Saatnya Reformasi Perguruan Tinggi

Saatnya Reformasi Perguruan Tinggi

793
0
SHARE
Ubedilah Badrun. (istimewa).

Rabu , 20 September 2017, 07:29 WIB

Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Ubedilah Badrun *)

Ubedilah Badrun. (istimewa).

Dalam 15 tahun terakhir ini kepercayaan publik terhadap perguruan tinggi turun drastis pasca terbongkarnya praktik korupsi di sejumlah Universitas di Indonesia yang membuat para Rektor dan pejabat kampus meringkuk dalam penjara.

Mirisnya itu terjadi di kampus-kampus ternama, dari kampus yang dekat dengan pusat kekuasaan sampai kampus di ujung timur Indonesia.

Fakta tersebut menunjukan bahwa Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) tidak hanya melekat pada anggota DPR, birokrasi pemerintahan, kepala daerah tetapi juga melekat pada perguruan tinggi.

Temuan banyak Kasus plagiarisme disertasi program pascasarjana di sejumlah kampus semakin memperparah public distrust (ketidakpercayaan publik) terhadap perguruan tinggi.

Padahal, sejatinya kampus atau perguruan tinggi adalah penjaga moral utama yang menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran.

Kasus plagiarisme akhir-akhir ini mencuat kembali. Misalnya, berita plagiarisme disertasi NA (mantan gubernur) menyebar begitu cepat di media sosial dalam satu bulan ini. Berita tersebut menjadi perbincangan berbagai kalangan.

Menurut temuan tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Kemenristekdikti, NA lulus dalam waktu 2 tahun dengan indeks prestasi 3,90 dan predikat _summa cumlaude_, terindikasi disertasinya sarat dengan tindak plagiat. Disertasi tersebut terindikasi menyadur dari laman-laman penyedia arsip disertasi di internet.

Di antara saduran tersebut terdapat pada Bab I sebanyak 74,4 persen dari tulisan di laman penyedia arsip disertasi. Kemudian, Bab II dan Bab III, Tim EKA menemukan kejanggalan lain, yakni ketidaksinambungan tulisan di bab-bab tersebut dengan isi disertasi yang ditulis.

Menariknya, promotor NA ini maaf adalah orang penting di kampus. Mirisnya, itu terjadi di UNJ (Universitas Negeri Jakarta), kampus yang sejak berdirinya didedikasikan untuk menjaga marwah akademik sekaligus lulusanya mayoritas diorientasikan untuk menjadi pendidik profesional, dan kaum profesional diberbagai bidang lainya.

Di kampus ini juga penulis mengabdikan diri sebagai dosen bidang sosiologi politik.

Tokoh seperti Maftuchah Yusuf, Deliar Noer, Winarno Surachmad, R. Soedjiran Reksosoe-darmo, Jujun Suriasoemantri, Conny Semiawan, HAR Tilaar, Sudjiarto dan para begawan ilmuwan lainya tentu miris mendengar berita tersebut, termasuk ‘anak-anak ideoligis’ mereka yang giat merawat marwah akademik kampus UNJ.

Narasi awal di atas telah diurai pada tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Membaca Plagiarisme di Universitas “ (unjkita.com,1/9). Sengaja dikutip untuk menarasikan konteks. Pokok utama pada tulisan tersebut adalah membaca faktor penyebab tindak plagiat yang terjadi di program pascasarjana.

Setidaknya, ada tiga faktor penyebab tindak plagiat terjadi di program pascasarjana tersebut, yaitu problem integritas pengelola dan tata kelola, problem integritas mahasiswa yang maaf kebanyakan para pejabat, dan problem longgarnya bimbingan dan longgarnya uji plagiarisme.

Urgensi reformasi perguruan tinggi

Terungkapnya kasus Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) di kampus dan tidak sedikitnya tindakan plagiat dalam pembuatan disertasi, adalah fakta yang menunjukan bahwa ada persoalan serius perguruan tinggi yang harus direformasi.

KKN adalah musuh bangsa Indonesia, kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasca gerakan reformasi 1998 adalah menunjukan bahwa nalar dan nurani rakyat telah kokoh untuk mengatakan bahwa korupsi kolusi dan nepotisme adalah musuh bersama yang harus diberantas di republik ini.

Di tengah terjadinya pemenjaraan para rektor dan pejabat kampus yang tersangkut kasus KKN, tindakan plagiat terjadi di perguruan tinggi. Ini kembali mencoreng wajah perguruan tinggi kita. Tindakan plagiat atau Plagiarisme sesungguhnya tidak hanya sebagai pelanggaran hukum, tetapi lebih dari itu ia adalah praktik culas dan jahat yang merobek integritas dan moralitas akademik dan lembaga pendidikan.

Bahkan memberi pengaruh pada runtuhnya kepercayaan publik terhadap lembaga terhormat yang disebut Universitas. Saking pentingnya persoalan tindak plagiat ini Pemerintah melalui Kemendiknas mengeluarkan peraturan khusus yang termuat dalam Permendiknas No 17 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi.

Praktik antidemokrasi juga mulai dipertontonkan oleh beberapa penguasa kampus. Padahal kampus seharusnya justru menjadi contoh praktik demokrsi bahkan menjadi lokomotif demokrasi di Indonesia. Elit kampus seharusnya menggunakan cara-cara demokratis dalam mengelola kampus disamping cara-cara profesional.

Prinsip partisipatif, kebebasan akademik, sikap terbuka terhadap kritik, dan terjadinya pelembagaan demokratis dalam struktur dan birokrasi kampus adalah ciri kampus yang memenuhi kriteria demokratis.

