Serentak

Serentak

853
0
SHARE
Ilustrasi.

Fotografer : John Doddy Hidayat

SABTU, 22 JULI 2017 | 02:16 WIB

Ilustrasi.
Ilustrasi.

Kata “serentak” ini sesungguhnya menjadi pemicu kisruhnya pengesahan Rancangan Undang-Undang Pemilu yang baru. Selama sembilan bulan dibahas, persis seperti orang mengandung, akhirnya “bayi” dilahirkan lewat operasi berdarah.

Kalau fraksi-fraksi di DPR dianggap wakil keluarga, ada empat fraksi yang tak mau melihat proses kelahiran sang jabang bayi dan memilih ke luar ruangan. Sementara pimpinan DPR, sebut saja ibarat dokter, tinggal dua. Satu berstatus tersangka dan satu lagi dipecat partainya.

Masalah yang diperdebatkan dengan alot adalah apakah ambang batas pemilihan presiden digunakan pada pemilu serentak tahun 2019 nanti. Pemerintah ngotot dengan ambang batas itu dan tentu diiringi oleh partai pendukungnya, kecuali PAN.

Alasannya, untuk mendapatkan presiden yang didukung mayoritas parlemen, pemilu lebih sederhana, dan hemat biaya. Alasan lainnya yang terlalu mengada-ada: supaya tak sembarang orang bisa mencalonkan diri asal ada partai yang mendukung. Kalau setiap partai mengusulkan, berapa banyak calon presiden, bisa sepuluh lebih.

Yang menolak ambang batas alasan utamanya sesuai dengan konstitusi. UUD 1945 Pasal 6A ayat 2 (ini hasil amendemen ke-3) berbunyi: “Pasangan presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Tidak dicantumkan ambang batas, tapi bukan berarti tidak boleh dibuat karena peraturan lebih lanjut diatur dalam undang-undang khusus soal pemilu.

Di sinilah kata “serentak” menjadi penting karena kata itu muncul dalam keputusan Mahkamah Konstitusi 2013 bahwa Pemilu 2019 adalah pemilu serentak antara pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres). Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan serentak itu artinya “bersama-sama” dan diperjelas lagi “tentang gerakan dan waktunya”. Artinya, orang mencoblos pada saat bersamaan.

Bagaimana menentukan ambang batas pilpres kalau hasil pilegnya saja belum ada, dari mana dapat hitungan suara yang diperoleh partai? Pemerintah dan partai koalisi pendukung yang ngotot persyaratan ambang batas dengan enteng menyebut suara partai yang dipakai adalah suara Pemilu 2014.

Ini logika aneh bin ajaib. Apakah suara yang diraih partai pada Pemilu 2014 sudah pasti sama dengan yang akan diraihnya pada 2019? Pergerakan pemilih tak menjamin hal itu.

Mari berandai-andai dengan ambang batas 20 persen patokan suara Pemilu 2014. Partai besar saat ini aman mencalonkan presiden, apalagi berkoalisi. Calon pun terbatas karena ada asumsi calon terpilih harus didukung mayoritas parlemen. Kalau calon presiden itu bagus dan dipilih mayoritas rakyat, jadilah dia presiden. Namun apa partai yang mengusung itu juga dipilih oleh rakyat? Belum tentu.

Apalagi kalau-ini berandai-andai lagi-rakyat mematuhi imbauan para pegiat antikorupsi agar tidak memilih partai yang mendukung Panitia Angket KPK. Maka presiden terpilih bisa saja tidak didukung mayoritas parlemen karena rakyat makin cerdas.

Kalau mau jaminan nyata presiden didukung mayoritas parlemen, hapuskan kata “serentak” pada Pemilu 2019, serahkan ke Mahkamah Konstitusi. Pisahkan antara pileg dan pilpres dalam rentang waktu secukupnya, sehingga calon presiden betul-betul didukung parlemen yang sudah ada, bukan parlemen kira-kira. Soal biaya? Ya, demokrasi mana ada yang murah. Namun waktunya sudah mepet.

Lebih arif kalau Mahkamah Konstitusi mengembalikan ke pemilu serentak dengan logika yang benar, tanpa ambang batas. PUTU SETIA

*********

Kolom Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY