Senin , 24 April 2017, 11:00 WIB
Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Isra Mi’raj adalah tonggak sejarah bagi proses penyempurnaan risalah yang diterima Rasulullah SAW. Di balik hiruk pikuk perbedaan pendapat terkait kapan peristiwa ini terjadi, terdapat hikmah dan pelajaran berharga yang sayang untuk dilewatkan.
Rangkaian nilai dan pesan tersebut, sebut Syekh Dr Raghib as-Sirjani dalam makalahnya berjudul “al-Isra wa al-Mi’raj Durus wa Ibar”, dapat diposisikan sebagai motivasi untuk kembali memperteguh komitmen keagamaan seseorang.
Agar tak muncul keraguan maka poin mendasar yang mesti ditekankan ialah para ulama, sebagaimana dinukilkan Ibn Katsir dalam Tafsir al-Quran al-Azhim, sepakat atas kebenaran Isra Mi’raj. Perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjid al-Aqsha dan dari bumi ke Sidratul Muntaha, itu terjadi riil melibatkan ruh sekaligus fisik Nabi Muhammad SAW. Penegasan ini tertuang di ayat pertama surah al-Isra’.
“Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Isra Mi’raj seakan menyampaikan satu pesan utama bahwa solusi dan jalan keluar niscaya akan datang bagi Muslim yang senantiasa bersabar dan berusaha. Kekuatan doa kuat untuk mendatangkan pertolongan dari Allah SWT. Saat masalah menghadang dakwah Rasulullah, suami Khadijah ini pun tetap tabah dan konsisten. Keimanannya justru mendorongnya agar tetap bertahan dan memohon pertolongankepada-Nya.
Kesabaran itu berbuah manis. Sejumlah petinggi Makkah kala itu memeluk Islam setelah sebelumnya muncul penolakan yang luar biasa dari mereka. Ada As’ad bin Zararah, Auf bin al-Harits, Rafi’ bin Malik, Jabir bin Abdullah, Suwaid bin a-Shamit as-Sya’ir, Iyyas bin Mu’adz, Abu Dzar al-Ghifari, dan at-Thufail bin Amar ad-Dusi.
Isra Mi’raj juga meyakinkan umat akan urgensi lemah lembut dan simpati dalam berdakwah. Tak satu pun kekerasan akan berdampak baik, justru kelembutan dan kebaikanlah yang akan mempercantik suatu urusan, seperti hadis riwayat Aisyah. Bisa saja, Rasulullah mengiyakan tawaran Jibril untuk meluluhlantakkan penduduk Makkah menggunakan sebuah gunung.
Namun, tawaran tersebut mendapat penolakan keras dari Rasul. “Justru, aku berharap akan keluar orang-orang mukmin dari lembah tersebut,” tegas ayahanda dari Fatimah tersebut. Pascaperistwa Isra Mi’raj, satu per satu penggawa Makkah berikrar syahadat, di antaranya Khalid bin al-Walid, Ikrimah bin Abu Jahal, Ummu Habibah binti Abu Sufyan, dan Abdullah bin Abbas.
“Hadiah” paling istimewa yang diterima Rasulullah dalam peristiwa ini ialah risalah shalat lima waktu. Perintah shalat diterima langsung oleh suami Aisyah RA saat bertemu langsung dengan Allah SWT. Ini merupakan bukti posisi vital risalah shalat. Shalat adalah tiang agama dan menjadi rukun kedua setelah syahadat. Shalat, seperti ditegaskkan oleh Rasulullah, merupakan identitas kuat seorang Muslim. “Beda antara Muslim dan karif adalah shalat,” demikian sabda Muhammad SAW.
Suatu saat, Umar bin Khatab pernah menulis instruksi kepada para pegawai dan pejabat negara. Sosok yang bergelar al-Faruq ini menegaskan bahwa shalat dijadikan sebagai takaran profesionalisme kinerja dan performa seseorang. Shalat adalah tolok ukur konsistensi seseorang.
Ayahanda Hafshah ini yakin bila shalat seseorang terjaga maka yang bersangkutan tidak akan menelentarkan urusan yang lain. “Urusan terpenting bagiku dari kalian adalah shalat. Barang siapa yang menjaga dan membiasakannya maka ia telah memelihara agamanya. Jika meninggalkannya maka ia rentan menelantarkan urusan selain shalat,” katanya. Isra Mi’raj mengingatkan kembali dan mempertegas kedudukan vital yang ada para risalah shalat.
Pesan tersirat dari Isra Mi’raj lainnya, yaitu menghayati keagungan dan kebesaran kuasa Allah SWT. Terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah di sepanjang prosesi Isra Mi’raj. Terutama, perjalanan menuju langit ketujuh. Di saat itu pula, Rasul berkesempatan tatap muka dengan Sang Pencipta. “Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS an-Najm [53]: 17-18)
*******
Republika.co.id