SELASA, 25 APRIL 2017 | 23:26 WIB
Garut News, Fotografer : John Doddy Hidayat
Sudah dua pekan berjalan, penelusuran tentang pelaku penyerangan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, belum juga menemui titik terang. Kredibilitas kepolisian dipertaruhkan dalam kasus ini.
Tak seperti ketika menangani kasus-kasus terorisme, yang begitu cekatan, Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian kali ini hanya memberikan pernyataan yang cenderung mengambang. Dia menjelaskan, penyimburan air keras terhadap Novel diduga berkaitan dengan kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).
Novel memang menjabat Kepala Satuan Tugas KPK untuk penyidikan korupsi e-KTP. Dalam kasus ini, setelah tiga tahun menyidik, KPK mendakwa dua tersangka awal, yaitu mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman serta bekas Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Kemdagri Sugiharto, pada 9 Maret lalu.
Dakwaan terhadap mereka mengungkap proyek senilai Rp 5,84 triliun ini menyebabkan negara merugi hingga Rp 2,3 triliun. Ratusan miliar rupiah di antaranya disinyalir dibagikan kepada setidaknya 62 anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014.
Benar bahwa sehari sebelum teror air keras menimpanya, Novel meneken rekomendasi pencekalan Ketua DPR Setya Novanto. Tapi koruptor KTP elektronik bukan satu-satunya musuh Novel. Kiprah Novel membongkar berbagai mega-skandal korupsi membuat banyak orang sakit hati.
Ketika mengusut dugaan suap di Mahkamah Agung, misalnya, ia pernah ditabrak mobil dari belakang. Sewaktu membongkar korupsi simulator kemudi di Korps Lalu Lintas Polri, yang diduga ada kaitannya dengan Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Budi Gunawan–kini Kepala Badan Intelijen Negara–Novel malah dijadikan tersangka.
Dendam musuh-musuh lama Novel itu seharusnya tak diabaikan oleh Polri.
Dalam kasus ini, reputasi dipertaruhkan. Presiden Joko Widodo sudah memerintahkan Kapolri segera mencari penyerang Novel. Tapi kinerja kepolisian jauh dari harapan publik.
Sejak awal kasus ini muncul, banyak orang sudah ragu akan keseriusan polisi dalam mengusutnya. Keraguan itu semestinya dijawab oleh Presiden Jokowi dengan membentuk tim pencari fakta independen. Sebab, selama ini, banyak teror sejenis yang diusut polisi dibiarkan menghilang. Sebut saja kasus penyerangan terhadap aktivis antikorupsi Tama S. Langkun, yang sampai sekarang tak terbongkar juga.
Tim independen ini amat diperlukan untuk menghindari tabrakan kepentingan. Hubungan komisi antirasuah dengan Polri kerap memanas, terutama kala KPK mengusut korupsi yang diduga melibatkan petinggi kepolisian. Presiden seharusnya menunjukkan komitmen yang lebih nyata soal perang melawan korupsi.
Dia bisa menginstruksikan pembentukan tim independen sekaligus meminta kepolisian bertindak profesional. Sebab, bila kasus ini dibiarkan, teror dari barisan koruptor bisa menjadi-jadi. Negara pun akhirnya kalah.
*********
Tempo.co