Jumat , 05 May 2017, 06:00 WIB
Red: Maman Sudiaman
REPUBLIKA.CO.ID, Sebuah brosur tipis diterbitkan Masyumi usai pemilu legislatif 1955, dan sebelum pemilihan anggota Konstituante pada 15 Desember 1955. Brosur itu terbit di Bandung pada Oktober 1955 dan dicetak Percetakan Alma’arif Bandung. Alma’arif adalah perusahaan percetakan dan penerbitan buku yang disegani, berkantor di Bandung. Saat itu, di Bandung ada dua penerbit Islam yang disegani, satunya lagi Penerbit Diponegoro.
Brosur itu setebal 14 halaman termasuk halaman belakang. Halaman satunya langsung masuk ke materi. Karena ini brosur maka tak ada daftar isi – kendatipun dibuat dalam format buku ukuran 13 x 17 cm, sedikit lebih besar daripada ukuran saku.
Saya mendapatkan brosur ini dari lapak buku bekas di Facebook. Brosur itu berjudul “Masjumi dan Pantja Sila”. Brosur berisi semacam laporan kepada publik atas hasil pemilu legislatif pada 29 September 1955.
Pemilu diikuti 34 peserta, memperebutkan 257 kursi di 15 daerah pemilihan (dapil). Masyumi memenangkan 10 dapil, NU dua dapil (Jawa Timur dan Kalimantan Selatan), PNI dua dapil (Jawa Tengah dan NTB/Bali). Partai Katolik satu dapil (NTT), PKI nol dapil. Pemilu 1955 menghasilkan empat besar. Berturut-turut adalah PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Partai Katolik hanya urutan ketujuh (2,0 persen) tapi memenangkan satu dapil.
Tentang pelaksanaan Pemilu 1955, ada laporan penelitian ilmiah yang menjadi referensi klasik yang disusun Herbert Feith, peneliti dari Australia, yang sangat diakui kewibawaannya. Laporan penelitian itu sendiri merupakan proyek yang diampu George McTurnan Kahin, peneliti yang sangat disegani dari Cornell University, AS. Inilah laporannya:
“Lama ditunggu-tunggu dan ditunda berkali-kali, kedua pemilihan umum ini (pemilihan anggota parlemen dan pemilihan anggota Konstituante – red) disiapkan sebuah kabinet, lalu dilaksanakan kabinet lain yang sangat berbeda warna politiknya dan baru saja menduduki kursi kekuasaan.”
Adapun undang-undang tentang pemilihan umum diajukan Kabinet Wilopo dari PNI. Panitia pemilu dibentuk Kabinet Ali Sastroamidjojo, juga dari PNI, yang menggantikan Kabinet Wilopo. “Dalam badan ini, tidak ada wakil dari partai-partai yang beroposisi.”
Saat itu, panitia pemilu merupakan gabungan berbagai pihak, termasuk wakil partai. Namun ada “Peristiwa 27 Juni 1955” yang menimbulkan krisis militer-politik, mengakibatkan Kabinet Ali jatuh dan digantikan Kabinet Burhanuddin Harahap dari Masyumi. Banyak yang ragu pemilu bisa sesuai jadwal, namun dengan sisa waktu tiga bulan, kabinet ini berhasil melaksanakan pemilu.
Dalam brosur yang dikeluarkan Masyumi ditulis, “Selama Kabinet Ali Sastroamidjojo, yaitu selama dua tahun [Masyumi] mendapat tekanan sangat hebat, sedangkan partai-partai lain selama kabinet tersebut mempunyai kesempatan luas untuk mengumpulkan kekuatan dan tenaga dengan jalan mengadakan mutasi dan pencopotan secara besar-besaran untuk memengaruhi pangrehpraja (birokrat– red), memperkuat fonds-fonds (pendanaan – red) mereka dengan mengeluarkan lisensi-lisensi istimewa yang sudah dirasakan oleh rakyat kepedihannya.”
Inilah poin penting dari brosur itu. Masyumi menghadapi lima tuduhan utama. Pertama, jika Masyumi menang maka Bung Karno diganti. Kedua, jika Masyumi menang, Merah Putih diganti dengan Bulan Bintang.
Ketiga, jika Masyumi menang lagu Indonesia Raya akan diganti marhaba. Keempat, jika Masyumi menang, tentara diganti GPII, sebuah organisasi kepemudaan. Kelima, jika Masyumi menang Pancasila akan diobrak-abrik.
Saya belum mendapatkan informasi apakah tuduhan sama juga ditujukan kepada NU, PSII, dan Perti. Namun semua tuduhan itu intinya membenturkan Islam dengan keindonesiaan. Tuduhan itu mencerminkan kelucuan, kepandiran, dan tentu saja jahat. Kendatipun ada hal substansial yaitu soal Pancasila.
Soal ini membutuhkan pembahasan tersendiri, pastinya UU Pemilu yang di dalamnya termasuk pembentukan Badan Konstituante justru diusulkan Wilopo yang dari PNI. Konstituante adalah badan untuk menyusun konstitusi baru.
Feith, dalam wawancara pada 1999, yang kemudian dijadikan pengantar pada penerbitan buku berisi laporan penelitiannya tentang Pemilu 1955 di edisi Indonesia tersebut mengatakan, “Kalau pemilu diuji menurut pengetahuan yang dimiliki massa pemilih mengenai program partai-partai, saya kira itu salah. Pemilu, di mana-mana, lebih banyak dipengaruhi faktor kepercayaan dan kecurigaan daripada faktor seperti program partai.”
Tuduhan-tuduhan yang dialamatkan ke kekuatan Islam pada Pemilu 1955, memperlihatkan upaya membangun sentimen anti-Islam melalui pembenturan Islam dan keindonesiaan, jauh dari isu program. Gagasan membenturkan Islam dengan lokalitas bukanlah hal baru. MC Ricklefs dalam bukunya ‘Mengislamkan Jawa’ menjelaskan, proses Islamisasi merupakan proses dari atas ke bawah, bukan sebaliknya.
Puncaknya, kompromi yang dibangun Sultan Agung yang mendamaikan keyakinan setempat dengan Islam, menghasilkan apa yang dinamakan Ricklefs sebagai Sintesis-Mistik – identifikasi Jawa sebagai Muslim, melaksanakan rukun Islam, dan penerimaan terhadap kekuatan roh lokal. Ini berarti, menjadi Islam sekaligus menjadi Jawa bukanlah hal problematis. Proses Islamisasi itu berlangsung sejak pertengahan abad ke-15. Namun setelah kekalahan Diponegoro, muncul upaya penentangan.
Ini karena elite Jawa mulai berinteraksi intensif dengan orang Eropa. Upaya membalikkan keadaan terjadi sejak 1950-an, berbarengan dengan mulai berhasilnya misi Kristen di Jawa, walau sangat sedikit. Priyayi Jawa itu mengidealkan Jawa pra-Islam sebagai masa klasik, mirip idealisasi orang Eropa terhadap abad pertengahan. Bahkan ada anggapan peralihan ke Islam sebagai kesalahan peradaban. Setelah Politik Etis, gerakan itu makin intensif, walaupun kemudian gagal.
Para priyayi itu “meragukan Islamisasi itu adalah gagasan yang baik”. Ricklefs membagi masyarakat Indonesia ke dalam tiga golongan, yaitu elite/priyayi, santri (putihan), dan abangan. Santri dibedakan ke dalam dua varian yaitu modernis dan tradisionalis.
Modernis mulai hadir sejak awal abad ke-19 yang hendak memurnikan praktik beragama. Kaum tradisionalis bertahan dengan cara mengakomodasi budaya setempat. Polarisasi tiga golongan ini serta varian di dalam Islam terus berlanjut hingga kini.
Apa yang terjadi pada Pilkada DKI baru lalu, mencerminkan realitas tersebut terutama upaya pembenturan Islam dengan keindonesiaan. Ricklefs menyimpulkan, upaya membalik arus itu hanya kesia-siaan. Jika dicermati, pertarungan pada pilkada lalu sebetulnya memperlihatkan kekalahan berkompetisi belaka, hanya saja memanfaatkan aspek-aspek sosiologis dan historis yang melingkupinya yang sudah terbukti gagal.
Mari kita berkaca lagi pada brosur Masyumi. “Ialah dusta dan fitnah yang mereka lemparkan,” tulisnya. Karena itu, mereka menjelaskan satu per satu tentang lagu kebangsaan, bendera kebangsaan, Pancasila, tentara, dan Bung Karno.
Generasi santri sekarang adalah generasi berbeda. Mereka umumnya Gen-X dan Gen-Y, bukan lagi Generasi Baby Boomers, apalagi Lost Generation. Mereka mandiri, independen, memiliki sikap, percaya diri, terdidik, dan profesional. Mereka tak mudah ditakut-takuti dan dipecah-belah.
********
Republika.co.id