Presiden dan Komisi Pemberantasan Korupsi

Presiden dan Komisi Pemberantasan Korupsi

627
0
SHARE

Reza Syawawi, Peneliti Hukum dan Kebijakan, Transparency International Indonesia

Garut News ( Kamis, 03/09 – 2015 ).

Ilustrasi. Sebuah Vila di Kampung Panawuan, Tarogong Kidul, Garut, Jabar, Kini Masih Menjadi Sitaan KPK. (Foto: John Doddy Hidayat).
Ilustrasi. Sebuah Vila di Kampung Panawuan, Tarogong Kidul, Garut, Jabar, Hingga Kini Masih Menjadi Sitaan KPK. (Foto: John Doddy Hidayat).

Tahapan seleksi pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi memasuki tahap baru. Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan KPK telah menyerahkan delapan nama kepada Presiden untuk kemudian diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Sejak proses awal penentuan Pansel oleh Presiden hingga tahap saat ini, kiranya perlu ada refleksi untuk melihat sejauh mana proses seleksi dilaksanakan secara terbuka, partisipatif, serta mempertimbangkan aspek integritas calon pemimpin KPK.

Seleksi pemimpin KPK harus dilihat sebagai rangkaian dari upaya untuk memulihkan lembaga antirasuah ini setelah sebelumnya sempat “lumpuh” akibat serangan kriminalisasi.

Karena itu, hasil proses seleksi ini akan memilih pemimpin KPK yang semakin memperkuat komisi antirasuah tersebut baik secara kelembagaan maupun kinerja.

Namun, jika mengikuti proses yang telah berjalan, beragam isu bermunculan justru mengarah pada upaya mengamputasi kelembagaan KPK. Beberapa hal tersebut saya rangkum dalam tulisan singkat ini.

Pertama, adanya pemahaman yang keliru tentang keterwakilan lembaga kejaksaan dan kepolisian dalam unsur pemimpin KPK. Pendapat ini sangat jauh dari fakta, baik fakta yuridis maupun sosiologis.

Sayangnya, pemahaman ini justru berkembang dari dalam internal Pansel yang menyatakan mesti ada keterwakilan “pemerintah” (Koran Tempo, 1 September 2015), sehingga tidak mengherankan jika kemudian komposisi calon pemimpin KPK seperti memaksakan keterwakilan lembaga penegak hukum lain.

Kedua, aspek penilaian integritas calon pemimpin KPK. Aspek integritas tidak hanya menjadi syarat utama, tapi juga menjadi penopang integritas dan independensi kelembagaan KPK.

Faktanya, Pansel dalam beberapa hal mengabaikan aspek ini, terutama terhadap calon yang berasal dari penegak hukum. Misalnya, Pansel tetap meloloskan calon yang tidak patuh melaporkan harta kekayaannya.

Padahal pelaporan kekayaan adalah aspek yang paling mudah dinilai untuk mengukur sejauh mana kepatuhan penegak hukum terhadap aturan. Selain itu, kinerja yang bersangkutan selama menjadi penegak hukum tidak menjadi perhatian dan kriteria Pansel dalam meloloskan calon tersebut.

Ketiga, Pansel merestui keberadaan calon yang justru sudah (berniat) melemahkan KPK. Dalam wawancara terbuka, ada calon yang menyatakan, penyidik yang ditugaskan di KPK seharusnya hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan.

Pernyataan ini sangat berlawanan dengan penguatan fungsi penindakan yang tengah didesain oleh KPK, yaitu bagaimana agar KPK “memproduksi” penyidik sendiri tanpa harus bergantung pada lembaga kepolisian dan kejaksaan.

Secara hukum, juga tidak disebutkan satu pasal pun dalam undang-undang yang menyatakan bahwa penyidik KPK harus dan wajib berasal dari kepolisian dan kejaksaan.

Keempat, Pansel membuat kekeliruan dengan menyampaikan calon kepada Presiden berdasarkan komposisi tertentu, yaitu bidang pencegahan, penindakan, dan seterusnya. Komposisi ini bisa dibaca sebagai upaya menyandera Presiden.

Sebab, komposisi ini justru menempatkan calon pada bidang tertentu yang bertolak belakang dengan pandangan calon tersebut. Misalnya, menempatkan calon tertentu di bidang penindakan, padahal yang bersangkutan justru memiliki semangat untuk melemahkan penindakan KPK.

Keempat hal ini sudah lebih dari cukup untuk memperlihatkan bahwa arah seleksi pemimpin KPK seakan dibajak di tengah jalan. Presiden, sebagai pemegang mandat untuk menyeleksi calon pemimpin KPK, harus mengintervensi proses tersebut dengan meminta Pansel tidak mengusulkan calon yang nyata-nyata akan melemahkan KPK.

Sebagai pemegang mandat, Presiden menurut undang-undang berwenang melakukan hal tersebut.

Jangan sampai proses seleksi oleh Pansel justru menjadi alat legitimasi bagi proses pemilihan di DPR untuk memilih calon pemimpin KPK yang integritasnya diragukan.

Sebagai lembaga independen, KPK dalam menjalankan kewenangannya tentu bebas dari intervensi dari kekuasaan mana pun. Namun, sebagai badan antikorupsi, KPK tidak akan bisa bekerja dengan baik tanpa didukung oleh pemimpin pemerintahan tertinggi, yaitu Presiden (Jeremy Pope, 2008).

Dan itu bisa dilakukan oleh Presiden saat ini juga dengan mengoreksi hasil seleksi yang telah dilakukan Pansel. Semoga Presiden memihak penguatan KPK, bukan justru sebaliknya.

*******

Kolom/Artikel Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY