– Reza Syawawi, Peneliti Transparency International Indonesia
Jakarta, Garut News ( Sabtu, 11/01 -2014 ).
Dalam hitungan bulan, perhelatan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD (pemilu legislatif) akan segera diselenggarakan.
Pemilih mungkin hanya memiliki waktu sekitar 3 bulan untuk menentukan pilihan politiknya menjelang 9 April 2014.
Seyogianya pemilu bukanlah penentuan pilihan politik yang sering diasumsikan sebagai keputusan yang diambil dalam “5 menit”, yang akan menentukan nasib bangsa “5 tahun” ke depan.
Sangat mustahil jika keputusan yang diambil dalam waktu 5 menit akan didasarkan pada argumentasi yang rasional dan bisa dipertanggungjawabkan.
Pemilih yang baik tentu telah memiliki ukuran dan penilaian yang rasional untuk memilih wakilnya jauh sebelum pemilu diselenggarakan.
Ukuran dan penilaian tersebut tentu saja yang berkaitan dengan integritas dan kemampuan untuk menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat.
Pilihan politik yang baik tentu saja tidak lagi hanya didasari hal yang bersifat kesukuan, agama, ras, apalagi hanya karena hubungan kekerabatan.
Bahkan lebih buruk lagi jika pilihan politik didasarkan pada hubungan yang bersifat transaksional.
Aroma politik uang yang selalu merebak menjelang dan pada saat penyelenggaraan pemilihan umum mengindikasikan mudahnya membeli suara pemilih.
Akibatnya tentu saja mengarah pada biaya politik yang begitu tinggi.
Maka, tidak mengherankan jika pendanaan politik menjadi salah satu pintu utama terjadinya praktek korupsi.
Mungkin tidaklah berlebihan jika potret lembaga perwakilan (legislatif) merupakan cermin dari pemilih itu sendiri.
Dalam pemahaman yang sederhana, seorang anggota legislatif dipilih secara langsung oleh pemilih, artinya pilihan politik pemilih sangat menentukan wajah parlemen lima tahun ke depan.
Jika hasil Pemilu 1999, 2004, dan 2009 justru menghadirkan wajah–wajah koruptor, tentu ada yang salah dengan pilihan politik warga.
Faktor pemilih tentu bukanlah faktor tunggal dalam sistem pemilihan umum.
Ada juga peran partai politik dan penyelenggara yang ikut menentukan hasilnya.
Dalam pandangan yang sederhana, keberhasilan pemilu bukanlah semata keberhasilan dalam penyelenggaraan.
Tapi, bagaimana pemilu menghasilkan anggota lembaga perwakilan rakyat yang memang bekerja untuk kepentingan publik.
Wajah korupsi yang begitu lekat di lembaga legislatif tentu saja menjadi kegagalan pemilu.
Pemilu sebagai cara menjalankan demokrasi telah gagal bekerja untuk publik, bahkan pemilu menjadi alat atau sarana reproduksi para koruptor baru.
Lalu, kepada siapa beban moral demokrasi ini akan disandarkan?
Apakah hanya kepada partai politik, penyelenggara pemilu, pemerintah, atau pemilih?
Dalam konsep demokrasi yang paling sederhana, warga negara Indonesia yang menyandang status pemilih seharusnya ikut menanggung beban dan tanggung jawab politik tersebut.
Adagium bahwa demokrasi adalah “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” mungkin cukup relevan untuk menjelaskan siapa sebetulnya aktor kunci dalam berdemokrasi.
Setiap orang memang memiliki kebebasan politik, termasuk untuk menentukan pilihan tentang siapa wakilnya di lembaga legislatif.
Namun, setiap orang juga berkewajiban memastikan wakilnya tersebut bertindak sesuai dengan kehendak publik yang memilihnya.
Lembaga legislatif menjadi perwujudan pengawasan publik atas kerja-kerja negara secara umum dan pemerintah.
Tapi, sayangnya, lembaga legislatif justru luput dari pengawasan publik.
Secara hukum memang tidak ada kewajiban bagi masyarakat untuk mengawasi lembaga-lembaga negara, termasuk lembaga legislatif.
Namun undang-undang membuka peluang bagi masyarakat untuk ikut serta mengawasi jalannya negara dan pemerintahan.
Munculnya kelembagaan dan mekanisme baru untuk mengakomodasi pengawasan publik semestinya bisa dimanfaatkan pemilih untuk mengawasi wakil yang dipilihnya.
Inilah salah satu wujud dari tanggung jawab politik warga atas pilihan politiknya.
Ke depan, mungkin perlu ada mekanisme yang lebih jelas untuk memperkuat hubungan antara pemilih dan wakilnya.
Hubungan itu tentu saja tidak hanya dalam konteks penyelenggaraan pemilu, tapi bagaimana hubungan ini “berlanjut” hingga lima tahun ke depan.
Konsep hubungan semacam ini akan menjadikan publik (pemilih) tidak sekadar pemberi suara, tapi juga menjadi bagian dari penentu kebijakan.
Tidak hanya terdaftar atau tidak di dalam daftar pemilih, tapi menjatuhkan pilihan politik yang sehat dan rasional.
Forum-forum warga, baik berdasarkan sektoral maupun wilayah, tentu akan efektif digunakan untuk mengusulkan program atau kebijakan yang mengafirmasi kebijakan yang pro-publik.
Itu hanya akan berjalan jika ada ruang yang dibuka dan publik mau menggunakannya.
Semua usul ini tentu saja untuk mengembalikan esensi dari hak politik warga yang selama ini tergerus oleh praktek politik yang korup.
Tanpa ini semua, penyelenggaraan Pemilu 2014 justru semakin memperlihatkan fakta telah memudarnya makna dari hak politik yang dijamin oleh konstitusi.
***** Kolom/artikel/Tempo.co