Saatnya Perubahan Sosial-Ekonomi (‘Revolusi’ Putih — 5)

Saatnya Perubahan Sosial-Ekonomi (‘Revolusi’ Putih — 5)

772
0
SHARE

Red: Maman Sudiaman

Oleh : Nasihin Masha

Nasihin Masha. (Republika/Daan).
Nasihin Masha. (Republika/Daan).

REPUBLIKA.CO.ID/Garut News ( Jum’at, 16/12 – 2016 ), Beberapa hari setelah pencoblosan dan Jokowi dipastikan akan memenangkan Pilpres 2014, ada pertemuan kecil di Restoran Kunstkring, Menteng, Jakarta Pusat. Jokowi berdialog dengan sekitar sepuluh pemimpin redaksi.

Ia meminta masukan dan lebih banyak mendengar bahkan sesekali mencatat. Ada banyak hal yang saya sampaikan, namun yang paling subtansial adalah yang ini; “Indonesia akan maju jika marhaen dan santri bersatu. Mereka adalah yang paling menderita saat ini. Paling miskin dan paling terbelakang.”

Jokowi harus menyatukan ‘merah’ dan ‘putih’. Tampaknya usulan itu tak nyantol, ‘putih’ relatif ditinggalkan. Mari kita mulai dari awal ketika formasi sosial yang terwariskan hingga kini mulai dibentuk. Pemerintah kolonial Belanda memperlakukan penduduk secara diskriminatif.

Ini bisa dilihat pada undang-undang dasar pemerintah kolonial Belanda, yaitu Indische Staatsregeling (IS/Undang-undang Dasar Hindia). IS mulai berlaku pada 1926, sebagai penguatan aturan sebelumnya, Reglement Regering (Peraturan Pemerintah) yang lahir 1815.

Ada dua pasal penting dipahami untuk kepentingan tulisan ini, yaitu Pasal 131 dan Pasal 163. Pasal 131 mengatur hukum yang berlaku untuk tiap golongan penduduk, yaitu untuk perkara pidana, dagang, dan perdata, juga untuk hukum acara perdata dan hukum acara pidana.

Pasal 163 mengatur tentang pembagian golongan penduduk. Pertama, orang Eropa, termasuk Jepang. Kedua, golongan pribumi, termasuk orang asing yang meleburkan diri dalam golongan pribumi dan meninggalkan hukum asalnya.

Dalam hal ini termasuk orang Arab yang beragama Islam maupun wanita asing dan keturunan asing yang menikah dan lebur dengan pribumi. Ketiga, golongan Timur Asing.

UUD ini memperlakukan tiap-tiap golongan penduduk secara diskriminatif, terutama untuk pribumi yang masuk warga kelas tiga. Pada Ayat (3) dan Ayat (4) Pasal 163 memberikan kekecualian bagi pribumi dan Timur Asing yang beragama Kristen.

Mereka diberlakukan hukum yang sama dengan golongan Eropa. Akibat perbedaan perlakuan maka penduduk pribumi mengalami ketertinggalan. Ketika Politik Etis diberlakukan, salah satu pilarnya adalah diizinkannya pribumi bersekolah secara lebih leluasa.

Namun di sini ada batasan. Sekolah hanya untuk bangsawan dan pegawai pemerintah kolonial, rakyat tak bisa sekolah. Jenjang sekolah pun harus mengikuti hierarki dan kepangkatan orang tuanya. Makin tinggi pangkat orangtuanya, anaknya bisa sekolah lebih tinggi.

Karena itu, ketika Indonesia merdeka, hanya ada sekitar 60 orang pribumi yang bergelar sarjana. Secara sosiologis dan ideologis, kaum santri tentu sangat terbatas yang bisa sekolah. Kemerdekaan adalah berkah tersendiri. Semua bisa memiliki kesempatan bersekolah.

Hanya saja pemerintah belum bisa menyediakan sekolah di semua wilayah. Secara ekonomi dan budaya juga masih ada hambatan. Hampir semua orang benar-benar bisa sekolah baru terwujud di masa Orde Baru. Pemerintah menyediakan sekolah di hampir semua desa.

Pendidikan adalah kunci menuju kemajuan bangsa dan kualitas sumber daya manusia. Melalui pendidikan terbuka wawasan, pemahaman, penghayatan, kepercayaan diri, dan juga melejitkan keterampilan. Tentu saja ada kekecualian bagi sangat jarang orang yang bisa otodidak.

Setelah Politik Etis, walau jumlah yang terdidik sangat terbatas, generasi santri adalah pionir dalam memperjuangkan nasib dan masa depan bangsa melalui pergerakan kebangsaan.

Mereka mendirikan Sarekat Dagang Islam, Jong Islameten Bond, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Sarekat Islam, Majelis Islam ‘Ala Indonesia, Perti, Al Washliyah, Nahdlatul Wathan, Persis, PUI, Al Irsyad, Mathlaul Anwar, Alkhairat, dan sebagainya.

Setelah merdeka ada dua partai Islam yang besar yaitu Masyumi dan NU. Namun di masa Demokrasi Terpimpin, Masyumi dibubarkan dan tidak boleh berdiri lagi di masa Orde Baru. Selain itu, di masa Orde Baru umat mengalami peminggiran.

Sehingga umat tak bisa banyak berbuat di lapangan politik, yang berimplikasi di bidang ekonomi. Satu-satunya yang bisa dilakukan hanyalah bersekolah. Buah inilah yang kemudian dipetik dengan lahirnya ICMI pada 1990.

Para pendiri ICMI benar-benar generasi santri yang dibesarkan oleh kemerdekaan. Mereka kelahiran 1940-an. Umumnya dosen, pegiat LSM, dan pegawai negeri. Jumlah mereka terbatas, sumber daya ekonominya hampir tidak ada, jaringan pun sangat terbatas.

Mereka baru memulai untuk menyusun. Satu-satunya kekuatan ICMI adalah proteksi dan dukungan dari Soeharto – yang di akhir kekuasaannya mulai mendekat ke Islam, yang ditentang para sekutu, bahkan anak-anaknya sendiri, dan pilar-pilar utama Orde Baru.

Walau demikian, dengan segala keterbatasannya ICMI bisa melahirkan banyak karya. Perjuangan ICMI adalah membangun sumber daya manusia dan penguatan kelembagaan ekonomi umat.

Seiring runtuhnya Soeharto dan jatuhnya BJ Habibie dari kursi kepresidenan, ICMI secara perlahan memudar. Partai-partai umat yang hadir di era reformasi seperti PKB, PAN, PKS, dan juga PPP (PPP lahir di masa Orba) belum mampu bersaing.

Mereka masih belajar, kalah terampil, minim dana, dan lemah jaringan. Mereka dilibas oleh partai-partai lain terutama dari rumpun Orde Baru seperti Golkar, Gerindra, Demokrat, bahkan Nasdem dan Hanura.

Berkat kepemimpinan Megawati yang anak Sukarno, PDIP tetap mampu mengkonsolidasi generasi PNI, menarik generasi PKI yang dihancurkan Orba, dan didukung oleh Kristen (Parkindo) dan Katolik (Partai Katolik) yang di masa Orba memang masuk ke PDI.

Pembunuhan Islam politik sejak Demokrasi Terpimpin tak mampu dibangkitkan ICMI. Perubahan psikografi penduduk Indonesia belum mampu dijawab oleh generasi politik santri di era reformasi ini. Namun sejarah terus bergerak.

Buah pendidikan yang massif oleh Orde Baru mendorong generasi santri mencari peran dan saluran artikulasi. Generasi yang lahir 1960-an dan bersekolah di masa Orba itu kini telah berusia 50-an tahun. Di usia ini mereka mulai menyelesaikan tugas-tugas domestik keluarga, hidup mulai mapan, dan memiliki wawasan serta jaringan yang baik.

Mereka menyaksikan ada sesuatu yang tak beres pada bangunan Indonesia. Kasus Ahok hanya menjadi pemantik lahirnya gerakan generasi baru ini. Kesadaran bersama ini akan terus terpelihara dan berkembang seiring waktu hingga sistem bisa mengadaptasi perubahan demografi dan psikografi sosial ini.

Sebetulnya, generasi ‘merah’ mengahadapi situasi sama. Yang membedakan, mereka tetap berada dalam kontinuitas dan tetap terkonsolidasi. Mulai dengan terpilihnya Megawati sebagai ketua umum PDI pada 1993, terjadi Peristiwa 27 Juli 1996, PDIP menang pemilu 1999, dan Megawati menjadi presiden pada 2001.

Setelah itu PDIP terus bertengger sebagai partai nomor dua dan pada pemilu 2014 kembali menjadi partai nomor satu dengan mendudukkan kadernya sebagai presiden. Saat ini mereka sedang berkuasa. Namun sebenarnya tak banyak perubahan pada nasib konstituennya.

Lebih luas lagi tak ada perubahan pada nasib bangsa dan negara ini. Masyarakat tetap miskin dan terbelakang, bangsa Indonesia tetap menjadi pedagang sumber daya alam yang tak banyak menyejahterakan rakyatnya.

Reformasi hanya mengubah aktor, tapi relatif tak mengubah konstelasi. Seperti halnya kemerdekaan, reformasi hanya revolusi di bidang politik tapi tak ada revolusi sosial-ekonomi, apalagi budaya. Megawati sebetulnya sudah gelisah.

Ia menangis saat wawancara di Mata Najwa tentang Indonesia Raya. Ia beberapa kali meminta kembali ke UUD 1945 yang asli sebagai solusinya. Kegelisahan yang sama kini dirasakan oleh lapis bawah terdidik masyarakat Indonesia, apalagi oleh generasi santri yang tak memiliki ruang artikulasi.

Hanya butuh perumusan bersama dan kepemimpinan bersama untuk melakukan perubahan mendasar bagi tercapainya masyarakat seperti yang dicita-citakan Pembukaan UUD 1945.

*******

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY