“Segera Terbit Edisi Jilid ke-2 Masih Menyisakan Luka Berkepanjangan”
Esay/Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Kamis, 21/09 – 2017 ).
Meski satu tahun berlalu terjadi sangat derasnya debet air hingga mencapai ketinggian delapan meter lebih pada puncak amuk Sungai Cimanuk, Rabu menjelang tengah malam, 20 September 2016 silam, tetapi hingga kini masih menyisakan luka berkepanjangan.
Banjir bandang yang dipicu tingginya intensitas curah hujan mencapai sekitar 255 mm per jam, mulai pukul 22.00 WIB tersebut, selain menelan 50 lebih korban meninggal juga berdampak pada sekitar 6.535 korban yang sebagian besar masih mendiami hunian sementara (huntara).
– -Mereka masih mengungsi, menunggu dan terus menunggu bisa segera direlokasikan pada pembangunan sekitar 1.300 unit rumah hunian tetap, yang juga masih belum tuntas seluruhnya terealisasi.
Bahkan terdapat pula korban terdampak yang mengaku sampai sekarang terpaksa berdomisili seputar bekas lokasi bencana Kampung Cimacan kendati hanya menumpang pada rumah kerabat terdekatnya.
Di antaranya dialami Imas janda berusia 65 tahun kepada Garut News, Kamis (21/09-2017), dia pun mengaku tak terakomodir bisa menjadi pengungsi pada hunian sementara dimana pun.
Sejak 30 tahun lalu menghuni Perkampungan Cimacan, saat kondisinya masih sunyi sepi dari pemukiman penduduk, atau tak seperti sekarang ini, sempat merebak-marak pendirian rumah penduduk.
Kemudian mulai menjadi janda sejak 2011 lantaran ditinggal wafat suaminya, namun banjir bandang menghanyutkan rumah beserta seluruh isinya.
Kini meski prahara tersebut, satu tahun telah berlalu, denyut nadi kehidupan perekonomiannya hanya ditopang dengan berjualan minuman kopi serta mie rebus pada “sasaungan” atau bangunan warung sangat sederhana, juga terletak di pinggiran bantaran sungai.
“Lumayan pemenuhan makan dua kali sehari bisa terpenuhi, dengan menyediakan kopi dan makanan ringan bagi para kuli pasir sepanjang lintasan sungai itu,” katanya.
Terdapat pula seorang ibu yang terpaksa kembali ke lokasi bekas bencana di Kampung Cikeusik, lantaran mengungsi di huntara tak betah, sebab tak bisa sambil mencari penghasilan memenuhi kebutuhan pokok untuk bisa makan.
Dia menempati rumah rusak, yang kini hanya disangga dengan beberapa bilah bambu, lantaran sejak terjadi bencana hingga kini belum pernah diperbaiki.
“Padahal manusia itu bukan domba, yang hanya cukup memenuhi kebutuhan makan dan mandi,” ungkap Dede (36) bersama istrinya hingga kini masih mengungsi pada “hunian sementara” Wisma LEC.
Karena sejak peristiwa yang sempat meluluh-lantakan masa depannya ini, Dede bersama keluarganya bermukim di pengungsian itu.
Dia juga mengaku ingin segera menempati rumah relokasi yang disiapkan Pemkab setempat, sebab menurutnya hidup di pengungsian pada hunian sementara dinilainya sangat tak bagus kondisinya untuk membina kelanjutan kejelasan masa depan anak beserta keluarganya.
Ungkapan senada mengemuka pula dari sejumlah pengungsi lainnya, termasuk para pengungsi yang terpaksa meninggalkan huntara rumah susun milik Yayasan Pendidikan Islam Al Musadaddiyah sebab kembali dimanfaatkan pemiliknya.
Juga pengungsi yang terpaksa hengkang dari huntara gedung Transito, sehingga banyak di antaranya terpaksa mengontrak rumah, serta ikut menumpang hidup di rumah saudara maupun sanak famili.
“Harus Membangun Model Banjir”
Dr Heri Andreas dari Geodesi ITB menyerukan Pemerintah melalui Kementerian ATR, BNPB, Pemerintah Daerah serta lembaga/instansi terkait lainnya, harus mulai membangun model banjir untuk evaluasi mitigasi bencana dan penataan ruang.
Serta mulai memikirkan membangun system monitoring dan early warning system banjir.
Karena sepertinya belum ada program komprehensif dari pemerintah tentang penyusunan tata ruang yang memerhatikan model banjir.
Juga sepertinya belum ada program komprehensif dari pemerintah tentang monitoring, serta early warning system banjir.
Padahal kita dapat lihat bersama potensi bencananya dimana-mana.
Dia mengemukakan pula, hingga kini masih belum ada model program menyeluruh dalam upaya mitigasi bencana banjir di Indonesia.
Kecuali di Jakarta, Bandung, dan Semarang, itu pun masih belum sempurna. Karena hingga hari ini pun masih terjadi banjir, ungkapnya.
Bahkan belum ada pula program menyeluruh dari pemerintah tentang penyediaan model akurat “Digital Elevation Model” (DEM), serta geometri sungai-sungai yang peranannya sangat krusial dalam permodelan banjir yang baik, tandasnya.
Dikatakan, prelinimary model banjir Garut, menunjukan model banjir dapat memberikan informasi yang berguna untuk evaluasi mitigasi bencana, untuk evaluasi penataan ruang, perhitungan kerugian, serta kepentingan lainnya.
Catatan penting yang harus kita perhatikan, imbuh Heri Andreas, kita membutuhkan data-data penting bagi pembuatan model seperti DEM, Geometri sungai, data curah hujan yang akurat, dan data-data penting lainnya.
Menyusul meski disimulasikan land use di hulu Sungai Cimanuk masih bagus (hijau-hutan), namun banjir tetap terjadi, kendati juga magnitude-nya lebih kecil.
Disini bisa dilihat peran curah hujan, dan peran “wadah” sangat signifikan faktor-faktor ini menjadi faktor kunci yang dominan.
Dengan fakta ini perlu untuk dilakukan penelaahan banjir secara menyeluruh, dan akurat untuk bahan evaluasi penataan ruang, imbuhnya.
Antara lain juga dipaparkan, beberapa skenario model banjir harus dibuat dalam memutuskan bentuk tata ruang yang akan dibuat, di bantaran Sungai Cimanuk.
Skenario ini, imbuhnya pula, bakal erat hubungannya dengan mitigasi bencana di sekitar bantaran Sungai Cimanuk. Worse Scenario akan menjadi best mitigation, kata Heri Andreas.
*******