Red: Agus Yulianto
REPUBLIKA.CO.ID/Garut News ( Kamis, 12/01 – 2017 ), Oleh: Rudi Agung *)
Paska 212, para Ulama menjadi incaran. Bukan hanya cacian dan makian, tapi difitnah, dibunuh karakternya hingga penuntutan ke ranah hukum. Sesama umat diadu domba.
Padahal, target utama aksi Bela Islam 1-3 adalah dipenjarakannya terdakwa Ahok. Hasilnya? Justru hukum dipermainkan, ulama dijadikan sasaran, umat jadi korban. Mereka tidak takut dengan aksi itu. Sebab menguasai sendi ekonomi.
Berkaca sejarah. Yathrib sebelum berubah nama menjadi nama Madinah, ekonomi dan seluruh sistemnya dikuasai sistem Yahudi. Sistem ekonomi ribawi menjadikan hegemoni raksasa. Kekuatan finansial mereka berasal dari sistem ribawi.
Namun, ketika Rasulullah hijrah, perlahan-lahan sistem diubah. Allah melalui Rasulullah mengharamkan sistem ribawi. Menggantinya dengan sistem ekonomi Islami.
Rasulullah menjauhkan umat dari riba. Ini hal pertama sebelum membangun perekonomian Islam. Riba serupa dengan perkara tauhid. Menghilangkan Tuhan-tuhan lain selain Allah Ta’ala.
Begitu pula dengan riba. Rasulullah menghilangkan riba hingga benar-benar menghujam dalam sanubari umat. Selanjutnya membangun ekonomi Islami dengan prinsip keadilan, pemerataan dan kesejahteraan. Semua menguntungkan. Bukan bermodal nama Islami tapi sistemnya tetap ribawi.
Sistem perekonomian Islami tak semata dalam tataran transaksional. Melainkan menancap dalam karakter, yakni mengutamakan yang lain dibanding diri dan kelompok. Itu diabadikan dalam sejarah apik kaum Anshar dan Muhajirin. Itsar, mendahuli yang lain dibanding diri dan kelompok.
Dampaknya, sistem ribawi Yahudi yang berlangsung berabad-abad lenyap dan digantikan dengan sistem ekonomi Islami hanya kurun waktu 10 tahun. Kesejahteraan, keadilan, kemakmuran, mewarnai kehidupan umat dahulu.
Tak heran masa Rasulullah dan Sahabat adalah peradaban terhebat dan terbaik sepanjang sejarah manusia.
Betul, sekarang sistem ribawi menguasai lagi, menjadikan umat korban. Padahal, mereka memungut uang dari keringat umat. Bahkan, memeras keringatnya.
Bahkan, mengawali tahun 2017, kebutuhan strategis merangsek naik. Dari listrik, BBM, STNK, sampai cabai busuk.
Tak perlu kita tanyakan untuk apa dan kemana pajak-pajak sebelumnya: percuma. Bahkan, dana haji diwacanakan untuk infrastruktur. Sejak 2015 pun masa tunggu jamaah haji makin lama. Uang umat mengendap-endap.
Tak perlu pula kita cuap-cuap A atau B, percuma. Toh parlemen sendiri sebatas menyesalkan, menyayangkan, mengecam, tanpa bisa menggunakan tugas besarnya menyelamatkan rakyat yang makin tercekik-cekik.
Kendati demikian, jangan juga bertindak rese, semauanya, apalagi membuat makar turun ke jalan berbuat kerusuhan. Itu malah makin menciptakan kerusakan maha besar. Itu adalah kekonyolan sepanjang zaman.
Malas berpikir. Senang dipancing. Kasihani saja: toh apa yang ditanam akan dituai. Allah Maha Adil dan lagi bijak. Terlebih, menurut catatan Katadata, 9/1/2017, defisit anggaran 2016 terbesar sepanjang sejarah.
Rezim sedang berusaha menutupi kegagalannya. Membuat citra ini, data itu, tapi jauh beda dengan lapangan. Demi menahan jangan sampai APBN capai tiga persen dari PDB. Ah, kasihan kan?
Segambreng pencitraan, lempar data menyenangkan melalui media corongnya, masa bodoh dengan kenyataan lapangan. Allah Maha Adil. Dengan tangan-tangan-Nya menguji umat ini.
Lantas, apa umat harus diam? Tidak. Tapi dengan memanfaatkan potensi yang ada. Sekaligus perlahan, bertahap, menjalankan perintah-Nya dan perintah Rasulullah.
Dua hal, misalnya. Meningkatkan potensi persatuan umat dan anak-anak bangsa yang sedang diterpa angin adu domba maha kencang.
Kedua, meningkatkan potensi ekonomi umat dengan mengawali perintah-Nya: menjauhi riba. Sejauh-jauhnya. Semampunya.
Walau Rasulullah dan Sahabat tak lagi di samping kita, tapi warisan ilmu, sejarah, nilai dan ajarannya tak lenyap hingga sekarang. Tinggal kita mau belajar dari sejarah dan mengikuti ajaran Rasulullah atau sekadar pasrah dengan melempar banyak alasan.
Sistem ekonomi Islami tak dibangun serta merta. Semua bertahap, dilakukan dari diri, lingkup terkecil. Membangun dan menancapkan kesadaran bahayanya riba. Meninggalkannya perlahan tapi pasti. Seperti meninggalkan tuhan lain selain Allah Ta’ala. Apa kita bisa?
Atau tetap beralasan ini dan itu??? Kenapa kita menjalankan dalil satu, tapi berat menjalani dalil larangan riba? Kenapa kita terpanggil melaksanakan fatwa MUI membela Alquran dengan menuntut hukum sang penista. Tapi berat melaksanakan fatwa MUI yang lain bahkan perintah Quran dan Hadits untuk menjauhi riba.
Sejarah adalah cermin. Ia tak pernah berdusta. Ia menjadi petunjuk bagi yang ingin mengambil ibrah darinya. Sepertinya kurang patut, membangun ekonomi umat tapi tetap mengakrabi riba.
Lantas, umat menanti: Ulama siapa yang kembali lantang mengajak umat menjauhi riba? Adakah yang menjadi komando Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI anti riba?
Siapa yang akan menghentakan sua untuk menjalani fatwa MUI soal keharaman riba di bumi Nusantara seperti gema 212? Lantas umat kembali sami’na wa atho’na, kami dengar dan kami laksanakan. Kapan? Kami rindu seruan itu. Rindu semerbak keindahannya…
Shalaallahu alaa Muhammad.
*) Pemerhati masalah sosial
********
Republika.co.id