Polisi yang Mengayomi Semua

Polisi yang Mengayomi Semua

810
0
SHARE
Ilustrasi(KOMPAS).

News/Nasional

EKI BAIHAKI
Kompas.com – 08/07/2017, 19:04 WIB

Ilustrasi(KOMPAS).
Ilustrasi(KOMPAS).

Posisi lembaga kepolisian di banyak negara demokrasi, semestinya netral dari kekuatan politik yang ada, termasuk sikap politik yang dianut Indonesia pascareformasi.

Saat ini netralitas Polri dalam politik sepertinya sedang menghadapi ujian dan pertanyaan publik. Sementara itu, pada sisi lain ada masalah kultural dan regulasi yang dihadapi Polri dalam menjaga “netralitas” organisasi dan anggotanya selaku penegak hukum dan pelayan masyarakat yang mengayomi semua.

Doktor Komunikasi Universitas Padjadjaran, Dosen Fisip Universitas Langlangbuana (Unla). Menulis dan mengkritisi bagian dari ikhtiar mencintai Polri.
Doktor Komunikasi Universitas Padjadjaran, Dosen Fisip Universitas Langlangbuana (Unla). Menulis dan mengkritisi bagian dari ikhtiar mencintai Polri.

Secara terminologis, kata polisi berasal dari bahasa Belanda politie yang mengambil dari kata Yunani politeia. Kata ini pada mulanya dipergunakan untuk menyebut warga negara dari kota Athena yang disebut juga polis.

Maka politeia atau polis diartikan sebagai “semua usaha dan kegiatan negara”. Adapun terminologi politik juga berasal dari bahasa Yunani yaitu polis.

Jadi sesungguhnya kata polisi awalnya bagian dari terminologi politik yang berasal dari dari bahasa Yunani polis, yang dimaknai hal berhubungan dengan negara.

Jadi polisi dan politik adalah sebuah konsep yang awalnya terpadu. Namun, seiring perkembangan zaman dan dinamika konsep pemerintahan yang berkembang ke arah adanya spesialisasi tugas dan kewenangan di era modern, maka berkembang pula makna baru yang mengandung diferensiasi tugas dan kewenangan itu.

Kepolisian sebagai penegak hukum memiliki kewenangan memaksa bahkan menahan atas nama hukum, yang sangat mungkin menghilangkan rasa aman dan kemerdekaan seseorang atau sekelompok orang.

Hal inilah yang menimbulkan kesan dan persepsi terhadap kepolisian saat ini sebagai “alat kekuasaan” yang dianggap ramah terhadap kelompok politik tertentu. Sebaliknya, ada kesan angker bahkan menakutkan bagi kelompok masyarakat yang memiliki afiliasi politik tertentu, yang dikesankan berbeda sikap dengan pemerintah yang berkuasa.

Secara etis dan normatif, bagi anggota Polri ada Peraturan Kepala Polri Nomor 14 Tahun 2011, yang mengatur tentang kode etik Polri dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.

Peraturan itu mengharuskan setiap anggota Polri menghormati harkat dan martabat manusia berdasarkan prinsip dasar hak asasi manusia; menjunjung tinggi prinsip kesetaraan bagi setiap warga negara di hadapan hukum; memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan cepat, tepat, mudah, nyaman, transparan, dan akuntabel berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagi bangsa Indonesia, ada pengalaman masa lalu yang traumatis saat polisi pernah menjadi alat politik bagi kekuasaan Orde Baru.

Polri dengan organisasi yang tersentral menyeluruh ke seluruh Indonesia tentu saja dapat menjadi mesin politik yang ampuh jika dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu.

Maka itulah pemerintah pada era reformasi melahirkan keputusan politik yang menjauhkan polisi dari politik praktis dengan adanya Tap MPR No VII/MPR/2000.

Ketetapan itu menjamin obyektivitas tindakan kepolisian dan pemuliaan profesi kepolisian agar dalam kinerjanya tidak menengok kanan-kiri pada kekuatan politik yang ada.

