Ahad , 09 Juli 2017, 05:00 WIB
Red: Agus Yulianto
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MS
Alhamdulillah kita bersyukur kepada Allah SWT karena baru saja menyeleseikan ibadah shaum di bulan suci Ramadhan 1438 H yang penuh dengan keagungan, kemuliaan dan keberkahan. Kita berdoa kepada Allah SWT mudah-mudahan kita semua termasuk kedalam kelompok orang-orang yang dipilih-Nya mendapatkan rahmat-Nya disepuluh hari pertama, mendapat ampunan dan maghfirah-Nya disepuluh hari kedua, dibebaskan dari azab-Nya disepuluh hari yang terakhir, dan dipilih-Nya mendapatkan Lailatul Qadr.
Sehingga di bulan Syawal dan di bulan-bulan berikutnya, kita termasuk ke dalam kelompok orang yang kembali kepada fitrah dan kesucian (minal aidzien) dan karenanya akan mendapatkan kebahagiaan, kemenangan dan kesuksesan (wal faaidzien).
Dan dalam sepekan terakhir ini, kita melihat juga suasana halalbihalal sillaturrahim Iedul Fithri yang dilakukan oleh berbagai kalangan dan komunitas, dengan harapan adanya kesediaan untuk saling memaafkan antara yang satu dengan yang lainnya.
Meskipun sesungguhnya dalam pandangan ajaran Islam itu, saling memaafkan antara sesama bukanlah amalan tahunan, tetapi setiap saat, apabila dirasakan adanya kekeliruan dan kesalahan. Saling memaafkan, adalah salah satu perilaku utama orang orang yang bertaqwa.
Firman-Nya dalam QS Ali Imran/ 3: 134: “Dan orang orang takwa itu adalah orang orang yang suka berinfak, baik di waktu lapang maupun di waktu sempit, dan orang orang yang mampu menahan amarahnya, dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang orang yang berbuat kebaikan”.
Sillaturrahim yang dilandasi ketaqwaan, keimanan, dan ketulusan, merupakan suatu kebutuhan sekaligus keniscayaan. Apalagi, pada saat masyarakat kita dihadapkan pada situasi dan kondisi yang saling mencurigai, saling menafikan, bahkan saling tidak percaya antara satu dengan yang lainnya.
Kita merasakan suasana galau dan gaduh di tengah masyarakat yang jika dibiarkan akan menimbulkan pertentangan dan perpecahan yang sangat membahayakan bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kita cintai.
Tetapi, sillaturrahim konstruktif ini akan memiliki makna yang dalam, manakala dipenuhi beberapa persyaratan utama antara lain: Pertama, setiap orang menyadari kekeliruan dan kesalahannya. Termasuk kekeliruan dan kesalahan yang dilakukan oleh para pejabat publik dan instansi yang berada pada kewenangannya. Sebagai contoh, kita merasakan adanya ketidakadilan dalam penegakan hukum, nuansa tebang pilih dan diskriminatif sangat dirasakan, terutama oleh umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk negeri ini.
Kekeliruan ini harus segera disadari dan diperbaiki, hukum harus ditegakkan dengan memenuhi rasa keadilan, tanpa pandang bulu. Rasulullah SAW pernah menyampaikan kepada para sahabatnya, bahwa apabila hukum dilaksanakan dengan tidak adil, maka akan menyebabkan kehancuran bangsa (hadits shahih).
Ternyata kehancuran yang sesungguhnya bukan karena semata-mata kemiskinan dan kefakiran, akan tetapi karena kedzaliman atau ketidakadilan dalam penegakan hukum. Demikian pula dalam masalah ekonomi, kita merasakan adanya ketidakadilan, terutama penguasaan aset-aset negara oleh sekelompok para konglomerat tertentu, sehingga dirasakan adanya kesenjangan yang sangat lebar, dan hal ini sangat membahayakan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua, segenap anak bangsa di negeri ini apapun posisi dan jabatannya, harus selalu berusaha menebarkan kedamaian dalam nuansa kebersamaan sebagai sebuah bangsa. Tidak boleh satu kelompok mencurigai kelompok yang lain, hanya karena kelompok yang dicurigai ini sebagai kelompok kritis dalam memberikan masukan yang positif pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sesungguhnya setiap kita pasti membutuhkan kehadiran kelompok kritis ini yang dengan penuh perhatian dan berdasarkan fakta serta argumentasi yang benar memberikan masukan-masukan yang konstruktif untuk kepentingan bersama.
Dalam perspektif ajaran Islam, setiap kita diperintahkan untuk melaksanakan tugas mulia yaitu amar makruf nahyi mungkar, menyuruh dan mempelopori serta memberikan contoh dalam kebaikan. Melarang dan tidak mau kompromi dengan segala bentuk kedzaliman, kemaksiatan, dan pengkhianatan. Karena jika dibiarkan tidak ada kegiatan amar makruf nahyi mungkar, maka kedzaliman, kemaksiatan, kekufuran, dan segala bentuk perbuatan buruk yang merusak, akan semakin merajalela.
Ketiga, sillaturrahim ini akan mempunyai makna positif, ketika hati dan pikiran sejalan dengan ucapan dan perbuatan, tidak berpura-pura bahkan lebih buruknya tidak bersifat munafik, lain yang diucapkan, lain pula yang dilakukan. Lain yang dijanjikan, lain pula pemenuhannya. Kepura-puraan ini hanya akan memperparah situasi dan kondisi berbangsa dan bernegara.
Setiap kita dituntut untuk menyatukan kata dengan perbuatan, lisan dengan pikiran, agar kita menjadi bangsa yang jujur, amanah, dan produktif. Bukan sebaliknya menjadi bangsa yang hipokrit, khianat, dan penuh dengan kepura-puraan.
Ramadhan beserta seluruh ibadah yang menyempurnakannya dan sillaturrahim yang terjadi antara sesama kita, yang memenuhi persyaratan tersebut di atas, sejatinya akan menjadikan kita, bangsa yang bertaqwa, yang memiliki kekuatan jasmani dan rohani, serta kekuatan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kekuatan ekonomi serta politik, yang akhirnya menjadi bangsa yang kuat, sejalan dengan cita-cita kemerdekaan yang secara tegas tertulis dalam muqaddamah UUD 1945.
Wallahu Alam bi Ash Showab
**********
Republika.co.id