Garut News, ( Kamis, 14/11 ).
Begitu sering anggota DPR masuk pusaran korupsi.
Nama mereka kerap muncul dalam banyak skandal, termasuk pada kasus suap Rudi Rubiandini, mantan Kepala Satuan Kerja Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas).
Jika dibiarkan, kecenderungan ini semakin mencoreng DPR, dan partai politik.
Dalam pemeriksaan suap migas di KPK, terungkap indikasi penting.
Rudi diduga pernah menggelontorkan duit berbentuk dolar Amerika Serikat senilai sekitar Rp2 miliar pada Sutan Bhatoegana.
Tak diberikan langsung, uang ini dikirim lewat rekannya di Fraksi Partai Demokrat DPR.
Setoran pada Juli lalu itu, ada kemungkinan hadiah Lebaran.
Kendati tak mudah, KPK mesti menelusurinya.
Aliran duit bisa dilacak melalui nomor serinya.
Motif pemberian hadiah itu perlu diungkap.
Adakah pula hubungannya dengan posisi Sutan sebagai Ketua Komisi Energi DPR bermitra dengan SKK Migas.
Penyidik KPK seharusnya tak ragu memeriksa Sutan, dan rekannya.
Ketegasan sikap komisi antikorupsi diperlukan demi membersihkan praktek politik korup.
Banyak anggota Dewan masuk penjara lantaran korupsi, tetapi para politikus seolah tak jeri.
Pada kasus suap Ketua MK Akil Mochtar terbongkar belum lama ini, misalnya, juga terungkap keterlibatan seorang anggota DPR dari Partai Golkar.
Sejumlah nama anggota Dewan berkali-kali pula disebut terlibat skandal proyek Hambalang, kendati tak kunjung dijerat KPK.
Bahkan dalam proyek pembangunan gedung DPR akhirnya dibatalkan, Ketua DPR Marzuki Alie pun dituding mendapatkan duit dari calon kontraktor.
Marzuki, juga tokoh penting Partai Demokrat, membantah tuduhan itu.
Ia malahan menuding politikus partai lain terlibat skandal proyek gedung DPR.
Begitu pula Sutan Bhatoegana.
Ia menganggap indikasi dari pemeriksaan kasus suap migas hanya isapan jempol, kendati mengakui pernah memertemukan sejumlah pengusaha dengan Rudi.
Bantahan seperti ini tak menuntaskan persoalan.
Sebagian khalayak tetap memertanyakan integritas si politikus apabila klarifikasinya kurang meyakinkan.
Badan Kehormatan DPR seharusnya segera mengusut sinyalemen negatif itu, tanpa kudu menunggu proses hukum.
Etika politik mesti ditegakkan.
Menunda penelusuran hanya membuat citra Dewan semakin terpuruk.
Politikus Senayan sebagian besar maju lagi pada Pemilu 2014 akan terus dicemooh masyarakat.
Partai politik tak boleh membiarkan.
Kalaupun kalangan partai tak terlalu peduli terhadap citra DPR, semestinya mereka memikirkan nasib partainya.
Cepat atawa lambat, publik mengetahui perilaku sebenarnya para politikus, dan tokoh-tokoh partai.
Berbahaya apabila rakyat kehilangan kepercayaan terhadap partai.
Yang eksistensinya terancam bukan hanya partai politik, tapi juga demokrasi.
***** Opini/ Tempo.co