Sabtu , 15 July 2017, 06:00 WIB
Red: Maman Sudiaman
Oleh : Asma Nadia
REPUBLIKA.CO.ID, Bu Nanik, seorang guru yang telah mengabdi puluhan tahun sedang bersedih. Sejak pertama mengajar, keinginannya sederhana. Mengajak anak didik menjadi orang yang bercita-cita tinggi dan mencintai kebenaran. Tekad sederhana yang ternyata tak mudah diwujudkan.
Awal disadarinya berat tantangan yang dihadapi adalah ketika dia melemparkan pertanyaan umum pada raut mungil di kelas, seperti yang sering dilakukan. Pertanyaan serupa, diajukan dengan cara yang sama tapi kini jawaban yang mencuat cukup menyesakkan.
“Anak-anak Ibu, kalau sudah besar nanti, mau jadi apa?”
Dokter, insinyur, pilot, presiden, tentara, polisi, itu jawaban yang dahulu sering kali terlahir dari mulut mungil siswa-siswinya.
Namun yang kemudian terlontar dari seorang murid, berbeda.
“Saya mau jadi koruptor, Bu.”
Sang guru tersentak, ada yang memanas dalam dadanya. Meski tentu sebagai pendidik dia harus menata hati. Dari pada memarahi si anak, Bu Nanik memilih menyelami apa yang ada dalam pikirannya.
“Kenapa mau jadi koruptor?”
“Enak Bu, punya banyak uang.”
Kenyataannya memang begitu. Bu Nanik menghela napas. Koruptor, kaya tanpa perlu lelah bekerja keras. Jabatan rendah, pendidikan biasa, tapi grumah megah terbeli, mobil mewah bisa dikoleksi, bahkan bisa keluyuran ke luar negeri dengan uang saku yang tidak sedikit. Itukah yang tertangkap mata anak-anakku?
Harta, lagi-lagi harta. Padahal, korupsi adalah tindakan hina, perilaku kriminal. Pemikiran polos namun berbahaya ini harus diluruskan.
“Tapi kan, koruptor itu penjahat?”
Sang siswa tersenyum. Dengan percaya diri menjawab.
“Masa sih, Bu. Di berita banyak koruptor bebas berkeliaran. Kalau orang jahat kan pasti di penjara.”
Ah, anak-anak ini justru belajar dari berita. Yang mereka sampaikan pun sesuai kenyataan. Jadi salah siapa jika sampai mereka berpikir demikian?
Namun sesak di dadanya terobati jawaban seorang anak,
“Saya ingin jadi politisi!”
Sang guru tersenyum. Syukurlah siswa kedua punya cita-cita yang lebih positif.
“Kenapa ingin menjadi politisi?”
Tak kalah percaya diri, ia menjawab tegas.
“Karena kalau jadi politisi punya teman penguasa, Bu. Walaupun korupsi, banyak yang membela.”
Lagi-lagi Sang Guru tidak menyangka pemikiran anak zaman sekarang sudah sedemikian jauh. Memang betul, koruptor yang tidak punya beking bakal mudah masuk penjara. Sementara penjarah uang rakyat yang bebas melenggang biasanya dari politisi yang berkuasa.”
Tertakjub-takjub dia mendengar jawaban siswa kedua yang ternyata lebih buruk.
Tapi kedua muridnya justru saling melempar canda dengan santainya.
“Bilang aja kamu mau jadi koruptor, sama kayak aku,”
“Beda lah, kalau cuma koruptor kamu masuk penjara. Kalau politisi yang kaya dari korupsi bisa bebas,”
Kepala Bu Guru Nanik mulai pening.
Tiba-tiba seorang murid berdiri dan menyeletuk lantang.
“Kalau saya… saya mau jadi orang jujur!”
Seketika ruangan hening. Secercah senyum perlahan terlukis di bibir sang guru. Harapan dari kelas dan sekolah mereka bisa melahirkan generasi yang baik dan cinta kebenaran kembali merebak. Sayangnya tak lama. Cepat pendapat sang anak diprotes.
“Orang jujur, mana bisa kaya.”
“Katanya orang baik malah cepat mati?”
“Wah nanti mobilnya diserempet dan kamu digebukin.”
“Hati-hati disiram air keras!”
Kali ini tidak hanya dua anak tadi yang angkat mulut, belasan siswa lain ikut mengomentari pernyataan siswa terakhir.
Ah, dunia sudah berubah. Bahkan sudut pandang anak-anak pun kini tercemari.
Bu Nanik mengajak mereka kembali tenang.
“Ibu keluar sebentar, kalian tunggu di sini, ya.”
Satu menit dua menit. Anak-anak menanti. Sebagian sambil bercanda dan bermain lempar-lemparan kertas. Namun keributan di kelas langsung berganti hening saat mereka melihat sang guru kembali dengan seorang lelaki berkumis tebal. Bang Japri, tukang sate di depan sekolah masuk kelas, lengkap dengan peralatan masak.
Tanpa bicara, Bang Japri mengibas-ngibaskan kipasnya memanasi bara pemanggang sate. Di atasnya terdapat beberapa tusuk sate. Asap memenuhi ruangan kelas.
Dalam suasana demikian, Sang Guru kembali bertanya.
“Anak-anak Ibu, lebih suka makan sate atau bara api?”
Murid-muridnya berpandangan sedetik sebelum kompak merespons, “Ya sate dong, Bu.”
“Tapi satenya cuma sedikit, kalau mau makan bara, ada banyak baranya.”
Bocah-bocah itu bersikeras,
“Ya sate lah, Bu!”
Bu guru meminta Bang Japri menyudahi aksinya. Jendela dibuka dan asap pun mereda.
“Nah anak-anak, jika memilih menjadi koruptor, politisi busuk, atau menghasilkan uang dari korupsi dan perbuatan haram, sama saja kalian memilih untuk memakan bara api.”
Anak-anak terdiam.
“Di dunia bisa saja kita bebas dengan bekingan orang kuat. Tapi di akhirat nanti, tidak satu pun yang bisa bebas dari siksa Allah.”
Sebelum mengakhiri kelas, dengan lembut kembali ia bertanya.
“Jadi, apakah masih ada anak Ibu yang ingin menjadi koruptor, politisi busuk, atau orang kaya dari uang haram?”
Semua siswa tertunduk, pelan-pelan gelengan mereka terlihat.
**********
Republika.co.id