Garut News ( Jum’at, 17/01 – 2014 ).
Meroketnya elektabilitas Partai Golkar, NasDem, dan Partai Hanura, fenomena menarik. Tetapi juga meresahkan.
Sulit menyebut perubahan ini sebagai dinamika demokrasi sehat, lantaran partai itu kebetulan dipimpin pemilik televisi.
Mencorongnya pamor partai-partai itu, diperkirakan akibat kampanye terselubung melalui media mereka sendiri.
Pergeseran elektabilitas parpol tergambar pada hasil survei Indikator Politik Indonesia dirilis beberapa waktu lalu.
Perolehan suara Golkar mencapai 21,8 persen, PDIP 14,4 persen, Partai Demokrat 8,2 persen, Gerindra 11,1 persen, PPP 3,5 persen, PKB 5,8 persen, Hanura enam persen, Partai NasDem 3,9 persen, dan PKS 2,7 persen.
Hasil ini mengasumsikan Jokowi tak dicalonkan PDIP sebagai presiden.
Betapa partai-partai dipimpin bos televisi mendapatkan suara signifikan.
Partai Hanura, dulu nyaris tak terdengar, kini mencorong.
Orang tahu, partai didirikan mantan Panglima TNI Wiranto ini berhasil menggaet tokoh penting.
Dialah Hary Tanoesoedibjo, pemilik jaringan televisi RCTI, Global, dan Sindo TV.
Iklan Hanura membombardir pemirsa layar kaca nyaris setiap hari.
Mereka juga membuat kuis bernama Win-HT, mengarahkan pemirsa memilih Wiranto-Harry Tanoesoedibjo sebagai calon presiden, dan wapres.
Cara serupa juga dilakukan NasDem.
Partai ini sangat diuntungkan adanya Metro TV, dimiliki Surya Paloh, pendiri partai itu.
Setiap kegiatan partai selalu tayang di TV itu.
Golkar juga setali tiga uang.
Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie pun memanfaatkan TV One, dan ANTV dimilikinya.
Selingkuh partai dengan pemilik media ini berdampak semakin besar sebab belakangan sejumlah partai ditimpa skandal korupsi.
Sejumlah televisi terkesan mengeksploitasi hal ini berlebihan.
Lantas, muncul tokoh-tokoh partai pemilik televisi lewat iklan atawa siaran berita mencitrakan antikorupsi.
Masyarakat seolah dibodohi lantaran selama ini beberapa tokoh itu, tak memiliki rekam jejak benar-benar bersih dari korupsi.
KPU seharusnya membenahi hal ini.
Jika ingin pemilu berlangsung adil, pembatasan iklan di televisi itu mutlak dilakukan.
Televisi juga perlu diwajibkan menyediakan slot sama untuk kampanye semua partai.
Frekuensi televisi ini merupakan milik publik dipinjamkan pada stasiun televisi.
KPI semestinya pula memberikan sanksi tegas apabila pemilik televisi menyalahgunakan untuk kepentingan politik.
Rusaknya pamor beberapa partai politik sebab sederet kasus korupsi menjerat kader mereka sebetulnya kabar baik.
Ini berarti rakyat mulai pintar.
Namun jangan sampai pula masyarakat kembali salah memilih parpol, dan pemimpin akibat iklan serta siaran politik tak adil, dan tidak berimbang lewat televisi.
***** Opini/Tempo.co