Ketentuan itu kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Pada pasal 28 (1) disebutkan, Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

Pasal (2) UU 2/2002 menyatakan, anggota Polri tidak menggunakan hak memilih dan dipilih. Adapun Pasal (3) menyatakan, anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Titik rawan netralitas

Menurut Guru Besar Sosiologi Hukum FISIP UI, Bambang Widodo Umar dalam UU Nomor 2 Tahun 200, termuat beberapa rumusan pasal yang masih menjadi titik rawan.

Pada Pasal 2, termuat rumusan bahwa Polri adalah salah satu “fungsi pemerintahan” selain penegak hukum, perlindungan, pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat.

Rumusan pada “fungsi pemerintahan” inilah yang seringkali ditafsirkan sebagai agent of political stabilisation pemerintah karena posisinya di lingkungan eksekutif sehingga netralitas dalam tugasnya menjadi titik resistensi. Hal ini memunculkan persepsi bahwa polisi akan selalu mengamankan kebijakan pemerintah.

Selain itu, ditetapkannya posisi Polri di bawah Presiden pada Pasal 8 (1) UU No 2/2002 tanpa “pengikat” (sanksi) yang jelas, jika organ polisi digunakan sebagai alat kepentingan politik yang mengganggu netralitasnya dalam menjalankan tugas.

Demikian pula ketentuan Pasal 11 (1), yang mengatur pengangkatan dan pemberhentian Kepala Polri lewat persetujuan DPR, bisa menjadi peluang politisasi polisi dan merangsang elite polisi mendekati kekuatan politik tertentu untuk memuluskan kariernya.

Hal itu kemudian melahirkan semacam pengelompokan afilisasi politis yang menimbulkan iklim yang tidak sehat di internal Polri.

Kekuasaan besar polisi juga bisa merangsang individu atau golongan untuk mendekatinya sebagai upaya menjaga relasi untuk pengamanan diri (safety first). Apalagi, dalam UU No 2/2002 tidak dirumuskan secara tegas mekanisme pertanggungjawaban polisi sebagai institusi.

Apakah polisi bertanggung jawab kepada Presiden, kepada elite politik di parlemen, atau kepada publik?

Meskipun pada Pasal 11 ayat (1) dinyatakan bahwa pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan oleh Presiden dengan persetujuan DPR, pasal ini tak secara tegas mengatur pertanggungjawaban institusional.

Netralitas polisi juga dipengaruhi sistem anggaran yang harus melewati persetujuan DPR, di samping belum terpenuhinya anggaran sesuai kebutuhan.

Hal itu seolah memberi peluang bagi polisi untuk mendapatkan sumber dana yang berasal dari masyarakat (terutama pengusaha) dengan alasan karena kekurangan biaya operasional yang sering disebut dengan istilah “parman” (partisipasi teman).

Itulah problem ke depan yang harus diatasi oleh negara agar tidak menjadi masalah pada saat polisi harus berperan sebagai penegak hukum dan pengayom masyarakat yang adil dan tidak memihak (imparsial).

Kita berharap dinamika perkembangan institusi Polri setelah 71 tahun sejak kelahirannya 1 Juli 1946 dapat menunjukkan peningkatan kinerja terbaiknya secara signifikan sebagai sosok polisi yang netral dalam menjalankan tugas.

Polri harus mampu berkhidmat bagi kepentingan bangsa yang lebih besar bukan kelompok apalagi individu. Penting juga bagi masyarakat, terutama partai politik, agar Polri dapat menjaga marwah polisi dengan menghormati netralitasnya, tidak menggoda dan memanfaatkannya untuk kepentingan politik tertentu serta mendorong polisi melakukan tugasnya sesuai ketentuan normatif yang ada.

Hal itu perlu agar polisi dipersepsikan mampu mengayomi semua dan milik semua golongan masyarakat hingga menjadi institusi penegak hukum dan pelayan masyarakat yang dipercaya dan dicintai masyarakat. Semoga.

**********

Kompas.com

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY