Sabtu , 09 September 2017, 07:05 WIB
Red: Agus Yulianto
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Syukri Wahid *)
Teruntuk saudaraku di Indonesia.
Assalamu’alaikum….
Entah mengapa harus kutulis surat ini untuk kalian, setidaknya mungkin kita punya akar sejarah yang sama, bahwa negara kita lahir dari rahim keterjajahan. Kendati tiga tahun saja selisih negara kita menghirup udara merdeka atas penjajah, kalian lama dijajah Belanda.
Sedangkan kami di sini lama dijajah Inggris dan yang sudah pasti alasan apa yang membuatku menulis surat ini untuk kalian bahwa Indonesia adalah tetangga kami yang mayoritas penduduknya Muslim.
Namun, nyatanya sampai detik ini, udara kemerdekaan tersebut justru menjadi awal petaka bagi kami. Tanah yang sudah lama kami huni turun temurun sejak abad ke-12 hingga kini justru disaat Merdeka konstitusi Myanmar menganggap kami bukan bagian dari etnis bangsa Burma atau Myanmar.
Saudaraku di Indonesia…,
Oh iya, aku lupa perkenalkan diriku, namaku Abdullah, banyak bukan nama ini di negerimu? Aku tinggal di kamp pengungsian yang di kelola lembaga kemanusian dunia di daerah Sittwe Rakhine dan kini aku terlibat dalam membantu mengurusi para pengungsi di sini. Padahal, aku juga adalah seorang pengungsi seperti mereka.
Saudaraku, jika bisa aku memilih, aku ingin dilahirkan di Negeri-mu saja yang indah, aku tak ingin lahir di sini. Bagi kami kelahiran adalah kematian. Apalah artinya lahir, tapi seperti mayat yang berjalan, asing di tanah sendiri, kelaparan, dan tak punya negara.
Padahal, itu adalah hak asasi yang paling dijaga oleh dunia dan kini PBB telah mengatakan bahwa satu-satunya minoritas yang tertindas di atas dunia kini adalah etnis Rohingya? Tapi, inilah aku yang ditakdirkan Allah lahir di sini, aku terima takdir dilahirkan di sini saudaraku.
Maukah kalian bertukar denganku? Saat bayi-bayi kami terbunuh depan mata kami, mati karena tak ada fasilitas persalinan, mati karena di bantai pihak sipil dan junta Militer Myanmar, hidup tanpa kepastian.
Aku iri dengan kalian, anak-anak kalian pasti segar bugar, hidup sehat , lahir tanpa ketakutan, ahh inginnya seperti itu? Setiap tangisan bayi lahir, kalian sambut dengan gembira, tapi justru kami sambut dengan tangisan di sini. Sebab, dia akan memikul penderitaan sejak lahir, hidup terlunta-lunta ketakutan dalam hutan, berlari dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari rasa aman.
Akan tetapi berapa tahun silam aku heran saat menonton TV satelit pemberian Unesco, ternyata negara kalian adalah negara dengan Abortus paling tinggi di Asean yah? Kadang mengerikan ada bayi ditemukan di buang di tempat sampah, dalam sungai.
Aku heran apakah kalian tidak menghargai sebuah nyawa di sana? Apakah kalian juga rasakan penindasan seperti kami di sini?
Sejak Merdeka di sini, mulailah negara menempatkan kami menjadi “orang asing”. Mereka sebut kami adalah suku Benghali yang lebih mirip dengan Banglades, betapa susahnya kami menjadi warga negara, saudaraku?
Kami harus buktikan asal leluhur kami apa benar tiga keturunan di atas kami lahir di sini? Apalagi tahun 1984, setelah militer berkuasa proses kudeta di tahun 1967, jikapun kami telah dapat warga negara, untuk menikah kami harus peroleh izin dan jumlah anak harus di batasi, kami harus kantongi izin untuk anak kedua.
Saudaraku, tahukah kalian bagaimana kami menjadi asing di negeri kami sendiri, karena kami tidak diperbolehkan keluar dari negara bagian Rakhine, tidak boleh ke ibukota negara kami sendiri, tidak boleh keluar negara kecuali ke Banglades untuk jangka waktu tertentu.
