HERZAKY MAHENDRA PUTRA,
Herzaky Mahendra Putra
Pemerhati Politik
Direktur Manilka Research and Consulting
Kompas.com – 04/05/2017, 09:42 WIB/Garut News.
Pilkada DKI Jakarta 2017 berakhir sudah. Anies Baswedan-Sandiaga Uno memenangi kontestasi politik paling dramatis di tahun 2017 ini.
Berawal dari posisi terbawah di berbagai survei di awal gelaran Pilkada Jakarta ini, Anies-Sandi berhasil melaju ke putaran kedua dengan melewati pasangan yang sempat difavoritkan, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni.
Begitu memasuki putaran kedua, masih banyak pihak meyakini petahana, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, yang diusung partai penguasa, PDI-P, selaku pemenang di putaran pertama, bakal memenangi ujung pertarungan ini.
Tak pelak, hasil ini, meskipun sudah diprediksi berbagai lembaga survei menjelang pemungutan suara 19 April 2017 ini, tetap saja mengagetkan banyak pihak, terutama koalisi partai pengusung dan pendukung Basuki-Djarot.
Lalu, bagaimana memaknai hasil pilkada Jakarta 2017 ini dilihat dari sisi koalisi parpol dan kontestasi jelang pemilihan presiden 2019? Apakah ini tanda meredupnya koalisi partai penguasa? Seperti apakah koalisi yang akan terbentuk, menuju Pemilihan Presiden 2019?
Adakah peluang bagi koalisi Cikeas untuk bangkit, mengingat jagoan barunya kalah di putaran pertama Pilkada DKI Jakarta kemarin? Ataukah, angin bertiup ke Ragunan, dengan Gerindra-PKS sebagai motor utama koalisi penantang petahana di Pemilihan Presiden 2019? Tulisan ini mencoba untuk membedahnya satu persatu.
Koalisi penguasa
Pukulan keras kedua kalinya pada tahun 2017 untuk Partai Demokrasi Indonesia Pembangunan atau PDI-P datang dari Jakarta. Calon petahana, Basuki Tjahaja Purnama yang berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat, tersungkur pada putaran kedua pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017.
Berdasarkan rekapitulasi penghitungan Form C1 KPUD DKI Jakarta, Basuki-Djarot hanya memperoleh 42,05 % suara, sedangkan pasangan lawannya, Anies-Sandi memperoleh 57,95 % suara.
Ini merupakan pukulan kedua bagi PDI-P selaku partai penguasa, setelah calon petahana yang diusung bersama Partai Nasdem dan Partai Persatuan Pembangunan di Pilkada Banten, Rano Karno-Embay Mulya Syarief, gagal memenangi kontestasi tersebut pada tanggal 15 Februari 2017 lalu.
Menilik jumlah konstituen yang dimiliki koalisi partai pengusung dan pendukung Basuki-Djarot yang dipimpin PDI-P, seharusnya kemenangan Basuki-Djarot sangatlah memungkinkan. Apalagi dengan kembalinya dua ‘anak hilang’ anggota koalisi di tingkat nasional, PPP dan PKB, di putaran dua pilkada Jakarta, jumlah konstituen koalisi parpol pendukung Basuki-Djarot berada di kisaran dua pertiga pemilih Jakarta.
Keberadaan Basuki-Djarot selaku petahana, tentunya memberikan keuntungan tersendiri untuk koalisi parpol pendukungnya, karena sudah memiliki kesempatan untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam memimpin Jakarta.
Tumbangnya calon gubernur yang diusung PDI-P di Banten dan Jakarta, padahal keduanya calon petahana, tentunya akan mempersulit langkah PDI-P untuk mempertahankan kemenangannya di pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden 2019. Apalagi lepasnya posisi Gubernur Jakarta yang sangat strategis, karena selalu menjadi sorotan nasional, dan seringkali memberikan pengaruh bagi pemilih di daerah lain dalam menentukan pilihannya.
Presiden Joko Widodo sendiri, sebagai salah satu kader terbaik PDI-P, berhasil mentas sebagai RI-1, dan sedikit banyak menolong kiprah PDI-P pada pemilihan umum legislatif secara nasional, setelah dianggap sukses sebagai Gubernur Jakarta.
Bu Mega harus mengambil langkah taktis dan cepat untuk menyembuhkan luka akibat kekalahan di dua provinsi besar tersebut. Calon petahana yang secara alami memiliki keuntungan dibandingkan calon penantangnya, bisa tumbang karena tiga faktor.
Pertama, ketidakpuasan dari warga pemilihnya, sehingga mereka ‘menghukum’ calon petahana dengan tidak memilihnya kembali. Kedua, mesin partai yang tidak berjalan optimal. Bisa jadi karena kader menganggap remeh, terlalu yakin menang, dan terlalu bergantung pada sosok kandidat, mengingat posisi PDI-P selaku partai penguasa dan sosok kandidat yang dianggap berprestasi. Ketiga, koalisi partai politik yang tidak solid.
Partai politik yang tergabung dalam koalisi yang tidak solid, cenderung tidak terkoordinasi, mengambil langkah sendiri-sendiri, yang seringkali kontraproduktif dengan pencapaian tujuan. Bahkan, cenderung mengutamakan kepentingan partai politik masing-masing, bukannya kepentingan pasangan calon yang diusung.
Pelajaran dari pilkada di Jakarta ini, menunjukkan kesolidan dukungan dari Partai Golkar, Hanura, Nasdem, dan tambahan dari partai baru, yaitu Partai Solidaritas Indonesia. Bahkan, Partai Golkar, Partai Hanura, dan Partai Nasdem sudah menyatakan kesediaannya untuk mendukung Jokowi sebagai calon presiden pada Pilpres 2019.
Posisi PPP, PKB, dan PAN, sebagai sekutu di koalisi partai politik pendukung pemerintah, mesti dipertanyakan lagi komitmennya untuk 2019. Dukungan dari ketiga partai Islam tersebut, selain berdasarkan dinamika internal parpol, bakal melihat usulan wakil presiden yang mendampingi Jokowi.
Jika memang sesuai dengan ekspektasi dan bisa membantu meningkatkan elektabilitas mereka di pemilihan umum legislatif yang berlangsung bersamaan dengan pilpres, mereka akan bertahan di koalisi pendukung Jokowi.
Jika memang kurang sesuai dengan harapan, dan melihat ada pasangan calon lain yang lebih berkualitas dan memiliki kemungkinan menang lebih besar, bisa jadi mereka akan berpindah haluan dari kubu Jokowi. Mengingat tujuan berkoalisi, salah satunya adalah meningkatkan daya kompetitif elektabilitas partai-partai politik yang terlibat, seperti yang disampaikan The National Democratic Institute & The Oslo Center for Peace and Human Rights, dalam Coalition: A Guide for Political Parties (2015).
Di sisi lain, bagi Jokowi dan PDI-P, dukungan dari partai-partai Islam diperlukan, terutama untuk mengimbangi pergerakan massa Islam di poros lain. PAN diperlukan untuk basis pemilih muslim modern di kota-kota, sedangkan PPP dan PKB untuk basis pemilih muslim tradisional.
Selain itu, dukungan parpol Islam perlu untuk membendung narasi, kalau pemerintahan Jokowi tidak ‘ramah’ terhadap umat Islam. Isu ini bisa jadi akan bergulir lebih kencang di 2019.
Angin segar Prabowo
Terpilihnya Anies-Sandi yang diusungnya, memberikan angin segar bagi Gerindra dan PKS, dan juga PAN. Dengan koalisi yang awalnya terdiri atas hanya dua partai politik (dan selanjutnya didukung pula oleh partai baru, yaitu Perindo, dan bertambah satu partai politik pendukung di putaran kedua, yaitu PAN), melawan koalisi partai penguasa yang dipimpin oleh PDI-P dan koalisi mantan partai penguasa yang dimotori Partai Demokrat, kemenangan pasangan calon usungan mereka di Jakarta benar-benar menaikkan moral kader-kader kedua partai.
Hal ini sedikit banyak membuktikan keberhasilan mesin partai mereka untuk bekerja secara optimal, dan koalisi mereka yang solid. Kemenangan di Jakarta diharapkan kedua parpol bisa memberikan bandwagon effect di daerah-daerah lain, terutama untuk pilkada serentak di 2018, dan pileg maupun pilpres 2019.
Kemenangan Anies-Sandi di Jakarta bisa dimaknai sebagai kembali bersinarnya figur Prabowo Subianto. Hal ini mengingat figur Prabowo berperan sentral dalam proses pemenangan ini, baik dalam proses awal berupa penentuan pasangan cagub-cawagub dan koalisi partai, maupun dengan turun langsung menjadi juru kampanye.
Pasangan calon Anies-Sandi pun selama ini dianggap sebagai representasi Prabowo, dan kemenangan mereka di Pilkada Jakarta dianggap sebagai kemenangan Prabowo dalam kontestasi melawan poros Megawati-Jokowi maupun poros SBY. Hal ini pun memberikan ‘bensin’ baru buat Prabowo maju kembali sebagai calon presiden menantang Presiden Joko Widodo, yang mengalahkannya di kontestasi pilpres 2014.
Momentum positif ini harus dijaga oleh Prabowo dan Gerindra serta PKS, dengan cara mendukung penuh Anies-Sandi dalam melaksanakan tugas-tugasnya selaku Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih. Mengingat Jakarta adalah etalase politik nasional, keberhasilan Anies-Sandi dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta, sedikit banyak akan memberikan impresi positif kepada para partai politik pengusung maupun tokoh-tokoh di belakangnya.
Pekerjaan rumah bagi Prabowo adalah bagaimana agar Anies-Sandi karir politiknya tidak menjadi seperti Jokowi-Basuki, alias menjadi senjata makan tuan bagi Prabowo. Sebagaimana yang kita ketahui, Prabowo dan Gerindra bersama Megawati Soekarnoputri dan PDI-P mengusung Joko Widodo dan dan Basuki Tjahaja Purnama di Pilkada DKI 2012. Bahkan, ada rumor yang beredar, Prabowo-lah yang aktif melobi agar Megawati Soekarnoputri bersedia mencalonkan Jokowi-Basuki tahun 2012 lalu.
Setelah mereka terpilih sebagai Gubernur DKI, Jokowi malah melaju ke pemilihan presiden pada tahun 2014 dan mengalahkan Prabowo. Selanjutnya, Basuki malah keluar dari Gerindra.
Koalisi mesra antara Gerindra dan PKS di Jakarta kemungkinan akan berlanjut di beberapa provinsi besar, sebagai langkah memastikan kerja bareng pada 2019. Prabowo tentunya membutuhkan figur calon wakil presiden yang cukup kuat dan bisa menutupi kekurangan pengalamannya di birokrasi.
Ahmad Heryawan, yang biasa dipanggil Aher, kader PKS yang bisa menjadi pilihan pertama bagi Prabowo untuk mendampinginya pada Pilpres 2019. Mengingat Aher berhasil menjadi Gubernur Jawa Barat selama dua periode di provinsi dengan jumlah pemilih terbesar.
Sosok Prabowo yang nasionalis, pejuang, sangat terekspos dengan dan memiliki jaringan kuat di dunia internasional, dengan gaya meledak-ledak, bisa saling mengisi dengan figur Aher yang religius, berpengalaman di birokrasi, dan pembawaan tenang.
Anies bisa menjadi pilihan selanjutnya sebagai wapres mendampingi Prabowo jika memang berhasil menunjukkan kinerja yang baik dalam setahun. Hal ini menjadi pilihan dilematis, karena Anies baru menjabat setahun sebelum dicalonkan sebagai wapres sehingga bisa dianggap terlalu dini dan mengesankan Anies sebagai pribadi ambisius.
Jika berhasil memilih wakil yang tepat, yang didahului dengan kemenangan pilkada di beberapa daerah yang vital, Gerindra-PKS bisa menjadi motor utama bagi koalisi penantang Jokowi.
Koalisi Cikeas, penentu hasil?
Pertanyaan besar yang selanjutnya mengemuka, bagaimana dengan poros yang dimotori Partai Demokrat? Sebagai partai penguasa selama dua periode kepresidenan SBY yang saat ini menjadi ketua umumnya, Partai Demokrat tidak mencalonkan kadernya sebagai capres pada tahun 2014 lalu. Bahkan, mendukung salah satu capres pun tidak. Posisinya berada di tengah.
Apakah di tahun 2019 nanti, PD kembali bersikap di tengah alias tidak merapat ke salah satu kubu? Sepertinya tidak, mengingat adanya variabel baru di PD, yaitu Agus H Yudhoyono, yang biasa dipanggil AHY.
Munculnya AHY sebagai kandidat gubernur DKI Jakarta dari poros yang dimotori PD, dan didukung koalisi lama mereka ketika memerintah selama dua periode, yaitu PPP, PKB, dan PAN, memberikan napas baru bagi kader dan konstituen PD. Ada gairah yang muncul dengan keberadaan AHY. Seakan-akan, PD mendapatkan kembali sosok calon pemimpin yang lama hilang, setelah SBY tidak bisa mencalonkan kembali sebagai Presiden karena telah dua periode menjabat.
Dan, gairah ini pun bukan hanya dirasakan oleh PD, melainkan juga masyarakat Indonesia di berbagai pelosok. Figur AHY yang cerdas, tegas, rupawan, dan yang paling penting, muda, membuatnya menjadi idola baru. Membuat generasi muda saat ini berkurang alerginya saat membicarakan politik.
Kekalahan AHY di Pilkada Jakarta tidak mengikis pesonanya. Perjuangan AHY selama 4,5 bulan berkeliling Jakarta, membuat dia terekspos secara nasional. Liputan luar biasa luasnya mengarah kepada AHY sebagai salah satu kandidat, baik melalui media televisi, radio, koran, majalah, maupun media online dan media sosial.
Tingkat popularitasnya pun melonjak tajam, mendekati presiden saat ini, Jokowi, menurut beberapa survei. Keberhasilannya untuk menaikkan elektabilitasnya dari 2% sebelum Pilkada Jakarta, menjadi 17%, bahkan sempat 37% di Desember 2016, merupakan prestasi yang luar biasa. Ini mengingat AHY baru masuk ke dunia politik 23 September 2016 lalu, dan bertarung dengan Basuki dan Anies Baswedan yang sudah bertahun-tahun berkiprah di dunia ini.
Fakta ini semakin dikuatkan dengan concession speech-nya yang memukau. Menunjukkan kebesaran hati seorang pemimpin muda. Bukannya mencari-cari alasan atas kekalahannya, melainkan menerimanya dengan jiwa ksatria dan lapang dada. Suatu teladan yang langka saat ini.
Lalu, apakah Partai Demokrat akan mengajukan AHY sebagai capres di 2019? Peluang ini memang terbuka, namun perlu mempertimbangkan dua prasyarat. Pertama, kemenangan kader-kader PD di pilkada di berbagai daerah pada tahun 2018, khususnya di daerah-daerah strategis seperti tiga provinsi di pulau Jawa. Kedua, peran AHY dalam usaha pemenangan kader-kader PD tersebut.
Jika memang AHY terlibat aktif dalam usaha pemenangannya, dan mendapatkan sambutan luar biasa dari masyarakat di setiap lokasi yang didatanginya, tentunya jalan lebih terbuka bagi AHY untuk bertarung langsung di pilpres.
Hanya, jika memang PD masih merasa belum percaya diri untuk ikut memperebutkan posisi calon Presiden, AHY memiliki kemungkinan untuk dipinang sebagai calon wakil presiden. Lalu, AHY lebih tepat, dan bakal lebih membantu elektabilitas siapa, menjadi cawapres Jokowi atau Prabowo?
Sosok AHY yang kalem dan muda, memang menarik untuk disandingkan dengan Prabowo yang sudah cukup senior. Kedua figur sama-sama cerdas, tegas, pejuang, cinta NKRI, jujur, bersih dari korupsi, dan berpenampilan keren. Kematangan Prabowo akan dilengkapi dengan kreativitas jiwa muda AHY. Figur Prabowo yang sangat serius, akan mendapatkan penyeimbang dari AHY yang bisa tampil lebih santai.
Sedangkan dari kekuatan politik, Prabowo dengan Gerindra-nya mewakili kelompok nasionalis, sedangkan AHY dengan Partai Demokrat mewakili kelompok nasionalis religius.
Pertanyaan terbesarnya adalah, bagaimana dengan PKS sebagai salah satu sekutu terdekat Partai Gerindra selama ini? Apakah mereka rela posisi calon wakil presiden diisi oleh bukan kader mereka? Sedangkan mereka juga memiliki kader-kader yang cukup potensial juga, seperti Aher? Apakah PKS malah merapat ke poros lainnya?
Jika bersanding dengan Jokowi, peran AHY bisa lebih mendasar dan melengkapi. Jokowi sosok ceplas-ceplos jika berbicara, AHY berbicara dengan sangat sistematis dan teratur, Jokowi senang bergerak cepat dan AHY pun demikian, sosok pengusaha-birokrat Jokowi yang penuh fleksibilitas dan mantan militer-nya AHY yang penuh ketegasan dan disiplin, dan figur senior yang matang dan muda yang penuh kreativitas dan inovasi.
Jika Jokowi dianggap kurang tegas dan Prabowo tegas, maka figur AHY akan membantu Jokowi dalam meminimalisir kekurangannya itu. Jokowi pun bisa menarik hati pemilih pemula dan pemilih muda dengan keberadaan AHY sebagai cawapresnya.
Hanya, apakah ini dimungkinkan, mengingat Bu Mega dan Pak SBY tidak memiliki komunikasi yang baik satu sama lain? Ini penghalang terbesar dalam bersatunya Jokowi dan AHY. Kecuali kalau ada kejutan besar, dan Jokowi tidak memerlukan restu Bu Mega untuk memilih cawapresnya.
Belum lagi jika kita menelisik di internal Partai Demokrat sendiri. Ada beberapa kader potensial, seperti Tuanku Guru Bajang, Gubernur NTB dua periode berturut-turut, sosok yang bisa dianggap mewakili Indonesia Timur, dan memiliki pengalaman yang cukup di birokrasi?
Pakde Karwo sosok birokrat yang jauh lebih senior dan matang? Atau, bahkan I Made Mangku Pastika, Gubernur Bali dua periode, perwakilan Indonesia Timur, dan mantan polisi? Tentunya mereka perlu dipertimbangkan juga sebagai calon wakil presiden jika Partai Demokrat ingin berkoalisi dengan Prabowo maupun Jokowi.
Bagaimanapun, Partai Demokrat bisa menjadi penentu dalam pilpres 2019 mendatang. Di antara dua kutub, gerakan PD bakal mengubah arah permainan, seperti halnya di Pilkada Jakarta 2017, dengan memunculkan surprise effect, yaitu pemilihan AHY sebagai cagub. Dan, harapan kita, apapun langkah yang dipilih para elit politik, merupakan refleksi dari kebutuhan dan kepentingan konstituennya.
*********
Kompas.com