnya, peringatan dini tsunami diberlakukan bagi seluruh Indonesia.
”Mengingat lokasi gempa sangat jauh, peringatan dini tsunami di Indonesia seharusnya tak diberlakukan ke semua daerah rawan tersebut,” katanya.
Suhardjono mengatakan, beberapa negara lain, seperti Jepang, Hawaii, dan Cile, menyabut peringatan tsunami dua jam setelah gempa.
”Penyabutan peringatan dini dua jam setelah gempa itu berdasar analisis buoy di Hawaii. Semestinya, peringatan dini di Indonesia menyesuaikan hasil analisis itu,” katanya pula.
Disarankan, agar sistem InaTEWS dibenahi.
”Peringatan dini tsunami tak akurat bisa mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat,” imbuhnya.
Berdasar evaluasi dilakukan tim Kaji Cepat Bersama terhadap InaTEWS setelah gempa 11 April 2012, sistem ini memang masih memiliki banyak kelemahan.
Eko Yulianto, ahli tsunami dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, memimpin evaluasi, katakan, salah satu kelemahan mendasar sistem ini, tak adanya pendidikan pada publik, dan pemberdayaan terhadap BPBD.
”Masyarakat tak dipahamkan level peringatan tsunami, apa beda Waspada, Awas, dan Siaga, dan apa tindakan kudu dilakukan pada setiap status itu. Sosialisasi sangat minim,” ungkapnya.
Perlu diperjelas
Ahli tsunami dari “Amalgamated Solution and Research” (ASR), Gegar Prasetya, mengatakan, peringatan Waspada dikeluarkan BNPB terlalu berlebihan.
”Saya banyak ditelepon teman- teman BPBD kebingungan soal peringatan ini. Harusnya diperjelas, mana daerah patut Waspada, jangan semua dinyatakan Waspada,” beber Gegar.
Peringatan BMKG-BNPB telanjur memicu kepanikan masyarakat.
Di Banyuwangi, Jawa Timur, berdasar laporan Kompas.com, Kamis (03/04-2014), ribuan warga mengungsi, dan beberapa sekolah diliburkan.
Kepanikan juga dilaporkan terjadi di Sumatera Barat, dan beberapa daerah lain.
Menurut Gegar, berdasar analisis ia lakukan, kecil kemungkinan tsunami kiriman Cile memberikan efek merusak pantai-pantai di Indonesia, apalagi di kawasan seperti Jawa Timur.
”Skala gempanya tak terlalu besar, dan arah energinya tak ke Indonesia. Paling berpotensi terdampak Papua, itu pun kemungkinan paling tinggi hanya setengah meter, dan sifatnya osilasi lokal, atawa gelombang berdiri, bukan gelombang horizontal merusak,” katanya.
(AIK/NAW/KOMPAS CETAK)/Kompas.com