Putu Setia
Garut News ( Ahad, 09/02 – 2014 ).
Polemik soal saksi partai dengan dana negara merangsang saya untuk mewawancarai saksi partai di kampung.
Astaga, orang itu sok nyentrik, hanya mau menjawab pertanyaan saya secara tertulis.
“Nanti saya buat pengakuan bergaya puisi esai,” katanya.
Saya tertawa.
Sehari kemudian, saya terima pengakuan berikut ini.
Namaku Pardanem, bukan nama asli.
Pekerjaan tukang sortir kopi luak di lereng Batukaru yang dingin.
Kemiskinan menyebabkan aku tak bisa meneruskan sekolah.
Syukur aku lancar berbahasa Melayu dan badan gempal, aku sudah dua kali menjadi saksi partai politik saat pemilu.
Nanti pun dipakai lagi.
Pardanem namaku, nama jelek tapi ada artinya.
Pemilu harus menambah rezeki.
Aku tak peduli apakah saksi partai dibayar lagi oleh pemerintah.
Kusebut lagi, karena yang membayari aku sudah ada.
Pimpinan partai di kecamatan mengupah aku Rp 150 ribu.
Ini pemilu 2009, nanti bisa lebih.
Rezeki sampingan tentu ada.
Seperti pemilu yang lalu, aku dekati caleg nomor urut satu.
Kukatakan, pemilih tua di kampung repot mencoblos nomor urut.
Mereka tak mau ribet, hanya coblos gambar partai.
“Mau beri uang saksi berapa supaya coblosan itu sah dan masuk ke nomor satu?” kataku.
Caleg itu memberiku uang Rp 50 ribu sambil membentak: “Peraturan memang begitu, kamu kerja yang benar.”
Dan aku, Pardanem, bukan orang yang mudah dibentak.
Kubentak balik dia: “Kerjaku seharian. Kalau aku ngantuk, saksi lain bisa bermain.”
Lalu uang yang kuterima ditambah.
Aku tak peduli hasil pemilu, tak ada pengaruhnya buat kehidupan di kampungku.
Jangan dikira perhitungan suara dilakukan serius seperti di kota.
Kami semua bercanda, kami dari kampung yang sama.
Masyarakat yang menyaksikan juga tak ada.
Mereka datang ke tempat pemungutan suara saja sudah syukur, menggemukkan kambing lebih penting dari melihat hasil pemilu.
Maka, diam-diam kudekati lagi caleg nomor urut dua, atau tiga, atau seterusnya, tergantung yang bisa dibohongi.
Ah, para caleg itu kan pembohong juga.
“Memangnya, kalau yang dicoblos gambar partai saja, kamu bisa alihkan ke nomorku?” Tanya caleg itu.
Aku tertawa, ini akting, aku kan pemain drama gong.
“Itu sepele. Yang penting ada sangu,” kataku.
Caleg itu memberiku uang dan janji kalau terpilih akan memberi hadiah. Uang kuterima, janji tak pernah kuingat: mana ada caleg memenuhi janjinya?
Namaku Pardanem, artinya berakal banyak.
Yang tadi itu kan caleg untuk DPR, belum lagi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten.
Yang ini todonganku lebih besar, kan calonnya ada banyak.
Orang di kampungku, kalau mencoblos caleg nomor empat dan seterusnya, mengaku malas menghitung baris-baris.
Aku berjanji akan membantu caleg di nomor urut susah, dari lima ke atas.
Janji gombalku dalam praktek berhasil meraup uang.
Yang masalah, calon Dewan Perwakilan Daerah.
Yang dicoblos gambar orangnya.
Pemilu ini di Bali ada 41 calon, bingung orang desa memilih.
Mereka itu hantu, balihonya ada di desa, orangnya tak pernah muncul.
Di antaranya, sepuluh lebih orang Bali tinggal di Jakarta.
Dia bisa ditodong juga, asal aku berhasil mencari kontaknya.
Apakah kutak-katik surat suara ini akan ketahuan, kalau kami bermain?
Sekali lagi kuberitahu, petugas di tempat pemungutan suara itu orang-orang kampung yang baik.
Mereka tahu pemilu harus dimanfaatkan untuk mencari uang.
Toh para caleg semuanya mencari rezeki, gombal besar kalau mereka berjuang untuk rakyat.
Kalau pemilu mau serius, kami pun bisa.
Tapi, wakil rakyat yang terpilih, serius juga dong memikirkan nasib kami.
Aku, Pardanem, jangan dikira orang tolol.
******
Tempo.co