Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Senin, 20/02 – 2017 ).
Pemerintah dan PT Freeport Indonesia perlu mengendurkan posisi masing-masing jika ingin operasi penambangan emas dan tembaga di Papua terus berlangsung. Titik temu yang saling menguntungkan akan sulit dicapai bila keduanya sama-sama ngotot.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, pemerintah berkepentingan memastikan kekayaan alam di bumi Indonesia dikuasai negara dan dapat digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Itu sebabnya renegosiasi kontrak berulang kali diajukan, manakala salah satu atau kedua pihak menemukan ada yang tak adil dalam kesepakatan terdahulu.
Pada 1991, misalnya, pemerintah Orde Baru pernah meminta perbaikan kontrak karya (KK) I yang diteken pada 1967 jauh sebelum perjanjian yang berlaku 30 tahun itu berakhir.
Kepentingan itu pula yang mendorong Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 pada Januari lalu. Isinya ialah perubahan keempat atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Peraturan itu menegaskan bahwa perusahaan pemegang KK harus memurnikan mineral di Indonesia. Jika tak membangun smelter, mereka tak akan diizinkan mengekspor hasil tambang. Izin masih bisa terbit, tapi perusahaan harus mengubah statusnya dari pemegang KK menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Sebaliknya, Freeport juga berhak meminta kepastian atas investasi mereka sesuai dengan kontrak yang sudah disepakati. Hal ini berkaitan erat dengan kepentingan mereka dalam menyusun rencana usaha, termasuk perjanjian perusahaan dengan para kreditor dan pemegang saham. Perubahan kebijakan yang selalu terjadi jelas akan sangat merepotkan dan berpotensi mengancam kelangsungan bisnis serta penanaman modal mereka.
Hingga kini memang Freeport belum membangun smelter seperti yang mereka janjikan. Tapi mereka pun tak bersedia serta-merta berubah menjadi pemegang IUPK, karena akan ada banyak konsekuensi di dalamnya. Dengan status IUPK, mereka berkewajiban melepas 51 persen sahamnya kepada Indonesia tahun iniâjauh di atas ketentuan divestasi 30 persen seperti tercantum dalam KK.
Perusahaan Amerika itu juga berkeberatan atas keharusan mengikuti skema pajak prevailing, yang bisa berubah-ubah menurut peraturan yang berlaku. Sedangkan dengan KK, skema pajak bagi mereka bersifat tetap atau nail down. Intinya, Freeport hanya mau berubah menjadi pemegang IUPK jika disertai perjanjian stabilitas investasi dengan tingkat kepastian fiskal dan hukum yang sama seperti KK.
Pemerintah dan wakil perusahaan harus duduk lagi dan berunding dengan kepala lebih dingin di tengah kebuntuan ini. Opsi bertarung di pengadilan arbitrase dan penghentian operasi penambangan haruslah dilihat sebagai pilihan terakhir, karena langkah tersebut hanya akan merugikan kedua kepentingan.
Bila hal itu terjadi, puluhan ribu pekerja Freeport dan keluarga mereka yang pertama-tama akan menanggungnya. Dan, dari situ, imbasnya bisa merembet ke mana-mana.
*********
Tempo.co