Red: Maman Sudiaman
Oleh : Nasihin Masha
REPUBLIKA.CO.ID, Siapa paling nyaman saat ini? Jawabnya politisi. Lo kok bisa? Lihat saja parlemen adem ayem saja. Lihat saja partai-partai tenang-tenang saja. Lihat saja politisi diam saja. Mengapa bisa begitu? Pendapatan mereka tak terganggu ekonomi yang lesu.
Kehidupan mereka tak terusik demo-demo masyarakat. Lalu siapa lagi paling nyaman? Pejabat negara dan pemerintahan. Juga para aktivis yang kini nangkring di komisaris BUMN, staf khusus pejabat, maupun tenaga ahli pejabat.
Itu sebagian petikan pembicaraan. Tentu bersifat snapshot. Namun realitas itu ada dan dirasakan. Ada lagi realitas yang lebih mencemaskan. Kaum minoritas Kristen dan Tionghoa saat ini merasa ketakutan dan terancam.
Ada perasaan tak ada kesetaraan. Ada gejala menguatnya ortodoksi di sebagian umat Islam. Kendati diyakinkan itu hanya suara nyaring dari kelompok kecil, namun mereka tetap merasa takut dan terancam. Apakah Indonesia akan menjadi negara Islam?
Apakah Indonesia akan menjadikan Piagam Jakarta sebagai konstitusi? Jika itu terjadi, mereka berketetapan lebih baik memisahkan diri. Tak ada lagi Indonesia alias Indonesia akan pecah menjadi beberapa negara.
Orang-orang Tionghoa juga merasa takut dan terancam dengan ujaran-ujaran kebencian anti-Tionghoa. Pada sisi lain juga muncul serangan terhadap Islam. Ulama diolok-olok, MUI dikuyo-kuyo. Islam disebut pemecah belah bangsa.
Ada penggiringan memisahkan Islam dari budaya bangsa, termasuk mengejek istilah berbahasa Arab dan berupaya menggantinya dengan kata yang disebut sebagai bahasa lokal. Padahal itu bahasa Sansekerta, bukan bahasa lokal dan masuk berbarengan dengan agama Hindu.
Selain itu, umat Islam yang umumnya tertinggal secara ekonomi dan sosial merasa gelisah, diperlakukan tidak adil, dan diintimidasi. Mereka menuntut perbaikan dan perubahan. Tema-tema populisme dan nasionalisme-proteksionisme menguat.
Namun tuntutan itu kemudian dibalik sebagai rasialis dan intoleran, bahkan anti-NKRI, anti-Bhinneka Tunggal Ika, dan anti-Pancasila. Aparat bertindak represif dan banal terhadap tuntutan ini. Kritisisme dan perbedaan pendapat dikriminalkan.
Semua realitas itu berkelindan menjadi satu lalu muncul menjadi simtom-simtom di setiap kulit bumi yang paling tipis. Seperti geliat bumi, ia menjadi gempa bumi, lelehan lahar, ataupun letusan gunung berapi. Saat ini, simtom itu muncul dalam fenomena pilkada.
Indonesia menjadi panas, resah, dan gelisah. Seolah tak ada optimisme. Kini kita terbiasa dengan nilai tukar rupiah yang kian rendah. Harga kebutuhan pokok melambung dan menjadi kelaziman. Pengangguran meningkat namun serbuan tenaga kerja asing meningkat.
Duit makin tak berarti karena naiknya harga barang. APBN tertekan, pajak digenjot, dan tarif terus meningkat. Sedangkan korupsi makin menggila. Harga cabai, bawang, gula, daging, susu yang dipermainkan kartel dan tengkulak mencabik kantong rakyat, dan tak ada yang peduli. Kehidupan sehari-hari makin berat. Cakar-cakaran sosial mengganas. Namun elite easy going seolah tak ada masalah. Kelompok-kelompok mainstream tergagap dengan situasi ini.
Pertarungan ortodoksi agama yang berkelindan dengan nasionalisme-proteksionisme melawan fundamentalisasi liberalis membutuhkan peta dan resolusi baru, karena ini kejadian tanpa preseden sebelumnya. Situasi ini mirip di Amerika Serikat, Inggris, Italia, India, maupun Filipina.
Di negeri-negeri itu pandangan populis-proteksionis memenangkan pertarungan. Situasinya hitam putih.
Bahkan Donald Trump sangat ekstrem dengan tekadnya membangun tembok di perbatasan Meksiko (seperti tembok Berlin yang sudah diruntuhkan atau tembok Cina yang dibangun di abad sebelum masehi) dan menutup pintu pendatang dari tujuh negara.
Konfigurasi sosial di Indonesia berbeda dengan negara-negara itu. Sehingga tidak bisa dilakukan dengan cara hitam-putih, menang-kalah. Fragmentasi di Indonesia sangat kompleks dan tak ada yang bisa memenangkan pertarungan dengan mutlak.
Yang kaya beretnik Tionghoa, namun ia berkelindan dengan agama Kristen. Kendati keduanya minoritas namun kuat secara ekonomi dan menguasai infrastruktur dan elite, seperti media massa, lembaga riset, dan partai politik.
Yang miskin Muslim dan terpecah dalam banyak kelompok yang saling berkompetisi bahkan ‘bermusuhan’. Mereka ada di partai-partai kecil. Namun rasa senasib membuat mereka bisa bersatu dalam kondisi tertentu.
Kerumitan itu paling kentara dalam konfigurasi di parlemen dan pemerintahan. Tak begitu mudah membangun koalisi yang solid. Realitas ini harus menjadi kesadaran bersama bahwa tidak bisa menang-menangan.
Tak bisa zero sum game. Menang di sini, kalah di sana – yang saling tumpang tindih antara status ekonomi, agama, teritori, dan etnik. Karena itu, jika pun ada — dan — yang harus dimenangkan adalah memenangkan masa depan Indonesia.
Hanya ada satu caranya yaitu mewujudkan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945. Itu sudah dibuat founding fathers ketika menyusun UUD 1945. Dalam pembukaan disebutkan cita-cita Indonesia. Negara Indonesia harus merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Tugas pemerintah melindungi warganya, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Adapun dasar kerja pemerintah adalah kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Di situ jelas ditekankan kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Selama 71 tahun kemerdekaan, Indonesia sibuk mengurusi elitenya.
Walau pemerintah berganti, rezim berubah, dan presiden dipergilirkan namun keadaan tetap sama: hanya pergiliran di antara elite untuk berbagi jarahan. Rakyat hanya mendapatkan remah-remah dan hanya untuk bisa berproduksi.
Kini, ada satu yang tak bisa dilawan, yaitu perubahan profil demografi sosial. Mereka menuntut perbaikan dan perubahan. Namun kaum establishment masih tak mau berbagi justru bertahan dan berekspansi serta melakukan represi dengan segala manipulasinya.
Perseteruan ini menimbulkan pertarungan simetris. Tak jelas mana kawan mana lawan. Tak jelas panah datang dari mana dan tertuju ke mana. Terjadilan kegaduhan di mana-mana, termasuk di sosmed.
Perkawanan menjadi retak, persaudaraan menjadi belah, perkawinan menjadi perseteruan. Hal ini berbeda dengan situasi 1998 yang bersifat asimetris: antara penguasa dan rakyat, antara rezim Orba dan publik yang menuntut perubahan.
Karena itu situasi saat ini ada yang mengatakan mirip situasi menjelang geger 1965. Ini yang paling mengkhawatirkan: semua merasa benar, semua merasa tersakiti. Hei, apakah kenyataan ini masih belum juga membuat kita menjadi bijak?
Seorang kawan berpendapat: kita sibuk bicara ke-Bhinneka-an, tapi justru meninggalkan ke-Ika-an. Teriak perbedaan, melupakan persatuan. Persatuan itu berempati, bersimpati, dan welas asih. Bukan hanya logika dan hukum, bukan kuat dan kuasa.
Ngono yo ngono ning ojo ngono, jangan berlebihan nanti ada batas kesabaran. Norma ini dilanggar sehingga mengusik rasa. Kita mengetahui rasa setelah kita mengalaminya. Namun tak semua orang bisa mengalaminya, karena itu kita harus silih asah, silih asuh, silih asih. Kearifan inilah yang membuat Indonesia tetap satu.
*********
Republika.co.id