Garut News ( Selasa, 26/11 ).
Mengeluarkan siswa dari sekolah lantaran kenakalannya tak hanya melanggar hak anak mendapat pendidikan, melainkan juga bukan sanksi tepat.
Hukuman itu hanya memindahkan kenakalan sang siswa dari satu sekolah ke sekolah lain tatkala mereka dipecat.
Munculnya kenakalan para siswa justru menumbuhkan pertanyaan sejauh mana kemampuan sekolah itu mendidik murid-muridnya.
Dua pekan lalu, Sekolah Menengah Atas Negeri 46 Jakarta mengeluarkan 35 siswanya setelah mereka membajak bus rute Blok M-Pondok Labu dipakai menyerbu pelajar dari sekolah lain.
Wakil Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mendukung tindakan tegas sekolah ini sebab aksi pembajakan bus masuk ranah kriminal.
Bagi Wakil Gubernur, pembajakan itu tak hanya merugikan orang lain, tetapi juga melampaui batas kenakalan remaja.
Tak hanya mengecam, Basuki bahkan memerintahkan Dinas Pendidikan Jakarta tak ragu memberi sanksi tegas pada pelajar bertindak anarkistis.
Pandangan Basuki sekilas benar.
Pendapat itu mencerminkan kemuakan, dan kejengkelan terhadap kebandelan para pelajar terus terjadi.
Suara Basuki mewakili kejengkelan publik kerap terganggu lantaran jalanan macet akibat tawuran pelajar.
Selain itu, sudah terlalu banyak korban akibat adu jotos sesama siswa, termasuk korban meninggal.
Sayangnya, pendapat ini mengabaikan hak-hak dasar setiap anak dijamin konstitusi.
Sebab, sekolah tempat pendidikan, bukan arena penghukuman.
Dalam dalil pedagogik, sanksi dan hukuman kudu mengandung unsur pendidikan sekaligus efek jera.
Bagi Basuki dan pengelola sekolah, pemecatan itu mungkin memberi efek jera.
Kenyataannya meski banyak siswa dipecat lantaran nakal, toh tawuran pelajar tak berhenti juga.
Solusinya jelas bukan pada seberapa berat hukuman bagi anak-anak nakal itu.
Tawuran ada sejak siswa Jakarta naik bus tingkat pada 1980-an.
Mereka mati sia-sia juga tak sedikit akibat ulah konyol sok jagoan ini.
Dan terbukti tak ada efek jera.
Tawuran dan kenakalan siswa menunjukkan ada salah dengan sistem pendidikan, dan perilaku panutan hidup di masyarakat kita.
Bagaimana pelajar tak tawuran jika setiap hari di televisi kita menyaksikan para orang tua adu mulut saling ejek tak lagi memedulikan tata kesopanan.
Bagaimana para siswa tak menyelesaikan problem dengan adu pukul jika di parlemen perbedaan pendapat diselesaikan dengan saling memaki.
Kurikulum sekolah juga bisa jadi penyebabnya.
Kenakalan keterlaluan terjadi sebab sejak awal siswa tak diajari mengasah logika dan budi pekerti.
Pendidikan kita lebih menekankan pada hafalan tanpa menanamkan cara berpikir sebab-akibat dari sebuah kejadian.
Pendidikan kita hanya menargetkan kelulusan tanpa memedulikan kualitasnya.
Memecat siswa nakal, cara instan memberi efek jera tak mendidik.
Kenakalan siswa hanya akibat.
Penyebabnya sistem pendidikan justru tak mendidik.
Ini memang pekerjaan besar kita mengubah sekolah bukan lagi penjara bagi siswa, melainkan-seperti kata penyair India, Rabindranath Tagore-taman kebebasan merengkuh pengetahuan.
**** Opini/Tempo.co