SELASA, 01 AGUSTUS 2017 | 01:19 WIB
Fotografer : John Doddy Hidayat
Setelah dua bulan tak ada kabar, kemarin Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian akhirnya mempublikasikan sketsa wajah seorang pria yang diduga terlibat dalam aksi penyiraman air keras ke wajah penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, pada 11 April dinihari lalu.
Pengumuman ini disampaikan Tito di Istana Merdeka setelah dipanggil Presiden Joko Widodo. Presiden, kata Tito, secara khusus meminta polisi segera mengungkap kasus ini sampai tuntas.
Publik tentu mengapresiasi perkembangan terbaru penyidikan kasus ini. Namun, sayangnya, temuan itu terlampau minim dan terlambat untuk disebut sebagai hasil investigasi yang signifikan. Apalagi polisi sebenarnya sudah menyusun sketsa wajah ini dari keterangan sejumlah saksi, sejak berpekan-pekan yang lalu. Tak kunjung diumumkannya hasil sketsa polisi sampai kemarin memicu banyak pertanyaan soal keseriusan kerja penegak hukum.
Dengan segala hormat, Kapolri Tito dan Presiden Joko Widodo tampaknya kurang menyadari arti penting pembentukan tim independen dalam penyidikan kasus Novel. Kasus ini bukanlah perkara kriminalitas biasa. Penganiayaan atas penyidik senior KPK yang membongkar banyak korupsi kakap ini merupakan serangan langsung ke ulu hati Komisi. Ini adalah teror untuk gerakan antikorupsi di Indonesia.
Membiarkan penyidikan berlarut-larut dan terus menolak desakan pembentukan tim independen hanya akan membuat khalayak semakin kehilangan harapan.
Pembentukan tim independen akan meningkatkan transparansi proses penyidikan. Terdiri atas tokoh-tokoh masyarakat sipil yang tepercaya untuk mengawasi kerja kepolisian, mereka bisa menjamin tak ada intervensi dari mana pun dalam kerja polisi menemukan pelaku. Keberadaan tim independen bahkan bisa berpengaruh positif untuk meningkatkan citra kepolisian yang membaik belakangan ini.
Presiden berkali-kali menegaskan bahwa pembentukan tim independen tak diperlukan karena dia percaya kepolisian mampu menemukan pelaku penyiraman air keras yang nyaris membutakan kedua mata Novel. Kapolri menyatakan hal senada.
Keduanya seakan-akan lupa bahwa ada unsur-unsur di tubuh penegak hukum sendiri yang tak suka kepada KPK dan kewenangannya yang luar biasa dalam menyelidiki dan menyidik kasus korupsi. Ketidaksukaan itu bermula dari tindakan KPK yang berani menjebloskan sejumlah petinggi polisi ke bui atau menyatakan mereka sebagai tersangka, seperti dalam kasus Irjen Djoko Susilo dan Jenderal Budi Gunawan.
Memungkiri fakta itu mengindikasikan sikap masa bodoh, atau setidaknya naif. Jika pelaku penyerangan Novel sampai tak terungkap, seperti kasus penganiayaan terhadap aktivis Indonesia Corruption Watch, Tama Satrya Langkun, tujuh tahun yang lalu, nasib pemberantasan korupsi bakal benar-benar di ujung tanduk.
Agar kepercayaan publik tak merosot sampai ke titik nadir, Kapolri dan Presiden perlu berbesar hati menerima gagasan pembentukan tim independen.
**********
Opini Tempo.co