Red: Agus Yulianto
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rudi Agung *)
Memasuki abad ke-20, umat Islam tak hanya perang melawan Belanda, melainkan juga dengan desingan peluru penistaan agama yang beragam. Pada masa itu, kota Surakarta, pernah diguncang surat kabar Djawi Hiswara edisi 11 Januari 1918 Nomor 5. Surat kabar yang diterbitkan N.V.Mij. t/v d/z Albert Rusche&Co. dan dipimpin Martodarsono itu, memuat artikel Djojodikoro yang menistakan Rasulullah.
Karena artikel ini menistakan agama dan menghina umat Islam, maka timbul reaksi keras dan amarah terhadap penulis dan dewan redaksi Djawi Hiswara. Guncangan di Surakarta turut dirasa saudara seiman di Surabaya. Mengetahui Rasul dihina, api tauhid dalam dada umat Islam Surabaya berkobar-kobar.
Maka pada akhir Januari, Tjokroaminoto dan Hasan bin Semit-seorang pemimpin Al-Irsyad Surabaya dan juga komisaris Centraal Sarekat Islam mengadakan pertemuan maraton Sarekat Islam (SI) secara besar-besaran di Surabaya, untuk membahas penistaan agama ala Djawi Hiswara.
Abikoesno Tjokrosoejoso, adik Tjokroaminoto yang juga sekretaris SI Surabaya, lewat tulisannya di majalah Medan Moeslimin, mengecam Martodarsono dan Djodjodikoro, mendorong sunan agar menghukum keduanya, serta menggerakkan kaum Muslimin untuk membela Islam.
Masih di masa kolonial Belanda, kembali terjadi penistaan agama lewat media massa. Sekitar bulan Desember tahun 1930, surat kabar Soeara Oemoem yang diterbitkan oleh Studieclub Indonesia, memuat pelbagai tulisan yang menghina ibadah haji. Lagi-lagi api tauhid berkobar, persatuan umat Muslim bangkit. Demikian tulisan Muhammad Cheng Ho, “Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa”, yang dimuat di laman JejakIslamdotnet.
Tiga tahun setelah Indonesia merdeka, sekitar tahun 1948, penistaan agama meningkat menjadi ajang pembantaian. Kali ini ulama dan santri pesantren Gontor menjadi sasaran PKI. Pondok Gontor diguncang pemberontakan PKI yang dikenal dengan sebutan Madiun Affair.
Pada masa orde lama, penistaan agama masih berlanjut. Kala itu, Partai Komunis Indonesia alias PKI menyerbu Masjid Agung Kembangkuning Surabaya. Mereka lalu menginjak-injak tempat suci itu sambil bernyanyi “Genjer-genjer” dan menari-nari. Teramat panjang sejarah kekejiaan PKI terhadap Islam dan bangsa ini.
Di masa Orde Baru, kebencian terhadap Islam tak berhenti. Arswendo Atmowiloto, sekitar tahun 1990 membuat polling di Tabloid Monitor, yang lagi-lagi menistakan Islam. Ia dihukum penjara.
Pascareformasi, api kebencian terhadap Islam seolah tak juga padam. Islam disudutkan, aktivisnya dibunuh, ulama dihina dina, ada yang dimasukan dalam penjara. Rentetan kebencian Islam itu dikemas dalam drama teroris yang kental dengan penyudutan Islam. Terakhir, peritstiwa Siyono seolah membuka tabir drama tersebut hingga masyarakat tak percaya lagi dengan isu teroris.
Kini, giliran Ahok menistakan Alquran. Sekaligus menistakan ulama. Seluruh masyarakat Muslim murka dan mendesak keadilan hukum. Belakangan, ulah Ahok makin dinilai keterlaluan dalam sidang kedepalan yang mengancam Kiai Ma’ruf.
Mulai tokoh bangsa sampai para ulama mengeluarkan kecaman kerasnya. Seluruh elemen Islam bangkit melawan. Terlebih Kiai Ma’ruf menjadi representasi Ulama sepuh yang sangat dihormati dan dimuliakan umat Islam Indonesia.
Sampai-sampai KH Didin Hafiduddin menyebut Ahok membahayakan. Ulah Ahok dan kuasa hukumnya tak hanya menyenggol kemarahan umat, melainkan turut mengancam ketenangan bernegara terkait kontroversi penyadapan.
Secara politik, sejak lama Ahok sudah keok. Jauh sebelum ramai kasus penistaan agama muncul, 27 September 2016. Baca: “Kisah Pak Tono dan Tamatnya Karier Ahok”, Republika Online, 14 September 2016.
Pelbagai dugaan kasus korupsinya tak pernah bisa hilang dari ingatan masyarakat. Walau media pendukung dan proses hukum berjalan amat lucu.
Ingatan masyarakat juga tak pernah hilang dengan pembelaan Jokowi terhadap Ahok yang amat telanjang dipertontonkan. Terbaru, dalam kasus ancaman terhadap Kiai Ma’ruf, Luhut sampai datang ke rumah Kiai. Jauh dari tupoksinya.
Secara sosial, tak mungkin ada lagi yang bisa menyelamatkan Ahok. Ketajaman lidah, kesombongan, keplin-planan, keangkuhan, dan kebengisannya terhadap masyarakat Jakarta, terutama penduduk yang digusur sulit dilupakan.
Secara budaya, apalagi. Betapa Ahok sangat arogan menginjak kaum Betawi, yang notabene pemilik Jakarta. Pertanyannya, bagaimana secara hukum? Walau telanjang pembelaan terhadap Ahok dibandingkan kasus serupa sebelumnya, tetap saja Ahok tak akan bisa lolos.
Penguasa boleh membelanya. Konsekuensinya, masyarakat takkan pernah lagi percaya kepada penegak hukum. Sebaliknya, semakin hukum membela, semakin bangkit persatuan umat. Semakin menguat kekuatan rakyat.
Pemerintah kini dibenturkan pada dua pilihan: mempertahankan Ahok atau kepercayaan publik.
Apa pun itu, sejarah membuktikan, siapa pun yang menistakan Islam, ia akan tenggelam. Bahkan, fakta itu selalu terjadi sejak era Kenabian. Bukan hanya dalam sejarah perjalanan Nusantara. Hanya waktu dan cara yang membedakannya.
Ahok masih berharap pilgub? Itu sama saja buang-buang waktu dan biaya. Hanya kecurangan yang sanggup memenangkannya. Dan risiko itu tak mungkin diambil bandar. Cukup sudah bangsa ini dibentur-benturkan.
Kita kembalikan lagi tatanan ajeg di Ibu Kota dan Indonesia. Semakin umat diinjak, semakin kuat persatuan. Itu adalah panggilan jiwa dari Sang Maha, sunatullah, yang takkan mampu manusia dan seluruh makhluk di Bumi mengubahnya.
Satu tugas pihak independen yang kiranya patut dilakukan: membuka kembali catatan medis dan psikologis Ahok dan perlihatkan kepada publik. Selamat tinggal Ahok, selamat datang persatuan. Shalaallahu alaa Muhammad.
*) Pemerhati sosial
**********
Republika.co.id