Apalagi untuk ke Makkah menunaikan ibadah Haji, dan ini yang paling aku iri dengan kalian. Sekarang aku dengar jamaah Indonesia tiap tahun bisa 200 ribuan orang, itu sama dengan jumlah kami yang ada di pengungsian di sini dan di perbatasan Banglades. Sekiranya kita bertukaran, oh betapa rindunya bisa juga menegakkan rukun Islam ke 5 semudah kalian di sana.
Saudaraku…, bagi rekan-rekan kami yang sudah dapat warga negara, tetap saja seperti menjadi masyarakat kelas 3, kami tidak diperbolehkan menjadi pegawai negeri di sini.
Tidak boleh ada di tempat-tempat swasta dan negara, apa artinya hidup seperti itu saudaraku. Kami tidak mendapatkan hak pendidikan yang wajar, aku iri dengan kalian sekolah diwajibkan 12 tahun, sungguh kalian pasti pintar-pintar saudaraku.
Oh iya, aku harus berterima kasih dengan kalian, karena 5 tahun lalu pamanku ikut dalam rombongan pengungsi yang sampai di Aceh dan hidup dalam penampungan di sana. Aku sangat berterima kasih, dia sempat bertutur bahwa rombongan 300-an kala itu harus meninggal di atas kapal dan mereka buang jenasahnya di laut, karena mati kelaparan.
Saudaraku…., lewat televisi juga, kami saksikan seluruh dunia membela kami, bahkan aku melihat saat itu di TV perdana menteri Malaysia ikut aksi demo di jalan menolak kekerasan pada kami. Yang membuatku merinding di aksi jutaan orang di Rusia dan bahkan seorang presiden juga di Bosnia ikut memimpin aksi kutukan kekerasan pada kami, aku pasti yakin presiden kalian akan melakukan hal yang sama di sana, begitu bukan?
Aku juga membaca negara Turki mengajak puluhan negara untuk membawa isu ini ke sidang tahunan PBB akhir tahun ini, sungguh kami berterima kasih atas semua itu saudaraku.
Melihat kalian aksi di Indonesia, tak terasa air mata ini mengalir saudaraku. Sebab penderitaan kami ternyata sudah sampai dirasakan oleh kalian.
Oh saudaraku, aku lupa memberitahumu bahwa ribuan kain sarung pemberian tokoh kalian saat itu, saat menjadi ketua PMI membawa sendiri ke sini dan aku masih sering pakai kain sarung pemberian kalian. Oh iya, kini beliau jadi wapres Indonesia yang aku tahu.
Saudaraku, entahlah sampaikan kapan ujung dari semua ini, aku masih trauma saat tindakan brutal tahun 2012 saat daerah kami kembali di serang, rumah di bakar, wanita kami diperkosa, dan ada seorang perempuan yang sudah menjadi gila karena dia mohon maaf diperkosa oleh ulah oknum-oknum sipil dan militer.
Apa salah kami, salahkan kami hidup sebagai Muslim di sana? Jumlah kami hanya 4 persen dari populasi agama di sana.
Kami hormati agama lain dan agama mayoritas di sana yaitu Budha, tapi entahlah mereka kadang gunakan tangan-tangan biksu tersebut untuk membantai kami.
Saudaraku, jangankan kalian, aku saja pesimis dengan Aung San syu kyii, walau dia menang 80 persen dalam pemilu, yang sering dia gaungkan ini adalah kemenangan sipil dan demokrasi.
Tapi, itu hanya tinggal janji saat dia memimpin. Lihatlah, siapa yang menang di negara bagian Rakhine? Adalah dia, tapi justru dialah yang mendiamkan apa yang sedang terjadi. Padahal, dirinya sudah sering menjadi tahanan, tapi begitulah janji tinggal janji, akan perjuangkan hak rakyat Rohingya.
Saudaraku, aku harus piket untuk mengambil beberapa keperluan kamp pengungsian di distrik tetangga kami, hari semakin larut, entah kegelapan malam ini harus kami lewati untuk menyambut mentari pagi yang lebih baik, atau justru itu adalah hari kematian kami.
Salam rindu yang ingin tinggal di negerimu. Wassalam.
Monolog imajiner.
*Pegiat Sosial Politik
*******
Republika.co.id