Reinstalling Nilai-Nilai Luhur

Reinstalling Nilai-Nilai Luhur

772
0
SHARE
Ramadhan. (Ist).

Ahad , 02 July 2017, 21:00 WIB

Red: Agung Sasongko

Ramadhan. (Ist).
Ramadhan. (Ist).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Puasa bukan sekadar menahan lapar, dahaga, dan hubungan seks. Yang lebih penting, puasa sebagai proses reinstalling nilai-nilai luhur (fitrah) yang mung kin selama ini terjangkiti virus materialisme yang akut. Puasa ber fungsi sebagai recharging energi feminin dan kelembutan ke dalam jiwa kita. Puasa juga berfungsi sebagai spiritual training untuk mencontoh sifat-sifat rububiyah Tuhan, sebagaimana diserukan dalam hadis, takhallaqu bi akhlaqillah (berakhlaklah sebagaimana akhlak Allah SWT).

Alquran menyebutkan, huwa yuth’im wa la yuth’am (Tuhan mem beri makan dan tidak diberi makan) (QS 6: 14) dan lam takun lahu shahibah (Tuhan tidak memiliki pasangan) (QS 6: 101). Bukankah dalam berpuasa kita tidak boleh makan, minum, dan berhubungan seks, sebaliknya kita diwajibkan berzakat fitrah, yaitu memberi makan orang yang butuh. Dengan berpuasa, kita berharap memperoleh memori spiritual baru yang bersih dari berbagai virus yang menghalangi nurani kita untuk menjalani kehidupan ini secara benar, sesuai dengan tuntunan Ilahi.

Dengan menjalani ibadah puasa, kita berharap mencapai kualitas insan kamil (manusia paripurna), kualitas spiritual yang paling didambakan oleh para pencari Tuhan (salik). Insan kamil sesungguhnya tidak lain adalah internalisasi sifat sifat Tuhan ke dalam diri kita sebagaimana dicontohkan oleh teladan kita, Rasulullah SAW.

Bulan puasa disebut juga bulan Ramadhan (secara harfiah berarti menghanguskan, menghancurkan). Setelah sebelas bulan kita terasing di dalam kehidupan yang kering dan penuh dengan suasana pertarungan (power struggle), dalam bulan Ramadhan kita diajak untuk kembali ke kampung halaman rohani kita yang sejuk dan penuh dengan suasana lembut (nurturing). Bulan Ramadhan ibarat oasis di tengah padang pasir, ia memberikan kepuasan kepada kafilah yang sedang berlalu. Bulan Ramadhan adalah manifestasi dari rahmaniyah dan rahimiyah Tuhan.

Allah SWT menggambarkan diri-Nya di dalam dua kualitas, yaitu kualitas kejantanan (jalaliyyah/struggling) melalui sifat-sifat- Nya yang lebih menonjol sebagai Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang daripada Tuhan Yang Maha Pemurka dan Maha Pendendam. Seolah-olah, Allah SWT memperkenalkan diri-Nya tidak untuk ditakuti, tetapi untuk dicintai. Seorang yang mendekati Tuhan lewat pintu maskulin akan mengesankan Tuhan bersifat transenden, jauh, berserah diri, struggling, dan menakutkan. Di sisi lain, seseorang yang mendekati Tuhan lewat pintu feminin akan mengesankan Tuhan bersifat imanen, dekat, dominan, struggling, dan lebih tepat dicintai daripada ditakuti.

Di dalam bulan suci Ramadhan, Tuhan lebih terasa sebagai The Feminine God daripada The Masculine God. Menurut para sufi, jalur tercepat mendekatkan diri (taqarrub) kepada Tuhan ialah jalur yang pertama. Bahkan, Syekh Muhyid din ibn ‘Arabi pernah mengatakan kepada muridnya, ”Jika kalian ingin memotong jalan menuju Tuhan, terlebih dahulu kalian harus menjadi ‘perempuan’.”

Menurutnya, unsur kelelakian merepresentasikan sifat Aljalal Tuhan, sedangkan unsur keperempuanan merepresentasikan sifat Aljamal Tuhan. Dalam bulan suci Ramadhan, yang juga disebut bulan cinta (Syahr Alhubb), Tuhan lebih banyak memperkenalkan dirinya sebagai The Feminine God.

Sebagai orang yang berpuasa, selayaknya tidak hanya menaruh kasih dan perhatian kepada sesama manusia, tetapi juga kepada makhluk-makhluk Tuhan yang lain. Ideal nya, orang yang berpuasa sudah dapat menciptakan kualitas ukhuwah basyariyyah, ukhuwah Islamiyyah, dan ukhuwah makhluqiyyah sebagai sesama ciptaan Tuhan. Kualitas muttaqin yang dijanjikan Tuhan bagi mereka yang menjalankan puasa secara ikhlas dan baik bukanlah janji sederhana. Kualitas muttaqin merupakan dambaan setiap orang. Seorang yang memiliki takwa akan merasakan kelapangan dada, meniru si fat Tuhan yang Maha lapang (Alwasi’).

Berbeda dengan orang yang tidak memiliki unsur ketakwaan, selalu diwarnai suasana batin yang fluktuatif. Jika dihujat, dadanya terasa sumpek dan jika disanjung, leher nya akan bertambah panjang. Orang yang bertakwa sulit dikenali kapan ia ditimpa musibah dan kapan ia dikaruniai rezeki. Ia memberikan respons yang biasa untuk semua yang datang kepadanya.

Bagi orang yang bertakwa, musibah dan bala serta berbagai bentuk penderitaan dan kekecewaan lainnya dianggap sebagai ‘surat cinta’ Tuhan. Mungkin, selama ini, Tuhan ingin menyapanya, tetapi ia tidak sensitif karena ditutupi oleh berbagai kecukupan hidup. Lalu, Tuhan mengirim trigger berupa musibah atau cobaan untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhannya.

Tidak sedikit orang yang ditimpa musibah dan bencana kemudian menjadi lebih dekat dengan Tuhannya, jauh lebih dekat ketimbang sebelum musibah dan bencana itu datang. Bahkan, bagi orang yang bertakwa, dosa dan maksiat pun dijadikan pintu masuk untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Ia betul-betul menyesali serta meratapi dosa dan maksiat itu sehingga membuat dirinya lebih pas rah kepada Tuhan. Kalau Tuhan akan memasukkannya ke dalam neraka, ia pasrah karena memang merasa pantas masuk ke dalam neraka dengan dosanya itu.

Orang yang bertakwa akan menyadari Allah SWT sebagai Tuhan alam semesta (makrokosmos) dan manusia (mikrokosmos). Manusia sebagai makhluk mikrokosmos merupakan bagian yang teramat kecil di antara seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Meskipun dipercaya oleh Tuhan sebagai khalifah di bumi (khalaif alardl), manusia tidak sepantasnya mengklaim Allah SWT lebih menonjol sebagai Tuhan manusia daripada Tuhan makrokosmos.

Manusia sebagai khalifah se layaknya menjalankan fungsi ke khalifahannya senantiasa mengidentifikasikan diri dengan The Feminine God. Jika demikian, sudah barang tentu tidak akan pernah terjadi disrupsi lingkungan alam dan lingkungan sosial. Sebaliknya, yang akan terjadi adalah kedamaian kosmopolit (rahmatan lil al ‘alamin) di tingkat makrokosmos dan negeri tenteram di bawah lindungan Tuhan (baldah thayyibah wa Rab Al Gafur) di tingkat mikrokosmos.

Hanya mereka yang berpuasa yang dapat menjelaskan kaitan segitiga antara Tuhan, mikrokosmos, dan makrokosmos. Semoga Ramadhan kita kali ini membuat kita lebih feminin. n

Prof Dr Nasaruddin Umar
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

*********

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY