Sejak Kapan Rakyat Indonesia Memakai Gelar Haji?

Sejak Kapan Rakyat Indonesia Memakai Gelar Haji?

1121
0
SHARE
ilustrasi haji tempo dulu. (Ist).

Sabtu , 02 September 2017, 07:00 WIB

Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

ilustrasi haji tempo dulu. (Ist).

Sungguh mudah perjalanan ibadah haji saat ini. Hanya dalam tempo 10 jam pesawat yang kita tumpangi sudah tiba di Arab Saudi. Hal semacam ini tidak pernah terbayangkan oleh mereka yang menunaikan ibadah haji di masa-masa lampau. Apalagi, sampai awal 1970-an perjalanan ke Tanah Suci masih melalui kapal laut. Hingga untuk menunaikan rukun Islam kelima diperlukan waktu tiga bulan, baru kembali ke Tanah Air.

Namun, jauh sebelum adanya kapal laut, hasrat umat Islam di Indonesia untuk menunaikan ibadah haji cukup besar. Ini terbukti dengan beberapa laporan yang menyebut para jamaah haji tersebut menggunakan kapal layar.

Hingga mereka mengarungi lautan selama berbulan-bulan, bahkan sampai memakan waktu dua tahun. Ini disebabkan karena kapal layar harus berhenti di beberapa pelabuhan. Risiko perjalanan cukup besar. Sering kali menghadapi perompak, gelombang dahsyat, dan penyakit.

Calon jamaah haji bersiap naik kapal laut di Tanjung Priok, menuju Tanah Suci pada tahun 1938.

Kesulitan transportasi ini makin dipersulit dengan adanya politik pemerintah kolonial Belanda untuk mengendurkan semangat umat Islam Indonesia pergi ke Tanah Suci. Bagi Belanda, ibadah haji merupakan bahaya besar dalam mempertahankan politik kolonialnya di Indonesia.

Yang ditakutkan Belanda, selama di Tanah Suci itu para jamaah haji Indonesia mengadakan kontak dengan jamaah dari berbagai negara. Apalagi, waktu itu banyak pemberontakan di Tanah Air melawan penjajahan digerakkan para haji.

Berbagai peraturan dikeluarkan pihak kolonial untuk menghambat umat Islam berhaji. Pada 1825, dikeluarkan ordonansi. Isinya melarang umat Islam pergi haji tanpa pas jalan.

Untuk mendapatkan pas jalan, mereka harus membayar 110 gulden. Uang sebesar itu nilainya sangat tinggi. Mengingat harga rumah sederhana hanya 50 gulden. Demikian keras peraturan itu sehingga mereka yang pergi haji tanpa pas akan dikenakan denda dua kali lipat sekembalinya. Sementara, pulangnya para haji ini harus menempuh ujian terlebih dahulu, sebelum berhak mendapatkan gelar “haji” di depan namanya dan menggunakan pakaian haji.

Meskipun berbagai kendala dilakukan pihak kolonial, itu semua tidak pernah meruntuhkan hasrat umat Islam Indonesia untuk menunaikan ibadah haji. Apalagi, pada pertengahan abad ke-19 kapal bermesin (uap) mulai beroperasi melintasi benua.

Cukup banyak jamaah Indonesia yang bertolak ke Tanah Suci melalui Singapura. Yang tinggal di Pulau Jawa, berangkat melalui dua pelabuhan, Batavia dan Surabaya. Setelah beristirahat beberapa lama di Singapura, barulah ke Jeddah.

Sayangnya, sejak dulu (hingga kini), jamaah haji kerap menjadi korban penipuan. Mulai dari saat berangkat di Tanah Air mereka sudah diperas para “syekh”. Pengertian syekh di sini adalah agen atau para calo tiket kapal dari perusahaan-perusahaan milik Inggris dan Belanda.

Kadang-kadang para calon haji karena kehabisan perbekalan dan menjadi korban penipuan syekh akhirnya hanya sampai di Singapura. Karena itu, pada akhir abad ke-18 dan ke-19 dikenal istilah “haji Singapura” karena para calon haji ini hanya sampai di kota itu saja perjalanannya, jadi korban syekh dan calo-calo.

Menempuh Perjalanan Jauh

Baru pada medio 1920 mulai ada kapal yang berangkat dari Indonesia ke Jeddah, yang dilakukan maskapal pelayaran Belanda: Nederland, Rotterdam, dan Semerong Blouw dari Inggris, yang tergabung dalam Kongsi Tiga, nama perusahaan pelayaran pengangkutan haji yang terkenal kala itu.

Namun, pergi haji tahun itu harus tahan mental. Beberapa penderitaan selama pelayaran lebih satu bulan itu harus dijalani oleh para calon jamaah haji. Sebelum sampai ke Jeddah, para jamaah harus diturunkan di Kamerun, Afrika Utara. Di sini mereka dikarantina selama tiga hari. Mereka diperlakukan tidak manusiawi, mandi dengan air asin dan mendapatkan makanan sangat minim.

Sepulang dari ibadah haji, jangan harap para jamaah bisa langsung kembali ke keluarganya. Mereka kembali dikarantina dengan jangka waktu yang sama di Pulau Onrust, salah satu pulau dari Kepulauan Seribu di Teluk Jakarta. Bahkan para jamaah haji masih diperlakukan tidak wajar, seperti ditelanjangi.

Akibat perlakuan yang sangat merendahkan derajat umat Islam ini, sejumlah ulama, khususnya di Pulau Jawa, mengeluarkan fatwa: “Tidak wajib bagi kaum wanita pergi haji berhubung dengan perlakuan yang kurang baik di jalan.”

Perlakuan di luar kemanusiaan juga dilakukan oleh perusahaan Kongsi Tiga. Menurut buku Lintasan Sejarah Perjalanan Jamaah Haji Indonesia, para jamaah, baik pria, wanita, maupun anak-anak ditempatkan di ruangan yang sangat sempit siang dan malam. Akibatnya, norma-norma kesopanan dan tata susila tidak terjamin walau perjalanan itu dalam rangka ibadah haji.

Yang menyedihkan, saat berada di Tanah Suci pun penderitaan jamaah ini belum juga berakhir. Tragedi seperti terjadi di kapal terulang kembali. Tanpa mengenal kemanusiaan dan hanya mengejar keuntungan, oleh para syekh mereka ditempatkan di ruangan yang tidak baik ventilasi udaranya maupun sanitasinya.

Menurut buku tersebut: “Pemeriksaan-pemeriksaan terhadap para jamaah baik oleh perusahaan pelayaran ‘Kongsi Tiga’ dan broker-broker-nya yang terdiri atas orang pribumi sendiri, penipuan-penipuan oleh para tengkulak haji serta para badal syekh (agen para syekh di Indonesia) melakukan pemerasan-pemerasan secara legal dan memperoleh perlindungan dari pemerintah Hindia Belanda. Intinya calon jamaah haji merupakan sumbernya memperoleh penghasilan dan pemerasan yang sangat empuk.”

Bagaimana kejamnya pemerasan dan penderitaan jamaah haji dapat dibaca dalam prospektus Komite Perbaikan Haji yang diterbitkan 1 Januari 1938, yang sebagian kita kutip: “Serendah derajat, sejelek nasib dan seburuk moril dari bangsa kita tidak ada yang lebih buruk, dari derajat dan derajat nasibnya orang haji bangsa kita dalam kapal. Mereka lebih rendah dan lebih jelek dari kuli kontrak, hanya menang moril boleh jadi ….”

Akibatnya terjadi aksi-aksi protes di Tanah Air, KH Ahmad Dahlan (pendiri dan Ketua Umum PP Muhammadiyah) pada 1912 mendirikan Bagian Penolong Haji yang diketuai KH M Sudjak. Usaha perbaikan haji yang dirintis pendiri Muhammadiyah ini mendapatkan dukungan luas masyarakat. Akibatnya, pada 1922 Volksraad (parlemen pada masa kolonial) mengadakan perubahan-perubahan dalam Ordonansi Haji.

********

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY