Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Selasa, 30/05 – 2017 ).
Ketua DPD Laskar Indonesia Kabupaten Garut Dudi Supriadi sangat menyesalkan rendahnya daya beli penduduk di kabupaten setempat, jika dibandingkan dengan besarnya ragam potensi sumber daya.
Dia menilai, Pemkab masih belum bisa maksimal mendongkrak “Pendapatan Asli Daerah” (PAD) sehingga masih tetap kecil, bahkan nyaris tak beranjak. Maka pembangunan pun masih sangat bergantung pada kucuran “dana alokasi umum” (DAU), serta “dana alokasi khusus” (DAK), maupun bersumber dari Pemerintah Pusat, dan Pemprov Jabar. Itu pun tak sepenuhnya bisa cukup membiayai APBD setiap tahun defisit.
“Apabila hanya terpaku pada pengelolaan anggaran tersedia, nampaknya Garut sulit mandiri. Malahan saat terjadi penundaan sebagian DAU oleh Pusat akhir 2016 silam, kebutuhan kegiatan menjadi dikurangi lantaran tak ada anggaran. Padahal jangankan tak ada kegiatan, atau kegiatan berkurang, bahkan pelaksanaan kegiatan terlambat pun sangat besar pengaruhnya terhadap perputaran ekonomi masyarakat, yang berdampak pada kemampuan daya beli masyarakat,” ungkap Dudi.
Ungkapan nyaris senada dikemukakan pegiat masalah sosial Edi Apip. Dia katakan kebijakan pembangunan, dan anggaran daerah hingga kini masih tak berpihak pada rakyat. Sehingga pergerakan ekonomi masyarakat di tingkat paling bawah berjalan lambat, untuk tidak dikatakan tak berjalan sama sekali.
“Opini terjadi eksodus sejumlah perusahaan besar ke Garut beralibi harga tanah masih murah, dan upah buruh rendah, itu sangat menyakitkan, juga cenderung menyesatkan. Seolah itu menjadi satu-satunya jalan keluar dari persoalan peningkatan perekonomian dihadapi selama ini. Ini tak lebih dari tindakan diskriminasi sebagai alat intimidasi atas hak kebutuhan hidup masyarakat Garut,” kata Edi.
Ironisnya pula, murahnya upah buruh (upah minimum kabupaten), serta murahnya harga tanah tersebut, merupakan dua hal unggulan dimiliki kabupaten ini, yang menarik minat investasi, seperti tercatat pada Dinas Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu kabupaten setempat.
Dalam pada itu, rata-rata kemampuan pengeluaran atau daya beli penduduk Kabupaten Garut masih sangat rendah, hanya mencapai sekitar Rp19.000 per hari per kapita.
Data BPS RI menunjukkan, kondisi memprihatinkan terlihat dalam pemenuhan kebutuhan makan,dan minum dari pemanfaatan kemampuan daya beli tersebut. Alokasi biayanya hanya bisa mencapai Rp6.000 setiap kali makan, dan minum. Sehingga bisa dipastikan kualitas makanan dinikmati individu penduduk pemenuhan kebutuhan makan/minum tiga kali sehari dalam sehari semalam sangat rendah.
Sehingga daya beli penduduk hanya Rp19.000 per hari per kapita itu, menjadikan kabupaten ini sebagai kabupaten berperingkat kedua terparah dari 27 kabupaten/kota di Jawa Barat dalam hal kemampuan daya beli penduduknya. Rata-rata pengeluaran atau daya beli penduduk Garut pada 2016 mencapai Rp7.079.000 per kapita per tahun, atau sekitar Rp590 ribu per kapita per bulan.
Kondisi tersebut hanya bergeser sedikit dari data survey social ekonomi nasional (Susenas) BPS RI 2015, menunjukkan rata-rata pengeluaran penduduk Garut per kapita sangat rendah, hanya sekitar Rp513.370 per kapita per bulan. Atau, terpaut sekitar Rp383.530 dibandingkan Provinsi Jawa Barat mencapai Rp896.000 per kapita per bulan.
**********
(NZ, Jdh).