Red: Fitriyan Zamzami
Oleh Yusuf Maulana*
“Dengan ridha dan pertolongan-Nya, Allah memudahkan kalian untuk merebut kembali barang hilang milik kalian, mengembalikannya lagi ke habitat Islam setelah di genggaman kaum musyrik selama hampir seabad!”
Qadhi Damaskus, Muhyiddin bin Zanki, memesankan kalimat di atas dalam khotbah pertama muslimin selepas Baitul Maqdis direbut pasukan Shalahuddin al-Ayyubi. Jumat kali pertama 27 Rajab 583 bertepatan dengan hari Isra’ Nabi Muhammad. Demikian dicatat Qasim A Ibrahim dan Muhammad A Saleh dalam “al-Mawsuu’ah al-Muyassarah fi al-Taarikh al-Islaami” tentang pertempuran Hiththin yang dimenangi muslimin.
Qadi Muhyiddin memang tegas pasukan Eropa yang selama ini menguasai Baitul Maqdis. Jangankan dengan umat Islam, sesama pemeluk Nasrani saja pasukan Salib acap berbuat tak elok. Tidak hanya saat berkuasa, bahkan saat mereka tersingkir dari Tanah al-Quds bagi umat Islam.
Sejarawan Inggris, John Stuary Mill, tak ragu mengakui fakta ini. “Sejumlah orang Kristen yang sudah meninggalkan Yerusalem pergi mengungsi ke negeri Kristen Antioch. Bukannya diterima dengan baik, mereka malah ditolak dan diusir penguasa Antioch. Mereka lalu pergi menuju negeri-negeri Islam. Di sana, mereka disambut penuh kehangatan dan keramahan” (dalam “Buku Pintar Sejarah Islam”).
Kalau didengar lalu begitu saja, khutbah Muhyiddin bisa saja diartikan penuh ancaman. Nyatanya tidak demikian dalam kelakuan muslimin yang baru saja menang. Pekik takbir kemenangan seusai Yerusalem (Baitul Maqdis) direbut lebih sebagai tanda syukur. Tak ada warta pembantaian. Kalaupun pengusiran terjadi, semua diperbuat muslimin dengan santun dan beradab. Tiada penumpahan darah selain kepada para pengingkar janji berulang sebagaimana Renault penguasa Karak.
Meski sempat dilanda ketakutan amat sangat pada darah penduduk, dan terutama pasukan, Nasrani. Akankah ada ajang pertumpahan darah selepas mereka berkuasa? Ingatan mereka atas kelakuan moyangnya yang membantai muslimin kala merebut Yerusalem begitu saja hadir. Nyatanya, tiada terbukti ketakutan itu. Semua damai. Sejarah dengan elegan menulis toleransi Shalahuddin kepada pemeluk Nasrani. Menang tanpa ada ketakutan.
Malahan kebaikan itu seakan belum cukup. Di jazirah lain, Nasrani berbeda justru bersiap merebut lagi Baitul Maqdis lewat Perang Salib III. Antara nafsu dan ketakutan akan balas dendam yang mengada-ada. Kelak mereka belum berhasil sampai pada gilirannya Tentara Salib berhasil masuk kembali ke Baitul Maqdis berdekade tahun kemudian.
Ada banyak pelajaran soal perebutan Baitul Maqdis. Satu yang menarik menurut patik adalah setianya sebagian anasir elite memelihara ketakutan terhadap muslimin. Sering atau bahkan selalu begitu. Padahal, semua ketakutan dan kecemasan yang dipropagandakan itu hanya mitos. Hanya taktik buat konsolidasi.
Tak ada cerita muslimin haus darah dan gila membantai. Tapi rupanya mitos ini kadung merasuk sebagai alam berpikir bahkan alam bawah sadar. Merusak sendi fitrah sangkaan baik sebagai sesama manusia bernaluri baik dan berakal kritis.
Demonologi terjadi berabad-abad sampai diterima sebagai sebuah pakem ilmiah. Bahwa muslimin berjibaku dengan retorika serupa Qadi Muhyiddin Zanki adalah islamis garis keras yang mesti diwaspadai. Bahaya apanya? Wong sang Qadi sekadar bicara agamanya belaka dan demi mengingatkan saudara seimannya. Tak ada benih teror.
Ketakutan di Jakarta
Begitulah politik ketakutan bekerja. Dipelihara sebagai bagian dari ikhtiar memenangi kepentingan sembari melanggengkan citra baik muslimin. Dan kini upaya ke sana hadir senyampang gempita muslimin mensyukuri kemenangan wakilnya di kontestasi politik di Ibu Kota.
Memang, rilis resmi pemenang Pilkada DKI Jakarta 2017 oleh KPUD belum dilakukan. Hanyasanya, Anies Baswedan dan Sandiaga S Uno dapat dipastikan menjadi pemenang kontestasi penguasa Ibu Kota lima tahun ke depan bila merujuk pada hasil tabulasi resmi di laman KPUD DKI Jakarta. Belum lagi sebelumnya semua lembaga survei menghasilkan temuan sama.
Kemenangan Anies-Sandi sontak disambut takbir banyak kalangan muslimin. Seturut itu, ada beberapa pihak di tanah air yang justru bersikap sebaliknya. Mereka beringsut bak manusia ketakutan. Takut ada ini dan itu seiring dukungan Islamis “garis keras” di barisan pemenang Pilkada. Takut akan ada penerapan ini dan itu yang bakal marginalkan kalangan tertentu.
Takut, cemas, dan gundah itu nyata adanya. Terlepas potensi terjadinya jauh dari kebenaran. Bayangan bakal adanya kekerasan kebijakan atau aturan oleh pemenang Pilkada boleh jadi sekadar imajinasi. Dan ini refleks bawa sadar pengetahuan epistemik yang akut. Meski absurd dan nihil, mereka meyakini mantap. Terus-menerus mereproduksi makna ketakutan. Dibuat dan dimasifkanlah istilah itu di ruang publik. Dalam situasi sekarang, mereka menuntut komitmen pemenang Pilkada.
Imajinasi ketakutan itu bagi para awam yang jahil ilmu bisa dimengerti. Sayangnya, itu direproduksi pemegang informasi dan kalangan berpendidikan. Ketakutan yang ada mewakili terputusnya simpton saraf prasangka baik. Hal-hal baik pada pihak “mereka” ditutupi saraf sangkaan buruk. Tak beda dengan masa Baitul Maqdis direbut pasukan Shalahuddin. Tentang yang tidak-tidak kendati hanya mitos dan refleksi tindakan di masa lalu ulahnya. Inilah yang terwakili sebagai ketakutan tang politik. Secara dialektis, ketakutan yang dipolitisasi.
Bila keberanian menjadi senjata kalangan pendukung yang kini memenangi Pilkada Jakarta, secara berkebalikan ketakutan adalah amunisi dan arsenal pemegang kekuasaan (politik, ekonomi, modal uang, opini media) demi hadirkan politik wajah baru. Ya, saat kondisi-kondisi tak nyata dianggap fakta. Saat kondisi-kondisi jauh terbayangkan malah digadang-gadang bakal terwujudkan. Dunia fantasi ini kumulasi dari tiadanya adab dan culasnya ilmu.
Sangkaan buruk lebih dianggap objektif ketimbang sikap kritis dan jujur dalam memfirasat. Syariat Islam yang terbayangkan dari imajinasi sebagian kalangan dan diembuskan media tertentu merupakan contoh ketika ketakutan jadi alat politik untuk dibahanakan.
Padahal, agenda setting pemberitaan semacam ini malah perlihatkan watak biadab dan diskriminasi mereka. Sebuah kondisi konsekuensi dari rusaknya saraf jujur dan elegan memandang keragaman. Mestinya pelajaran dalam Perang Hiththin sampai direbutnya Baitul Maqdis membuka minda para intelektual yang mencemasi naiknya Anies-Sandi di Ibu Kota. []
*Kurator Pustaka Lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta