John DH : “Jika Lebih Tiga Hari Uang Kantor Dibawa Ke Rumah, Dipastikan Merasa Seperti Uang Milik Sendiri, Bro”.
Jakarta, Garut News ( Selasa, 27/05 – 2014 ).
Sekali lagi para lembaga anti korupsi bersatu padu menggunakan film untuk membuat pernyataan: keluarga adalah unit terpenting untuk menanamkan sikap anti korupsi.
Ketika jendela terbuka, pagi merayap masuk.
Dan kita selalu berharap akan ada sesuatu yang baru.
Itulah pagi bagi Yan (Alex Komang), hening, bersih, murni hingga beberapa detik kemudian hari itu akan dikotori oleh keringat siang yang gerah dan berdaki.
Sosok seperti Yan adalah prototip pejabat pemerintah yang mencoba menjaga hari-harinya tetap bersih dan tentram, yang berhati lurus dan jenis yang sekarat di Indonesia.
Di rumahnya, bersama Ratna (Nungki Kusumastuti) dan ibundanya (Maria Oentoe) serta anak-anaknya, Yan mencoba selalu mencoba membuka sebuah pagi yang baru.
Ibunya, membuka hari dengan menitipkan roti buatannya di toko roti; puteranya Satria (Fauzi Baadila) sudah merancang geraknya melobi kiri-kanan untuk proyek perusahaan kontraktornya; puteri bungsnya Dian (Adinia Wirasti) berlari pagi sembari mempersiapkan diri untuk hari pernikahannya dengan Hasan (Ibnu Jamil), seorang anggota DPR.
Hanya dalam beberapa menit, kita segera disadarkan bahwa pagi yang segar itu segera saja rusuh karena kedatangan putera sulung Yan (Teuku Rifnu Wikana) dengan menggotong koper karena baru saja memutuskan berpisah dengan isterinya.
Kesan pertama dari potret keluarga ini mengembalikan kita pada kerinduan film-film Teguh Karya seperti Di Balik Kelambu (1983), Ibunda (1986) dan Pacar Ketinggalan Kereta (1989) yang lazim bercerita tentang keluarga dengan berbagai persoalan yang dihadapi anak-anaknya.
Tetapi ini keluarga tahun 2014 pasca-reformasi.
Problem keluarga sudah jauh lebih rumit dan modern.
Pada masa Teguh Karya problem yang dihadapi Ibunda Rakhim (Tuti Indra Malaon) adalah masalah puteranya yang sudah berkeluarga (yang juga diperankan oleh Alex Komang) tidur dengan nyonya produser.
Di dalam film arahan Lasya, pasangan Yan dan Ratna menghadapi aneka persoalan berat.
Anak sulung yang baru bercerai dan kehilangan pekerjaan; anak kedua yang merancang ambisinya dengan cara yang salah: meminta Bapaknya untuk memberikan kontrak pembangunan pelabuhan kepada perusahaannya dan anak bungsunya yang cantik tengah merenda hari depan dengan anggota DPR yang berwajah tampan tetapi serakah bukan kepalang.
Artinya, problem orang-tua masa kini adalah menghadapi anak manja seperti Satria yang kepinginnya disodori tender oleh orang-tua dan meraih sukses instan (mobil mewah selalu menjadi lambang kemakmuran bangsa ini, rupanya).
Sutradara Lasya F.Susatyo akhirnya berhasil menunjukkan sinarnya.
Kali ini dia didampingi oleh penulis skenario Sinar Ayu Massie, film ini menyajikan sebuah cerita tentang keluarga biasa dengan problem yang tidak sederhana.
Soal benar atau salah; soal bantu membantu dalam keluarga; soal sejauh apa anggota keluarga kita boleh dibantu dan di mana kita meletakkan garis moral untuk menentukan apa yang disebut korupsi dan grafitikasi?
Dengan plot yang cerdas, seni peran yang meyakinkan dan dialog yang menggambarkan keseharian, film Sebelum Pagi Terulang Kembali adalah sebuah film bermisi tanpa berkhotbah.
Lasya dan Ayu Massie berhasil menjalin cerita tentang tiga anak yang memiliki problem, tetapi akhirnya terpaut oleh masalah korupsi yang sama.
Lasya nampak memilih bersikap anti-sentimental.
Pilihan yang bisa difahami, karena ada hiperbolisme ribuan sinetron (yang menular ke industri film) yang memeras airmata.
Tapi sang sutradara tetap wajib memberi ruang kepada perdebatan batin Yan.
Di dalam film ini dia hanya digambarkan mondar-mandir sebelum memutuskan masa depan Satria yang manja itu.
Kita perlu mengetahui apa perasaan Yan ketika karir dan situasi finansial Satria mendadak melesat seperti meteor; apa pula perasaan sang Bapak ketika akhirnya mundur dari tempatnya bekerja.
Lasya seolah memperlakukan tumpukan emosi itu seperti lemak yang perlu diiris dan dibuang sehingga para tokohnya menjadi sosok-sosok rasional, anti-sentimental yang mengubur emosinya sedalam mungkin.
Karena itu, Yan memang tidak menjadi Si Mamad (Sjumandjaya, 1973) sebuah sosok sederhana, lurus dan kisahnya berhasil menyentuh kita hingga ke tulang sumsum.
Di luar itu, Lasya masih tetap menunjukkan tokoh-tokohnya adalah orang-orang yang bisa bergurau.
Dialog yang lucu (“cepet ganti mobil, pake mobil karatan gini lu bisa tetanus tau” kata anggota DPR Sigit (Joko Anwar) yang aktif sekali mencari proyek ke departemen tempat Yan bekerja justru asyik ditonton.
Karakter pendukung film ini, trio sohib yang berkolusi anggota DPR-pengusaha yang diperankan Joko Anwar, Ibnu Jamil dan Richard Oh membuat kita seperti sedang membaca koran sehari-hari.
Mereka tampak seperti trio badut peraup duit rakyat yang ingin kita cekik dengan jaket oranye itu, jaket KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang menjadi hits sebagai benda yang jadi simbol bulan-bulanan.
Film ini didukung oleh Transparency International Indonesia yang sebelumnya juga sudah membantu pembuatan film omnibus Kita vs Korupsi yang mempunyai pernyataan yang sama: moral anti-korupsi selalu dimulai dari unit terkecil, yaitu keluarga.
Jika orang-tua anda koruptor, kemungkinan sangat besar anak-anak anda jadi terbiasa dengan jalan pintas menjadi kaya raya dan menganggap korupsi bukan sebuah tindak kriminal.
Menurut saya, Lasya dan tim film ini berhasil bercerita dengan baik.
Kita tetap terhibur dan melanjutkannya dengan diskusi dan perdebatan sejauh apa keluarga memiliki tanggungjawab moral terhadap anak-anaknya, bahkan setelah mereka tumbuh dewasa.
Melalui film ini, Lasya membuka perdebatan itu.
Tetapi Lasya juga ingin kita bersikap optimistik seperti Yan, seperti saat dia membuka jendela menyambut pagi.
Leila S.Chudori
SEBELUM PAGI TERULANG KEMBALI
Sutradara : Lasya F.Susatyo
Skenario : Sinar Ayu Massie
Pemain : Alex Komang, Adinia Wirasti, Nungki Kusumastuti, Fauzi Baadila, Teuku Rifnu Wikana,Maria Oentoe, Ibnu Jamil
Produksi : Cangkir Kopi.
***** Tempo.co