– Kadir, Bekerja di Badan Pusat Statistik
Jakarta, Garut News ( Rabu, 11/06 – 2014 ).
Pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta berjanji bakal meningkatkan pendapatan per kapita nasional minimal Rp 60 juta dibanding pendapatan per kapita saat ini sebesar Rp 35 juta.
Untuk mewujudkannya, pertumbuhan ekonomi nasional ditargetkan pada kisaran 7-10 persen per tahun (The Jakarta Post, 22 Mei 2014).
Apakah hal ini realistis untuk diwujudkan?
Statistik pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari lalu menyebutkan, pada triwulan I 2014, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,21 persen.
Hal ini menunjukkan, perlambatan ekonomi bakal menjadi tantangan pemerintah mendatang.
Berdasarkan rilis BPS tersebut, Bank Indonesia merevisi target pertumbuhan ekonomi nasional pada kisaran 5,1-5,5 persen, dari semula 5,5-5,9 persen.
Jika pada 2014 ekonomi Indonesia tumbuh 5,5 persen, produk domestik bruto (PDB) Indonesia diperkirakan bakal mencapai Rp 2.922,7 triliun atas dasar harga konstan, atau Rp 9.967 triliun atas dasar harga berlaku, bila inflasi total (PDB) diperkirakan sekitar 4 persen pada 2014.
Selanjutnya, pendapatan per kapita minimal Rp 60 juta dan target pertumbuhan ekonomi 10 persen bisa dicapai dengan skenario laju pertumbuhan ekonomi nasional dalam lima tahun mendatang (paling realistis untuk diwujudkan) seperti berikut: 6 persen pada 2015, 7 persen pada 2016, 8 persen pada 2017, 9 persen pada 2018, dan 10 persen pada 2019.
Hasil perhitungan penulis menunjukkan, bila diasumsikan besarnya inflasi sekitar 4 persen per tahun sepanjang 2014-2019, target pendapatan per kapita minimal Rp 60 juta bakal dicapai pada 2019.
Saat itu, pendapatan per kapita diperkirakan sekitar Rp 66 juta, dan PDB atas dasar harga berlaku diperkirakan sekitar Rp 17.809,9 triliun.
Artinya, selama lima tahun mendatang ekonomi Indonesia harus diupayakan meningkat sekitar Rp 7.800 triliun atau Rp 1.600 triliun per tahun.
Di atas kertas, skenario ini tidak mudah (baca: sulit) untuk diwujudkan, butuh upaya yang sangat serius dari pasangan Prabowo-Hatta.
Pasalnya, data statistik menunjukkan, selama 2004-2013, PDB Indonesia hanya meningkat di kisaran Rp 700-1.000 triliun per tahun.
Persoalan yang juga timbul, sektor mana yang harus ditingkatkan secara drastis pertumbuhannya.
Menguras sumber daya alam tentu bukan pilihan yang bijak.
Begitu pula dengan mengandalkan sektor jasa (tradable)-yang cenderung padat modal dan sedikit menyerap tenaga kerja-tentu sangat tidak sejalan dengan target pasangan Prabowo-Hatta yang lain, yakni meningkatkan pemerataan ekonomi, yang tecermin melalui penurunan rasio Gini dari 0,41 menjadi 0,31.
Karena itu, menurut penulis, target pertumbuhan ekonomi sebesar 7-10 persen per tahun bakal membebani pasangan Prabowo-Hatta jika dipercaya oleh rakyat untuk memimpin negeri ini pada periode mendatang.
Daripada memaksakan diri, akan lebih realistis bila keduanya menargetkan pertumbuhan rata-rata 7 persen per tahun dalam lima tahun mendatang.
Sebab, toh, dengan skenario ini, target pendapatan per kapita minimal Rp 60 juta per tahun masih bisa direngkuh.
Di atas itu semua, yang terpenting adalah bagaimana mewujudkan pertumbuhan inklusif, yang hasilnya bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. *
*******
Kolom/Artikel : Tempo.co