Ciri demokratis ini secara substantif dapat dibaca dalam buku Contemporary Democracies : Participation, Stability, and Violence (G.Bingham Powell Jr, 1984). Atau dalam buku On Democracy (Robert Dahl, 2015).

Memprihatinkan, bahwa ada fakta kampus yang pimpinannya memperkarakan dosen-dosennya ke bareskrim kepolisian hanya karena sikap kritis atau menyebarkan tulisan atau skema yang bernada kritik terhadap pimpinan kampus, itu cara represif yang bertentangan dengan kultur demokratis yang seharusnya dipegang teguh perguruan tinggi.

Praktik Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN), praktik plagiarisme, dan cara-cara tidak demokratis dalam mengelola kampus telah memicu munculnya gerakan Aliansi Dosen yang kritis terhadap keadaan kampus.

Meski para dosen ini minoritas kita patut memberi apresiasi bahwa masih ada semacam integrity island di tengah kampus yang bermasalah. Mereka menghendaki perubahan dan perbaikan kampus. Hal ini mesti direspon Kemenristekdikti untuk melakukan Reformasi perguruan tinggi secara nasional.

Apa yang harus di reformasi?

Dari problem di atas maka setidaknya ada tiga agenda reformasi perguruan tinggi yang penting dilakukan Kemenristekdikti dan pemangku kepentingan dari seluruh perguruan tingg secara nasional. Ketiga agenda reformasi perguruan tinggi tersebut penulis uraikan dibawah ini.

Pertama, reformasi tata kelola kampus. Menghilangkan praktik korupsi kolusi dan nepotisme di perguruan tinggi. Ini dilakukan selain model seleksi pegawai atau dosen secara online juga perlu melalui perubahan mekanisme pengambilan keputusan akhir penerimaan pegawai baik tenaga kependidikan / tendik (dosen) maupun tenaga non tendik (pegawai administratif).

Selain itu, perlu penguatan pengawasan internal baik dari inspektorat maupun pembentukan lembaga otonom di dalam kampus yang berfungsi melakukan pengawasan internal penggunaan anggaran maupun pengawasan terhadap seluruh proyek-proyek yang bersifat pembangunan fisik yang berbiaya besar.

Pengawasan internal juga perlu dilakukan terhadap sirkulasi pemindahan tugas pegawai atau pengangkatan pegawai pada posisi tertentu yang memungkinkan pimpinan perguruan tinggi memiliki semacam conflict of interest atau melakuksn semacam maladministrasi. Tata kelola kampus yang bersih dan bebas dari KKN perlu menjadi perhatian utama Kemenristekdikti Republik Indonesia.

Kedua, reformasi budaya akademik. Bahwa perguruan tinggi memiliki kewajiban untuk membangun semacam scientifict attitude (perilaku saintis) atau dikenal juga dengan habitus intelektual.

Kejujuran akademik, kebebasan akademik dan menjunjung tinggi kebenaran ilmiah adalah moral tertinggi civitas akademika. Oleh karena itu hukuman berat terhadap pelaku plagiarisme harus dilakukan dengan menggunakan dasar regulasi yang kuat.

Melakukan perubahan mental terhadap para akademisi terkait budaya akademik perlu juga dilakukan, karena tidak sedikit akademisi yang hanya fokus pada orientasi uang dari proyek-proyek risetnya, bukan berorirentasi pada kualitas hasil riset, sehingga mengabaikan prinsip-prinsip utama sebuah riset.

Pengawasan terhadap penyelenggaraan program pascasarjana juga penting untuk dijadikan sebagai agenda utama reformasi budaya akademik perguruan tinggi. Sebab, program pascasarjana memiliki peluang untuk dijadikan ladang pengumpulan pundi-pundi, apalagi jika yang kuliah adalah para pejabat penting di negerii ini.

Ketiga, demokratisasi kampus. Agenda reformasi perguruan tinggi yang ketiga ini memerlukan dukungan luas dari seluruh pemangku kepentingan perguruan tinggi, baik Menristekdikti maupun civitas akademika secara umum.

Praktik memimpin kampus secara sentralistik dan cenderung diktator sudah waktunya diakhiri, sudah tidak zaman lagi. Ruang diskursus pemikiran harus dibuka lebar-lebar, kebebasan berpendapat, bersikap kritis dan konstruktif adalah ‘gizi’ terbaik demokratisasi kampus.

Kemenristekdikti juga perlu melakukan evaluasi terhadap sejumlah aturan kampus yang membuka peluang bagi hadirnya perilaku otoriter dalam mengelola kampus. Ada kampus yang mengabaikan Peraturan Menteri Nomor 32 tahun 2014 tentang pengangkatan dan pemberhentian anggota senat universitas dibiarkan saja. Ini preseden buruk bagi demokratisasi kampus.

Reformasi tata kelola kampus, reformasi budaya akademik, dan demokratisasi kampus menjadi prasarat penting bagi sehatnya universitas. Jika ketiga agenda reformasi perguruan tinggi tersebut tidak berjalan maka kampus menjadi tidak sehat.

Ketika kampus tidak sehat maka produktivitas kampus dipastikan menurun, terganggu dan berdampak terhadap menurunya kualitas sebagai universitas. Semoga ini tidak terjadi!

*) Pengajar Sosiologi Politik FIS UNJ dan penggagas Aliansi Dosen UNJ Bersatu untuk Perubahan.

*********

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY